,

Meski Memprihatinkan, Keindahan Sungai Musi Tetap Menginspirasi Syair Lagu

Sungai Musi merupakan sungai yang dikenal masyarakat nusantara maupun mancanegara sejak puluhan abad lalu. Sebab, sungai ini terletak di Palembang, kota tertua di Indonesia yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Meskipun kondisinya terus memprihatinkan, namun banyak seniman musik yang memujinya.

Palembang di waktu malam
Di kala terang bulan
Bersinar di atas sungai musi
Beriring nyanyi sang dewiTerbayang semua harapan
Dalam keindahan itu
Mutiara yang telah hilang
Kembali padaku

Walaupun bukan yang dulu
Yang telah jauh dariku
Tapi dapat melepas rindu
Kesunyian hatiku

Mutiara yang telah hilang
Kembali padaku
Walaupun bukan yang dulu
Yang telah jauh dariku
Tapi dapat melepas rindu Kesunyian hatiku

Di tahun 1970-an hingga 1980-an, lirik lagu “Mutiara Palembang” ini dapat dikatakan hampir dinyanyikan setiap remaja dan anak-anak di Palembang. Bahkan, lagu milik kelompok musik Golden Wing, juga dikenal di kalangan remaja di luar Palembang. Tak heran, mereka yang dilahirkan tahun 1950-an hingga awal 1970-an, memiliki kenangan tersendiri dengan lagu ini.

Pada lirik lagu “Mutiara Palembang”, tampaknya keindahan Sungai Musi menjadi inspirasi bagi grup yang digawangi Piter Kenn (gitar), Kun Lung alias Iksan (bass), Carel Simon (vokalis), Adhi Mantra (keyboard), serta Victor Eky (drums), saat meluncurkan album “Mutiara Palembang” tahun 1974.

Meskipun hanya menyebutkan satu kali “Sungai Musi”, tapi penggambaran suasananya, memberi kesan seperti bersenandung di atas Jembatan Ampera sambil memandang Sungai Musi yang memberikan “jarak” dalam imajinasi kenangan. Suasana jarak ini terlihat dari kata malam, terang bulan, keindahan itu, telah hilang, dulu, jauh dariku, sang dewi, dan melepas rindu.

Sungai Musi yang panjangnya mencapai 750 kilometer ini merupakan kebanggaan Masyarakat Sumatera Selatan. Pendangkalan dan abrasi yang terus terjadi menyebabkan sekitar 221 anak Sungai Musi telah hilang. Foto: Muhammad Ikhsan

Jauh sebelumnya, medio tahun 1960-an, saat pemerintahan Soekarno melarang beredarnya musik berirama rock n roll di kalangan anak muda Indonesia, sebuah lagu melo yang diciptakan dan dinyayikan Alfian berjudul “Sebiduk di Sungai Musi” hampir setiap saat dinyanyikan, atau didengarkan di radio oleh para remaja di Palembang maupun di kota lain di Indonesia.

Pada saat bersamaan grup musik yang cukup dikenal di Indonesia Black Brothers meliris lagu “Janji Sungai Musi”. Meskipun tidak begitu meledak, tapi Sungai Musi memberikan inspirasi luar biasa bagi para pemusik yang sebagian anggotanya kini pindah ke Belanda.

Di Sungai Musi, wajah angin yang terpendar lesuh dan dingin
Sedang matahari pun telah menjelang di ujung air sana
Di Sungai Musi, kutermangu dan terbius dalam keresahan
Sedang tangis dan lambaian tanganmu jauh dipelik kabut..
O, sayang, nanti aku di sana…

Tahun 2003, seorang penyanyi balada Filuz Mursalin bersama pekerja teater Conie Sema melahirkan lagu berirama funky dengan judul “Cup Mutung” tapi kemudian popular dengan judul “Yak Wa”. Hal yang baru lagu ini yakni menuliskan lirik dengan Bahasa Palembang yang digunakan sehari-hari. Isinya tentang sosok wong Palembang yang digambarkan secara satire.

Meskipun tidak menuliskan diksi Sungai Musi, tapi penggambaran kehidupan di sekitar Sungai Musi sangat kental terasa. Misalnya menyebutkan anak Sungai Musi, yakni Sungai Kedukan, serta nama kampung yang berada di tepian Sungai Musi, seperti Tanggabuntung, atau tentang bencana yang selalu ditakutkan warga yakni kebakaran yang membuat rumah mutung atau terbakar. Kata mutung umumnya diperuntukkan pada benda kayu yang terbakar. Dan seperti diketahui, rumah-rumah panggung yang berada di sepanjang Sungai Musi terbuat dari bahan kayu.

Sketsa Sungai Limbungan, 24 Ilir Palembang, anak sungai Musi, tahun 1980-an yang kala itu masih digunakan sebagai jalur transportasi. Sketsa: Usa Kishmada

Setelah ledakan “Cup Mutung” sejumlah penyanyi balada lainnya di Palembang, seperti Cipto Sekojo, Iir Stoned, Kamsul A. Harla turut melahirkan sejumlah lagu dengan lirik Bahasa Palembang dalam beragam aliran musik.

Ledakan kembali dirasakan pada lagu “Ya Saman” karya Kamsul A. Harla yang diluncurkan tahun 2009. Bedanya dengan lagu “Cup Mutung”, lagu ini dapat menembus kalangan bawah dan atas. Mungkin, lantaran liriknya ditulis dengan Bahasa Palembang yang lebih halus dan tidak satire. Tak heran, pada saat pembukaan SEA Games XXVI yang berlangsung di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, lagu ini dinyanyikan grup musik Armada.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,