,

Revolusi Mental Dalam Lingkungan Hidup

 *Agus Supangat, Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas, Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Tulisan ini merupakan opini penulis.

Siapa yang dapat menyangkal bahwa pendidikan adalah unsur penting bagi hidup seseorang? Pendidikan tentu saja tak sesempit bicara mengenai bangku sekolah mulai dari SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Pendidikan bicara tentang kehidupan, bukan tentang buku teks membosankan yang akan lupa hanya dalam hitungan dua hingga tiga hari setelah kita menghafalnya.

Pendidikan bicara mengenai kreativitas, pengolahan cara berpikir atau sudut pandang, kemampuan memecahkan masalah di lapangan, dan tentu saja moralitas, mentalitas, atau etika. Pendidikan bukan isu tersier dalam hidup manusia. Salah besar jika mengira bahwa kebutuhan pokok manusia hanyalah sandang, pangan, dan papan.

Dalam delapan poin Target Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals) 2015, PBB menempatkan pendidikan di urutan kedua. Urutan pertama adalah eradicate extreme poverty and hunger (penghapusan kemiskinan dan kelaparan). Urutan yang mengikutinya adalah universal primary education (pendidikan untuk semua) sementara poin ensure environmental sustainability (pelestarian lingkungan hidup) bahkan berada pada urutan tujuh.

Apakah ini berarti pelestarian lingkungan hidup tidak lebih penting daripada pendidikan?

Sama sekali tidak!

PBB justru sedang menunjukkan bahwa kedelapan poin Target Pembangunan Millenium ini saling terkait erat. Tanpa pendidikan, apa yang dapat Anda lakukan untuk melestarikan lingkungan hidup? Mungkin bisa, tapi kapasitas Anda sangat terbatas dibanding melakukannya dengan teknologi muktahir. Sebaliknya, upaya melestarikan lingkungan hidup merupakan sebuah pendidikan yang sangat penting dalam hidup manusia. Tanpanya, pendidikan hanya sekedar buku teks mati.

Pendidikan jelas berkorelasi erat dengan isu lingkungan hidup. Pendidikan untuk lingkungan hidup jelas harus dimulai sedini mungkin. Semakin dini akan semakin baik karena anak muda menerima dan menangkap jauh lebih cepat daripada orang dewasa. Pembentukkan anak muda mau tak mau banyak dilakukan oleh orang dewasa selain oleh dirinya sendiri terutama saat mereka masih duduk di bangku sekolah. Anak kecil akan banyak belajar dari contoh nyata para seniornya.

Siapapun, usia berapapun, di manapun, kapanpun, harus selalu bersedia membuka diri untuk belajar dan menerima sesuatu yang baru.

Satu hal yang pasti, peneliti di bidang lingkungan hidup tidak selalu lebih pintar atau bahkan lebih bijak daripada orang-orang biasa. Tidak. Seorang anak kecil bahkan bisa lebih mencintai lingkungan hidup daripada para aktivis lingkungan. Mengapa? Karena pendidikan terutama pendidikan lingkungan lebih berbicara soal hati. Buku teks atau ratusan seminar memang penting tapi ia hanya berfungsi sebagai bahan pelengkap yang hanya berdampak jika direalisasikan secara nyata.

Seorang siswa tengah membubuhkan tandatangan sebagai bentuk ikut andil dalam penyelamatan hutan kota di sana. Tropical Society, mengunjungi sekolah-sekolah ini untuk memberikan sosialisasi pentingnya pengetahuan perubahan iklim bagi para siswa. Foto: Tropical Society
Seorang siswa tengah membubuhkan tandatangan sebagai bentuk ikut andil dalam penyelamatan hutan kota di sana. Tropical Society, mengunjungi sekolah-sekolah ini untuk memberikan sosialisasi pentingnya pengetahuan perubahan iklim bagi para siswa. Foto: Tropical Society

Bayangkan. Sejak dini anda sudah dicekoki materi lingkungan hidup. Anda wajib membawa sebuah pot, belajar cara menyetek, mencangkok, tidak membuang sampah sembarangan, dan sebagainya.

