, ,

Pakar: Vonis NSP Nodai Keadilan Lingkungan, Mengapa?

Catatan merah kembali bertambah dalam peradilan lingkungan di negeri ini. Pada 22 Januari 2015, Majelis Hakim PN Bengkalis, memvonis bebas dua petinggi PT. National Sago Prima (NSP), Erwin General Manager Cabang dan Manajer pabrik NSP, Rowo Dwi Priono. Hakim hanya menghukum perusahaan Rp2 miliar, jauh dari tuntutan jaksa Rp1,4 triliun. Vonis ini dinilai melukai keadilan lingkungan. 

Erwin dan Rowo, adalah terdakwa perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di lima desa, yaitu Desa Tapak Baru,  Desa Tanjung Suwir, Desa Teluk Buntal Tanjung Sari, Desa Lukut, dan Desa Tanjung Gadai, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau mencapai 21.418. hektar. Hakim hanya menghukum perusahaan Rp2 miliar, jauh dari tuntutan jaksa Rp1,4 triliun. Vonis ini dinilai melukai keadilan lingkungan.

Vonis NSP dipimpin Ketua Majelis Hakim Sarah Louis Simanjuntak, dan dua hakim anggota Renni Hidayati, Meilki Salahuddin. Vonis bebas ini jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk Nowa Dwi Priono 1,5 tahun dan Erwin enam 6 tahun. Hakim menyatakan, terdakwa tidak terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kebakaran hutan dan lahan.

Deni Bram, pakar hukum lingkungan hidup mengatakan, putusan NSP  menandakan semangat memperbaiki keadilan lingkungan kembali ternodai. Dengan hanya menghukum perusahaan membayar denda Rp2 miliar, katanya, sangat jauh dari rasa keadilan ekologis.  “Jangan hanya menghitung kerugian ekonomis dalam bentuk kerugian saat ini, kerugian masa depan harus dikalkulasi saat membuat putusan saat ini,” katanya kepada Mongabay.

Kabar bahwa hakim yang memimpin sidang tidak mempunyai sertifikasi lingkungan hidup wajib menjadi catatan khusus. “Putusan ini cacat formil yang berdampak pada cacat materiil. Ini berbahaya dan mengkhawatirkan.”

Dalam catatan Deni, setidaknya sudah tiga kali kasus lingkungan tak ditangani hakim bersertifikasi hingga menelurkan putusan ‘bahaya’ bagi lingkungan. Pertama,  kasus Gemulo di PN Malang, kedua, PTUN Semarang, kasus PT Semen Indonesia serta PN Bengkalis kasus NSP.  Pada kasus-kasus ini, majelis hakim tidak memenuhi kualifikasi sertifikasi lingkungan hidup, dan baru diubah di tengah jalan.

“Seandainya mau berdalih khilaf, sudah terlalu banyak khilaf. Sisi lain terpenting ini bentuk nyata pengabaian dari majelis hakim terhadap surat Mahkamah Agung Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan,” ujar dia.

Menurut Deni, setidaknya  ada tiga hal penting wajib dilakukan dalam penanganan kasus lingkungan hidup. Pertama, tahapan awal majelis hakim wajib screening kasus untuk memastikan kompetensi sertifikasi hakim lingkungan.

Dalam surat MA itu, perumusan Pasal 5 secara eksplisit mengatakan, perkara administrasi, perdata dan pidana bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan, pesisir dan kelautan, tata ruang, sumber daya air, energi, perindustrian dan atau konservasi sumber daya alam wajib dipimpin hakim sertifikasi lingkungan hidup.

Saat ini, katanya, sudah ada Tim Khusus Penanggulangan Perkara Lingkungan Hidup dari kepolisian.  “Kejaksaan harusnya sudah bisa koordinasi terkait perkara lingkungan hidup secara komprehensif dari hulu hingga hilir.”

Kedua, saat di satu daerah tak ada hakim bersertifikasi lingkungan, bisa dengan detasering atau meminjam dari luar atau tempat lain. Momentum ini,  seharusnya dibarengi peningkatan kuantitas hakim sertifikasi lingkungan hingga detasering bisa diminimalisir.

Ketiga, minimnya penegak hukum memiliki sertifikasi lingkungan menjadi indikator komitmen pemerintah masih lemah dalam penegakan hukum lingkungan. “Kasus lingkungan jelas membutuhkan keahlian khusus dan tidak dapat diperlakukan sama.”

Kondisi ini, katanya, mencederai tujuan sertifikasi hakim lingkungan yang dibuat untuk menghadirkan putusan lingkungan hidup efektif dan berperspektif keadilan ekologis.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,