, ,

Chevron Batalkan Proyek Geothermal Ciremai, Mengapa?

PT Chevron memutuskan tidak melanjutkan pembangunan proyek pembangkit listrik geothermal di Gunung Ciremai, Jawa Barat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pun akan membuka tender kembali di sana. Demikian disampaikan Rida Mulyana, Dirjen Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM dalam diskusi media di Jakarta, Jumat (23/1/15).

Rencana pembangunan proyek ini mendapatkan penolakan dari warga sekitar karena khawatir mengancam mereka. “Betul, di sana ada sedikit riak, meski tidak seheboh di Rajabasa. Tetapi kemarin kita mendapat surat tembusan Chevron berisi pengalihan penunjukan sebagai pemenang tender. Saya sedikit kaget,” katanya.

Rida mengatakan, Chevron belum mendapatkan izin eksploitasi. Hingga kini, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan belum mengeluarkan IUP pada Chevron. Meski Chevron sudah ditunjuk pemenang tender.”Saya pernah ngobrol dengan Aher terkait ini, jawabannya,  politis. Tidak dimengerti. Ada pertimbangan dari Pak Aher kenapa IUP belum keluar.”

Dengan pengunduran Chevron, katanya, kelanjutan proyek  ada di Kementerian ESDM. “Mereka mengundurkan diri. Katanya potensi di sana kecil. Karena diukur dari dua hal, tekanan sama panas. Kalau panas kurang, jika dipaksakan, proyek akan mahal. Apalagi ada potensi di tempat lain.”

Namun,  katanya, bukan berarti pembangkit listrik geothermal di Gunung Ciremai berhenti total. ESDM akan lelang ulang  proyek ini. “Kita sedang mendata 25 WKP segera lelang, ditambah Ciremai. Ini PLTP saja.”

Sesuai UU Panas Bumi baru, proses lelang penentu yang akan melanjutkan proyek oleh pemerintah pusat.”Paling lama tiga tahun kita lelang. Akan mulai dengan yang besar-besar seperti di Gunung Lawu.”

Jamin tak rusak lingkungan

Terkait penolakan proyek geothermal di beberapa daerah,  katanya, hal itu terjadi karena informasi tidak utuh. Warga hanya mendapatkan informasi setengah-setengah. Dia berani menjamin, pembangkit listrik geothermal benar-benar ramah lingkungan. Selama ini,  di negara manapun tidak pernah ada proyek panas bumi meledak.

“Entah ada provokator atau tidak. Padahal kita sedang mengejar krisis listrik. Justru di lapangan ada konflik horizontal. Ini bermula dari informasi tidak sama.”

Dia mengatakan, masyarakat harus mendapatkan informasi utuh soal risiko energi panas bumi.

Hal serupa dikatakan Tisnaldi, Direktur Panas Bumi Dirjen Energi Baru dan Terbarukan. “Memang dulu masyarakat melihat referensi dari Lapindo Brantas yang meledak. Geothermal berbeda. Paling berbahaya dalam industri migas itu oil and gas. Khusus gas karena mereka mengebor dengan target tekanan tinggi. Ada lokasi-lokasi yang mempunyai gas tekanan tinggi juga hingga berbahaya. Ini terjadi di Lapindo.”

Sedang proyek geothermal Kementerian ESDM, tidak ada tekanan. Tidak ada lokasi gas tekanan tinggi yang bisa meledak dalam proyek geothermal.”Malahan kita meningkatkan produksi uap air melalui injeksi. Jadi tekanan tak ada, kita dorong pakai alat bantu untuk injeksi dengan air hingga operasional panas bumi tertutup siklusnya. Saat uap naik ke permukaan, dipisahkan antara air dan uap panas untuk memutar turbin hingga menghasilkan listrik. Setelah memutar turbin, karena perubahan temperatur di permukaan, uap panas jadi air untuk diinjeksikan kembali. Jadi terus memutar. Tidak mengganggu lingkungan,” ucap Tisnaldi.

Dia mengatakan, pembangkit geothermal tidak mengambil air di permukaan. “Isu masyarakat air di permukaan akan berkurang dan tercemar. Itu tidak mungkin terjadi.”  Mengapa? Karena sirkulasi kegiatan tertutup, di lokasi proyek ada penghijauan untuk membuat resapan air meningkat. Proyek ini memerlukan banyak air.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,