Menteri kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti angkat bicara soal proyek reklamasi Teluk Benoa dan Giant sea Wall di Jakarta. Menurutnya proyek reklamasi tak bisa dilakukan tanpa mengindahkan aspek lingkungan hidup secara menyeluruh. Hal tersebut disampaikan Susi dalam rapat dengar pendapat bersama komisi IV DPR RI di Jakarta.
“Sebelum menjadi menteri, saya adalah seorang independen aktivis sebelum jadi menteri. Saya merasa belajar banyam dari pengalaman rencana pemerintah atas penyodetan sungai Citanduy di Cilacap. Itu akhirnya membuat saya banyak belajar soal reklamasi, pengairan, sungai, muara, dan lain sebagainya,” ungkap Susi.
Lebih lanjut ia mengatakan inti dari kegiatan reklamasi itu adalah intervensi manusia pada alam untuk tujuan beragam. Untuk properti, tambahan tanah, revitalisasi atau apapun itu namanya. Namun seringkali tindakan intervensi tersebut dilakukan tanpa mengindahkan aspek lingkungan hidup.
“Saya terakhir rakor dengan menko perekonomian bersama Bappenas, PU, menko maritim, dan pada akhirnya sore itu deadlock. Semuanya di-hold. Program reklamasi harus dianalisa dan dikaji ulang,” katanya.
Susi berpendapat, apa pun yang akan lakukan kepada alam itu harus memberikan perhatian kepada ekosistem secara umum. “Bila kita mereklamasi satu hektar, berarti kita juga harus menyediakan tempat genangan air in other place juga satu hektar. Bila itu tidak bisa, maka itu tidak boleh dilakukan,” katanya.
Jika itu tidak dilakukan, maka nantinya akan ada wilayah yang tergenang. “Jakarta banjir itu bukan hal baru. Karena memang design sungai di hulu dipercepat untuk sampai hilir dengan diluruskan dan dibuat sodetan. sementara di hilir lautnya direklamasi. Its been time of flooding. ini saya berbicara sebagai independen aktivis. Tidak sebagai wakil pemerintah,” paparnya.
Susi mengatakan, konsekuensi air turun dengan cepat, membuat erosi juga akan cepat terjadi. Di saat yang bersamaan, sendimentasi juga naik di dasar sungai. “Lalu yang dilakukan adalah membuat tanggul kanan kiri dan menutup mata air. Ini membuat pada saat musim kemarau sungai cepat kering, dan saat musim penghujan air juga cepat meluap. Karena di tanggul kanan kiri air tidak ada lagi untuk resapannya. Akhirnya permukaan dasar sungai naik, air tiap tahun sama,” paparnya.
Hal tersebut akhirnya membuat dinding tanggul harus dinaikan setiap tahun. Karena lumpur terus mengendap. Ketika suatu saat tanggulnya tidak kuat lagi, maka jebol dan jadilah banjir.
“Saya rasa sudah saatnya Jakarta dan Indonesia pada umumnya mencari solusi komprehensif atas penanganan keairan. Karena dengan penanganan berupa penyodetan, pelurusan sungai, tidak akan berhasil,” ujarnya.
Ia mencontohkan apa yang terjadi di Bojonegoro dan Solo. Pemerintah membuat kebijakan pelurusan Sungai Bengawan solo untuk menangani banjir. Tiga tahun pertama, hal itu berhasil membuat Solo bebas banjir. Tapi Bojonegoro dan Mojokerto kebanjiran.Karena air cepat sekali turun. Tapi setelah tiga tahun, sendimentasi di dasar sungai juga naik, Solo juga kebanjiran lagi.
“Sodetan, pelurusan sungai dan reklamasi itu adalah non suistainable development treatment dalam sistem pengairan. Sudah saatnya kita tinggalkan,” katanya.
Terkait dengan rencana reklamasi Teluk Benoa dan Jakarta, Susi mengatakan sebelum itu dilakukan, maka pemerintah harus terlebih dulu Kalau membangun water site. “Nah water site untuk reklamasi Jakarta itu dimana? Harus ada tempat penampungan atau bendungan air. Jelas air harus dikasih tempat. Air tidak kita sembunyikan. Akan ada terus disitu,” katanya.
Susi mengatakan, jika reklamasi untuk membuat pulau di teluk Jakarta dilaksanakan tanpa ada bendungan untuk menyimpan air dari hulu ke hilir, maka tidak bisa dilakukan. Begitu juga dengan reklamasi Teluk Benoa.
“Kalau itu tetap dilakukan, Bandara Soekarno Hatta akan tenggelam. Mereka beralasan katanya mau dibuat sistem seperti di Belanda. Saya katakan ya silakan saja. Saya sebagai personal tidak mau disalahkan. Saya tetap akan kasih opini mengenai hal ini,” tuturnya.
Susi berpegang teguh pada prinsip sebagai pribadi yang pengamat lingkungan.
