,

Enam Kabupaten di Kalimantan Barat Langgar Undang-Undang KIP. Kok Bisa?

Tujuh tahun sejak Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) diterbitkan, sejumlah daerah di Kalimantan Barat (Kalbar) belum memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Padahal, semangat UU No 14/2008 itu mengamanatkan setiap daerah harus sudah memiliki PPID.

Hal ini terungkap dari kertas posisi yang dirilis Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan, Rabu (28/1/2015). Kertas posisi itu berisi pernyataan sikap terkait stagnasi pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID) dan PPID di sejumlah daerah di Kalbar.

Tercatat, dari semua level pemerintahan di provinsi itu, baru Pemerintah Provinsi Kalbar, Kota Pontianak, Kota Singkawang, Kabupaten Kubu Raya, Sambas, Bengkayang, Kapuas Hulu, Ketapang, dan Kabupaten Melawi yang telah menetapkan PPID. Enam kabupaten lainnya, yakni Mempawah, Landak, Kayong Utara, Sekadau, Sanggau, dan Kabupaten Sintang belum menetapkan PPID.

Media dan Kampanye Sampan Kalimantan, Liu Purnomo mengatakan kertas posisi yang diterbitkan itu merupakan bentuk dorongan kepada pemerintah untuk serius dalam mengimplimentasikan amanat Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang KIP.

KID dan PPID, kata Liu, mendesak dibentuk sebagai wujud dari good governance. “Penyelenggaraan negara yang baik musti transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan bertanggung jawab sebagaimana semangat UU No 14/2008. Hal itu sudah jelas disebutkan dalam pasal 3 huruf d UU KIP,” katanya di Sungai Raya, Kubu Raya, Rabu (28/1/2015).

Dalam konteks pengelolaan hutan dan lahan, ujar Liu, semakin transparan suatu pemerintahan, kian baik pula tata kelola hutan dan lahan. Dan ini akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan fungsi ekosistem.

“Transparansi akan menjamin hak masyarakat yang terkena dampak kebijakan. Karena, mereka secara jelas akan mengetahui setiap keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan lahan. Dengan demikian, masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan melakukan pengawasan terhadap keputusan yang diambil,” urai Liu.

Disebutkan pula, tujuan UU No 14/2008 ini sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan empat hal. Yakni, hak setiap orang untuk memperoleh informasi; kewajiban badan publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; pengecualian bersifat ketat dan terbatas; dan kewajiban badan publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi.

Liu menyayangkan sampai saat ini pembentukan PPID belum merata di semua pemerintah kabupaten di Kalbar. Artinya, pemerintah kabupaten telah melanggar ketentuan pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI No 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 14/ 2008 yang mengatur bahwa PPID harus sudah ditunjuk paling lama satu tahun terhitung sejak PP ini diundangkan.

Selain pembentukan KID dan PPID, Lembaga Publik juga diwajibkan membuat standar operasional prosedur (SOP) yang bertujuan untuk memberikan petunjuk teknis dan tata cara publik dalam memperoleh informasi publik.

Kendaraan berat sedang mengeruk sumber daya alam di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Sampan Kalimantan

Tidak transparan berujung gugatan

Uji akses guna mengukur pelayanan informasi publik yang dilakukan di beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Kalbar juga membuktikan betapa buruknya pelayanan informasi publik. Hal ini menjadi salah satu indikasi dari tidak adanya PPID yang bertugas melayani masyarakat yang membutuhkan informasi publik.

Salah satunya, sengketa KIP yang ditempuh Syamsul Rusdi di Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Ketapang. Saat itu, Syamsul ingin mendapatkan informasi soal dokumen Amdal, izin usaha pertambangan (IUP), dan dokumen rencana reklamasi tahunan perusahaan pertambangan, serta informasi mengenai peta yang terdapat dalam dokumen Amdal pada 26 November 2013.

Namun, uji akses sektor pertambangan itu ternyata tidak ditanggapi pihak Distamben setempat. Sengketa pun tak terelakkan. Syamsul Rusdi menyatakan keberatannya dan melayangkan surat kepada Distamben Ketapang pada 13 Desember 2013. Langkah itu pun tak membuahkan hasil maksimal.

Akhirnya Syamsul melayangkan gugatan atas dasar amar putusan KIP yang menyatakan bahwa informasi yang dimohonkan pemohon berupa Amdal, IUP, dan dokumen rencana reklamasi tahunan perusahaan pertambangan merupakan informasi yang terbuka. Tetapi, informasi mengenai peta yang terdapat dalam dokumen Amdal, bukan informasi terbuka.

Lima kali menempuh proses persidangan, gugatan itu akhirnya dikabulkan oleh pengadilan tata usaha negara (PTUN). Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang menyatakan bahwa peta di dalam dokumen Amdal bukan dokumen terbuka dinyatakan batal. Tidak puas dengan hasil putusan PTUN, putusan ini diperkarakan kembali oleh Distamben Ketapang dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Kasus Syamsul di atas, kata Liu, adalah salah satu gambaran betapa buruknya pelayanan pemerintah pada keterbukaan informasi publik. “Pemerintah terkesan menutup-nutupi dokumen yang berkaitan dengan tata kelola hutan dan lahan. Seharusnya, dokumen itu menjadi dokumen publik dan boleh diakses oleh siapa saja,” pungkasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,