,

Konflik SDA di Riau Tertinggi Di Indonesia. Kenapa?

Riau menjadi provinsi nomor wahid di Indonesia yang paling banyak kasus sengketa penguasaan sumberdaya alam (SDA) sepanjang 2014. Karut marut perizinan, tapal batas serta kekerasan merupakan faktor dominan yang memicu konflik menjadi terbuka. Bahkan di tahun 2015 diperkirakan meningkat.

Dalam laporan akhir tahun LSM Scale Up yang berbasis di Riau, sepanjang 2014 setidaknya terdapat 60 kasus sengketa. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan laporan yang dikeluarkan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) di akhir tahun lalu yang mencatat hanya 52 kasus. Provinsi tertinggi kedua jumlah konfliknya adalah Jawa Timur dengan 44 kasus, diikuti Jawa Barat 39 kasus dan Sumatra Utara dan Sumatra Selatan yang sama-sama 33 kasus.

Namun menurut Scale Up, angka konflik di Riau itu menurun dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 62 kasus. Harry Octavian, Direktur Scale Up mengatakan hal itu bisa saja dikarenakan tidak adanya publikasi atas konflik di masyarakat.

Scale Up mengkompilasi data konflik dari pengaduan masyarakat, monitoring pemberitaan di media massa, cetak atau pun online. Dengan metode seperti ini juga tidak bisa memastikan apakah konflik tahun ini berbeda dengan konflik di tahun sebelumnya di lokasi yang sama, termasuk apakah ada konflik yang sudah terselesaikan di tahun sebelumnya dan tidak muncul lagi di tahun 2014.

“Jadi kita (hanya) lihat apakah ada unsur konflik seperti luasan, objek dan lain-lain lalu bisa kita kategorikan konflik SDA. (Kalau dari) media ada proses verifikasi. Konflik bisa muncul atau tidak. Ini lebih general,” ujar Harry kepada Mongabay Indonesia akhir pekan lalu di kantornya.

Dalam laporan itu juga disebutkan sektor perkebunan dan kehutanan adalah yang paling dominan konfliknya yakni 25 dan 24 kasus. Konflik lainnya yaitu 8 kasus tapal batas dan 3 kasus tambang. Jika dilihat dari sebaran per kabupaten, maka Kabupaten Pelawan paling banyak sengketa kehutanan yang mencapai 10 kasus lalu diikuti Rokan Hilir, Siak, dan Kampar masing-masing 3 kasus.

Di sektor perkebunan, kasus terbanyak terjadi Kabupaten Rokan Hulu yakni 6 konflik dan diikuti Pelalawan dan Kampar masing-masing lima kasus. Dalam laporan tersebut juga menyebutkan luasan lahan yang bermasalah di sektor perkebunan 87.125 hektar dan sektor kehutanan 376.890 hektar.

“Kadang di berita itu tidak ditulis jumlah lahan yang bermasalah, jadi kami verifikasi sendiri. Jika tidak ditemukan angkanya, maka (luasan) yang diambil adalah luas izin perusahaan itu,” kata Harry.

PT Duta Palma membuka hutan rakyat tanpa legalitas jelas. Kasusnya kini ditangani DPRD Indragiri Hulu, Riau. Foto: Aji Wihardandi
PT Duta Palma membuka hutan rakyat tanpa legalitas jelas. Kasusnya kini ditangani DPRD Indragiri Hulu, Riau. Foto: Aji Wihardandi

Terkait dengan penyebab utama dari maraknya konflik tersebut, Harry menjelaskan akarnya adalah karut-marut perizinan baik di sektor kehutanan maupun perkebunan.  Banyak perusahaan yang beroperasi terlebih dahulu baru, kemudian mengurus izin. Padahal lokasi yang diajukan sebagai kebun terdapat lahan atau pun kebun milik masyarakat setempat.

“Ini misalnya terjadi di Kuala Cinaku ada perusahaan kelapa sawit yang sudah beroperasi bertahun-tahun tapi belum mengurus izinnya. Ini khan kacau,” ujarnya.

Selain itu ketidakjelasan tapal batas antara pemilik konsesi dan masyarakat juga memicu timbulnya konflik. Juga ketidakjelasan tapal batas antara kabupaten, kota ataupun provinsi. Kondisi ini diperparah dengan pengerahan aparat keamanan seperti polisi dan tentara yang mempertajam dan memperluas perselisihan.

Untuk tahun 2015, Harry memperkirakan tren konflik pemanfaatan SDA masih tinggi, dikarenakan tidak adanya upaya pemerintah lokal dalam menyelesaikan konflik.

“Saya melihatnya konflik ini memang bukan prioritas bagi pemerintah kabupaten dan provinsi. Ditambah lagi kebutuhan lahan bagi masyarakat semakin tinggi, sementara pemerintah memberikan lahan dalam skala luas ke beberapa pengusaha saja. Jadi ini trennya akan meningkat di tahun 2015 ini,” kata Harry.

Selain bukan prioritas, pemerintah lokal sering mengatakan bahwa kasus tersebut di luar kewenangan mereka sehingga harus dituntaskan oleh pemerintah pusat. “Pemerintah di sini masih sering lempar tanggungjawab dengan mengatakan konflik yang terjadi di luar tanggung jawab mereka dan pemerintah pusat yang harus menyelesaikannya. Padahal siapa yang memberikan rekomendasi izin kalau bukan pemerintah lokal,” katanya.

Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menekan angka konflik di tahun ini, Harry mengatakan pemerintah harus menertibkan perizinan pengelolaan SDA dan mempercepat penyelesaikan konflik yang ada melalui lembaga khusus konflik SDA.

“Harus ada pemerintah daerah yang menginisiasi dibentuknya kelembagaan penyelesaian konflik. Apakah itu di bawah kepala daerah langsung yang isinya bisa semua pihak. (Melalui ) penyelesaian  ADR (alternatif dispute resolution), pola-pola kemitraan, dan juga di tata batas. Termasuk penerapan FPIC  (free, prior and informed consent /persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan) dari perusahaan (kepada masyarakat),” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,