Di sisi lain, anda sering melihat guru anda membuang puntung rokok ke pot. Anda mendapat perintah mencetak tugas tanpa bolak-balik di kertas A4 90 gram berjarak dua spasi dengan font 14 dengan alasan memudahkan sang guru memeriksa seluruh pekerjaan rumah anda yang banyak. Anda diperintahkan membawa kantong sendiri saat berbelanja tapi di sekolah anda jumpai tumpukan plastik dan styrofoam tempat makan para guru. Otak anda menjadi sangat bingung.

Akibatnya, anda tak lagi peduli meski perubahan iklim sudah secara nyata Anda rasakan. Telinga dan mata anda tak lagi mempan melihat banjir bandang atau pecahnya lapisan es di Antartika yang begitu masif bergaung. Anda hanya berpikir bagaimana membangun karier dan keuangan pribadi dan dapat mencapai sukses pada usia sedini mungkin. That’s all. Itulah intisari pendidikan yang selama ini anda serap dari perilaku orang tua, guru, dan teman-teman.

Inilah wajah pendidikan yang keliru.

Beberapa rekan pengamat dan sesama pendidik mengakui bahwa permasalahan terbesar pendidikan di Indonesia bukanlah murid yang bodoh atau ketiadaan dana. Masalah terbesarnya adalah tidak adanya transfer gaya hidup dan perubahan paradigma. Pendidikan hanya sekedar buku teks, itupun masih banyak bermasalah. Padahal, Indonesia tidak kekurangan pemenang olimpiade.

Tapi mengapa negara kita yang super cerdas ini punya angka yang juga super dalam hal korupsi yang dilakukan justru oleh orang-orang terpelajar? Karena pendidikan kita adalah pendidikan buku teks, bukan pendidikan kehidupan. Itu sebabnya tidak mudah jika kita sudah masuk ke arena lingkungan hidup yang terdiri dari dua terminologi yaitu “lingkungan” dan “hidup”.

Perubahan paradigma dan transfer gaya hidup tentu saja membutuhkan proses yang sangat panjang. Meski demikian, kita tidak akan pernah mencapai tujuan jika tidak pernah memulainya. Semua dimulai dari ruang terkecil yakni keluarga, teman, dan sekolah. Setelah itu, media dan masyarakatlah yang kemudian memegang peranan pendidikan berikutnya yang membentuk pribadi anda.

Masa depan terletak di tangan anak muda. Merekalah yang kelak akan duduk sebagai pembuat kebijakan lingkungan hidup. Anak muda identik dengan semangat dan idealisme yang tinggi. Bahkan banyak para pakar dan sesepuh lingkungan hidup yang banyak berharap pada transisi anak muda yang diharapkan mampu memutar haluan ke arah lebih baik.

Aji Gorontalo, mengajak para anggota Pramuka peduli lingkungan, salah satu lewat penanaman mangrove. Foto: Christopel Paino
Aji Gorontalo, mengajak para anggota Pramuka peduli lingkungan, salah satu lewat penanaman mangrove. Foto: Christopel Paino

Sekali lagi, pendidikan membutuhkan proses dan kerjasama dari semua pihak mulai dari orang tua, guru, hingga masyarakat dan pemerintah. Kebijakan pendidikan yang salah akan berakibat fatal pada sekolah karena mereka juga akan mengajarkan hal yang keliru pada murid-murid dan orang tua. Sebaliknya jika orang tua paham, mereka dapat memutar haluan yang keliru tersebut dan memperbaikinya melalui contoh nyata melalui gaya hidup sehari-hari.

