,

Waduh! Tidak Punya Biaya Kelola, Padang Geriman Tiap Tahun Terbakar

Setiap tahun, kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan, bukan hanya terjadi di wilayah pesisir, tetapi juga di pegunungan. Misalnya di Desa Kebun Jati, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat.  Di desa ini terdapat sebuah padang rumput bernama “Padang Geriman” yang luasnya mencapai 100 hektar. Setiap tahun padang rumput dan semak ini selalu terbakar. Kok bisa?

“Padang ini merupakan lahan milik warga. Bukan lahan kosong. Tapi lahan ini terbengkalai karena masyarakat tidak memiliki modal atau biaya untuk mengelolanya,” kata  Arsyan Djatoha, warga Kota Agung yang sekaligus pegiat lingkungan, Selasa (20/01/2015).

“Setiap musim kemarau, dapat dipastikan lahan ini terbakar,” kata Arsyan. “Lantaran tidak dapat mengelola lahannya, sebagian pemiliknya pun pindah,” katanya sambil menunjuk sebuah rumah panggung yang sudah ditinggalkan pemiliknya.

“Memang, sebagian warga menanam lahan mereka dengan pohon karet. Tapi kualitasnya tidak baik. Setelah tanam dibiarkan saja. Ya, semacam penanda kalau lahan mereka tidak terlihat kosong atau menjadi padang,” katanya.

Dijelaskan Arsyan, lahan milik warga yang berupa padang rumput atau semak di Kecamatan Kota Agung, jumlahnya mencapai 100 hektar. Lahan ini setiap musim kemarau sebagian besar terbakar.

“Jadi kalau memang pemerintah mau mengatasi kebakaran hutan dan membantu kesejahteraan petani, lahan ini harus difungsikan sebagai lahan pertanian atau perkebunan yang produktif,” katanya.

“Caranya bukan membeli atau menguasai tanah milik warga tersebut, tapi dengan sistem sewa atau memberikan bantuan modal pertanian atau perkebunan,” ujarnya.

Dengan ketinggian wilayah antara 750-800 meter dari permukaan laut, kata Arsyan, beragam tanaman dapat tumbuh di sini. “Bukan hanya sayuran. Beberapa pohon seperti manggis dan gaharu juga tumbuh baik di sini,” katanya.

Tanaman manggis dan gaharu mungkin dapat dijadikan pengganti karet yang terbukti saat ini tidak mampu mensejahterahkan petani. Sementara, guna memenuhi hidup sehari-hari, warga dapat didorong menanam kacang-kacangan dan sayuran.

“Saya percaya dengan termanfaatnya lahan ini, ancaman kebakaran tidak akan terjadi lagi di sini, termasuk pula kemungkinan perambahan hutan lindung oleh warga di sini,” ujarnya.

Rumah panggung ini ditinggalkan warga karena mereka tak mampu mengelola tanahnya. Foto Romi Yusuf
Rumah panggung ini ditinggalkan warga karena mereka tak mampu mengelola tanahnya. Foto Romi Yusuf

Beragam persoalan

Kabupaten Lahat yang luasnya mencapai 4.361,83 kilometer persegi, saat ini memang mengalami ancaman kerusakan hutan. Selain disebabkan ekspansi penambangan batubara dan perkebunan sawit, juga adanya kebakaran hutan.

Tak heran, kondisi ini menyebabkan kekayaan hayati di Kabupaten Lahat mulai berkurang. Misalnya, sudah sulit dilihatnya gajah dan harimau sumatera, dan termasuk pula beragam jenis tanaman.

Tidak itu saja, sejumlah situs megalitikum terancam keberadaannya. Sebab, diperkirakan di sekitar situs budaya tersebut terdapat kandungan batubara. Belum lagi potensi wisata seperti air terjun, yang mulai terganggu airnya karena hutan yang habis.

Ironinya, di tengah ekspansi eksplorasi sumber daya alam tersebut, kata Arsyan, kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan sangat rendah. “Jangankan untuk membiayai pendidikan anaknya, buat makan sehari-hari saja mereka mengalami kesulitan.”

Arsyan juga percaya, pada akhirnya hutan akan habis karena pertumbuhan jumlah penduduk. “Tapi setidaknya, kerusakan hutan tersebut tidak cepat terjadi, dan kita bukan bagian dari perusak,” katanya.

Dia pun yakin hampir semua masyarakat di Kabupaten Lahat tidak menginginkan kerusakan tersebut. “Masih banyak masyarakat yang menolak beragam kegiatan eksplorasi mineral.”

Di sisi lain, manusia di dunia ini tetap membutuhkan hutan. Sebab, hutan merupakan produsen oksigen. “Jadi setiap manusia harus berusaha semaksimal mungkin mempertahankan hutan,” katanya.

Arca manusia memeluk gajah di halaman Sekolah SMPN 2 Merapi Barat, Lahat, sebagai simbol keharmonisan hidup manusia dengan satwa, terutama gajah. Foto: Rahmadi Rahmad

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,