,

Melalui Petisi, Rahmawati Minta Keadilan Kepada Ibu Menteri Siti

 

Saya memohon kepada Ibu Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Sebagai sesema perempuan dan seorang ibu, saya yakin ibu pasti bisa merasakan dan mengerti bagaimana perasaan saya.Untuk itu, segera tutup perusahaan tambang dan tegakkan hukum lingkungan bagi perusahaan tambang dan pemberi izin tambang yang lalai dan tidak bertanggung jawab hingga menyebabkan kematian.

Beri hukuman paksa kepada perusahaan pertambangan untuk segera melakukan penutupan lubang tambang dan merehabilitasi kawasan menjadi kawasan yang berfungsi baik secara ekologis.

Tertanda

Rahmawati, Ibunda Raihan, korban ke-9

Lubang Tambang Batubara Samarinda 

Melalui petisi bertajuk “Tutup dan Hukum Perusahaan Pemilik Lubang Tambang Batubara Samarinda yang Membunuh Anak-anak” di Change.org, Rahmawati meneriakkan suara keadilan atas kematian putranya Muhammad Raihan Saputra (10) di lubang bekas tambang batubara. Lubang maut yang diduga milik PT. Graha Benua Etam (GBE) di Sempaja Utara, Samarinda, Kalimantan Timur.

Petisi ini ditujukan langsung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dan Walikota Samarinda, Syaharie Jaang.

Dalam petisi tersebut, Rahmawati (37) menulis betapa hancur hatinya kala mendapat kabar putra kesayangannya meninggal di kolam bekas lubang tambang yang dibiarkan menganga selama tiga tahun. Kado pahit yang harus ia terima bertepatan dengan peringatan Hari Ibu (22/12/2014).

“Apa jadinya, kalau kejadian ini menimpa anak atau keluarga Anda? Aku tidak menuntut uang, berapapun ganti rugi yang perusahaan tawarkan. Kami hanya ingin, kejadian ini tidak terulang lagi sekaligus memutus rantai kejahatan tambang yang justru dilindungi oleh pemangku kebijakan,” tulis Rahmawati di petisi yang dibuatnya pada Jumat, (23/01/2015) itu.

Raihan, anak kedua dari Rahmawati dan suaminya Misransah, merupakan korban ke sembilan yang meninggal di lubang tambang dalam empat tahun terakhir. Korban diperkirakan tewas sekitar pukul 14.00 WITA dan jasadnya berhasil dievakuasi pukul 17.30 WITA oleh Badan Penanggulangan Bencanan Daerah (BPBD) dan tim SAR setempat. Tubuh Raihan ditemukan pada kedalaman delapan meter, sementara dalamnya lubang yang berisi air beracun itu diperkirakan mencapai 40 meter.

Menurut Misransah, Raihan tidak pernah bermain jauh dari rumahnya. Namun, karena diajak teman-temannya, Raihan ikut. “Saya sendiri tidak pernah sampai ke lubang itu, karena kalau dari jalan yang terlihat hanya gunung. Tidak tahunya, lubang tambang yang dalam,” kata Misransah.

Warga bersama keluarga saat membawa Muhammad Raihan Saputra ke pemakaman. Raihan merupakan korban ke sembilan, yang tewas di lubang tambang. Foto: Jatam Kaltim

Sampai kapan?

“Sejak 13 Juli 2011 hingga Desember 2014, ada lima kejadian dengan korban tewas mencapai sembilan orang yang seluruhnya anak-anak,” kata Theresia Jari, aktivis Jaringan Tambang (Jatam) Kalimantan Timur di Samarinda, Selasa (27/1/2015).

Pada 13 Juli 2011, tiga anak tewas bersama di lubang bekas tambang batubara milik Hymco Coal. Atas tewasnya Miftahul Jannah, Junaidi, dan Ramadhani, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda memberi sejumlah uang yang disebut tali asih.

Lima bulan kemudian, sepasang anak berusia enam tahun, Eza dan Ema, ditemukan tidak bernyawa di kolam bekas tambang batu bara PT. Panca Prima Mining pada 24 Desember 2011, dekat Perumahan Sambutan Idaman Permai, Pelita 7, Samarinda. Pemkot Samarinda menganggap masalahnya selesai dengan memberi uang santunan juga.

“Dua kejadian yang relatif berdekatan waktunya itu membuat masyarakat waspada. Namun, karena akar permasalahan tidak diselesaikan, anak yang tewas di lubang tambang terus bertambah hingga sekarang,” kata Theresia.

Haris Retno dari Koalisi Korban Tambang Batubara menyebutkan, berbagai kasus tenggelamnya anak-anak di lubang tambang, hingga kini, tidak pernah ada titik terangnya.

“Ini preseden buruk bagi kenyamanan hidup masyarakat Samarinda. Mau sampai kapan masalah ini? Kami ingin, pemerintah bertanggung jawab terhadap lubang-lubang tambang yang ada,” ucap Haris.

Koalisi Korban Tambang Batubara yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat, peneliti dan akademisi ini, telah melayangkan surat resmi meninggalnya anak-anak di kolam bekas tambang kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di akhir masa tugasnya.

Sedangkan Pemkot Samarinda, menurut Haris, selalu berkelit jika dimintakan pertanggungjawaban mengenai kasus tambang tersebut. Sebagaimana mengutip pernyataan Nusyirwan, Wakil Walikota Samarinda, Haris menuturkan bahwa kasus tersebut merupakan urusan kepolisian. Alasannya, karena menyangkut kecelakaan dan memakan korban, yang terbaik adalah pihak kepolisian yang melakukan penyelidikan.

Hingga berita ini diturunkan, dukungan terhadap petisi online terus berdatangan. Tercatat, sebanyak 6.538 pendukung telah membubuhkan tanda tangan.

Sumber: Jatam Kaltim

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,