Selain membawa anak tur menanam 1.000 pohon atau membuat kompos, mereka juga sudah terbiasa membawa kantung sendiri saat berbelanja karena gaya hidup. Mereka terbiasa naik kendaraan umum, hemat air karena memang sudah menjadi gaya hidup sehari-hari. Mereka otomatis mematikan listrik bukan karena perintah atau ancaman tapi karena kesadaran penuh yang ditularkan orang tua dan gurunya.

Dengan demikian, anak muda akan belajar bahwa buku teks dan gaya hidup sudah selaras. Tidak ada hal yang kontradiktif atau saling bertentangan yang memusingkan otak dan menimbulkan pertanyaan. Mereka akan belajar bahwa lingkungan hidup bukan hanya sekedar event membawa pot atau menanam 1.000 pohon tapi juga menjadi gaya hidup sehari-hari atau “otomatis”.

Setelah beranjak dewasa, para pengusaha muda yang sudah sadar lingkungan ini tidak perlu lagi diperintah untuk tidak membuang limbah berbahaya langsung ke sungai atau laut. Kaum profesional muda seperti arsitek tak perlu lagi diperintah untuk membangun rumah hemat energi. Dengan kesadaran penuh, mereka sudah otomatis akan memasukkan unsur lingkungan hidup sebagai unsur penting dalam perencanaannya.

Tentu saja ini adalah sebuah situasi yang sangat ideal. Tapi situasi ideal ini bukan tak mungkin tercapai jika kita memulainya jauh-jauh hari, sedini mungkin. Prosesnya mungkin lama tapi paling tidak sudah kita mulai, sama seperti pemberlakuan aturan penggunaan sabuk pengaman berkendara yang mungkin awalnya berat dan terpaksa namun seiring proses akhirnya menyadarkan masyarakat.

Dengan demikian, kita berharap masyarakat bukan hanya baru sibuk bekerja saat dampak perubahan iklim sudah semakin nyata terjadi (kuratif) tapi juga makin siap mempersiapkan diri dan bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah timbulnya dampak buruk perubahan iklim (preventif). Bagaimanapun, mencegah lebih baik daripada mengobati. Mencegah jauh lebih murah daripada mengobati. Di sinilah pendidikan mengambil peran pentingnya.

Secara garis besar, elemen pendidikan dibagi menjadi tiga. Pertama adalah masyarakat yang antara lain bekerja melalui orang tua, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, dan media. Kedua adalah pemerintah yang antara lain termanifestasi melalui peran Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, dan kementerian lain terkait lingkungan hidup. Ketiga adalah swasta terutama melalui sekolah dan media massa.

Ketiga elemen atau tripartit ini seharusnya bahu membahu saling bersinergi, bukan saling tunjuk tangan memerintah atau menunjuk kesalahan orang lain. Jika ketiga elemen dasar ini sukses berkolaborasi, upaya penyadaran masyarakat bukan merupakan hal rumit meski tetap memerlukan proses jangka panjang yang harus dilakukan terus-menerus seiring perkembangan jaman.

Alur pemikiran berikut ini menarik untuk ditelaah:

Watch your toughts, for they become your words

Watch your words, for they become your actions

Watch your actions, for they become your habits

Watch your habits, for they become your character

Watch your character, for it becomes your destiny

Dari alur ini, jelas terlihat bahwa segala jenis aksi, kebiasaan, dan karakter berawal dari pemikiran. Pemikiran seseorang jelas sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang ia peroleh, terutama dimulai dari ruang terkecil yakni keluarga.

Pendidikan mengarahkan pola pikir seseorang yang akhirnya berbuah pada perkataan, aksi, kebiasaan, dan karakter. Ujungnya adalah nasib (destiny). Jadi jika kita tidak ingin mengalami nasib buruk akibat gencarnya dampak negatif perubahan iklim, jelas bahwa akar pertama yang perlu kita benahi adalah pola pikir yang kuncinya datang melalui pendidikan. Inilah hakikat Revolusi Mental dalam spektrum lingkungan hidup: sederhana tapi butuh perjuangan kuat buat mewujudkannya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,