“Kalau mau direklamasi 10 hektate, ya harus ada water site di tempat lain seluas yang sama. Kalau tidak ada, ya Bali akan banjir. Apa pun yang kita lakukan, kita tidak bisa membuat air just to nowhere. Buat dulu danaunya dimana. Daerah genangan yang memang akan kita genangi saat musim penghujan dan harus berbentuk polder,” terangnya.
Sistem polder berfungsi saat air di sungai deras, maka air bisa dikeluarkan dengan membuka pintunya. Air dengan lumpurnya juga akan keluar. Wilayah genangan itu akan menjadi wilayan pertanian pancaroba.
“Sudah saatnya Indonesia menuju pada pembangunan sungai yang suistainable. Bukan project suistainability. Kalau sekarang ini, sungai diluruskan tapi kemudian ada penumpukan lumpur. Setelah itu nanti akan ada projek baru pengerukan. Hal tersebut terjadi terus menerus,” papar Susi.
Susi menekankan, aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan bukan hanya ekobomi saja, tapi juga ekologisnya. “Dalam mengambil keputusan, saya akan mereflesikan posisi dari opini saya. Sebagai institusi kalau saya tidak bisa mencegah hal itu, saya akan kasih catatan opini,” katanya.
Hal yang ia tekankan dalam proyek reklamasi adalah, bahwa ia tidak mungkin menyetujui proyek itu dilakukan kalau tidak ada water site-nya. ” Mestinya itu disiapkan. Karena kalau tidak dilakukan, seperti Jakarta, ya bandara Soekarno Hatta akan tenggelam. Jakarta permukaan tanahnya juga tirun terus ditambah juga di depannya akan diurug, ya akan makin tenggelam,” katanya.
Susi mengatakan, hasil keputusan rapat menko perekonomian dan jajaran menteri beberapa waktu yang lalu menyetujui bahwa proyek reklamasi harus dikaji ulang. Kajian harus benar-benar komprehensif agar tidak merugikan.
“Ya memang banjir Jakarta itu kerugiannya personal. Tapi Jakarta banjir juga kerugiannya mahal. Jadi lebih baik kita menyiapkan lahan genangan. Yang memang nantinya akan kita genangi. Bisa untuk wisata air, perikanan, pertanian pancaroba dan lainnya,”paparnya.
Ia mengatakan, reklamasi Teluk Benoa izin lokasi memang sudab dikeluarkan oleh KKP. Hanya izin lingkungannua belum ada. Izin lokasi tidak cukup untuk membuat proyek tersebut dilaksanakan.
“Saya akan meminta komitmen untuk disiapkan danau. Saya akan berikan opini seterang mungkin. Saya tidak mau disalahkan. Dianggap menghambat pembangunan. Jangan sampai nantinya menjadi beban APBN. Bikin bendungannya dulu,” terangnya.
Ia berharap reklamasi tidak dulu dilakukan sebelum ada kepastian pembuatan water site baik di Bali maupun Jakarta. Ia berjanji akan menyampaikan keyakinannya terhadap hal ini kepada semua stakeholder terkait. “Kalau wilayah air tidak dibuat dulu, saya tidak akan keluarkan izin,” pungkasnya.
Reklamasi Teluk Benoa Harus Dihentikan
Pada tempat terpisah, Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo mengatakan reklamasi di Teluk Benoa, Bali untuk tidak dilanjutkan. Hal tersebut ia sampaikan pada dialog Temu Akbar Nelayan Nasional di Museum Gedung Juang 45, Jakarta, Selasa (27/01/ 2015).
“Untuk reklamasi di Teluk Benoa di stop (tidak dilanjutkan), dan untuk di Teluk Jakarta diberhentikan sementara,” kata Edhy Prabowo kepada Mongabay.
Menurutnya salah satu hal terbaik dalam menjaga lingkungan di daerah mangrove ya menjaga dan menanam mangrove, jadikan hutan lindung bukan merusaknya. Kami meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengkaji ulang prosesnya sesuai dengan undang-undang nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Sedangkan I Wayan “Gendo” Suardana selaku ketua Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) kepada Mongabay mengatakan mengapresiasi keputusan agar tidak dilanjutkannya reklamasi di Teluk Benoa. Artinya kesimpulan dari rapat kerja kemarin tidak mengabaikan problem-problem kerakyatan dan suara rakyat.
Dengan menyatakan bahwa reklamasi adalah model pembangunan yang harus dikaji menyeluruh maka ini menujukkan pemerintah tidaknya mau belajar dari sejarah kekelaman reklamasi sebelum-sebelumnya seperti di Pulau Serangan, Bali. “Pembangunan berupa reklamasi telah merusak tatanan ekologi, sosial dan budaya,” kata I Wayan Gendo.
Ia menambahkan, kami tidak anti pembangunan tetapi kami pasti menolak pembangunan yang eksploitatif dan ekstratif karena cenderung merusak. Teluk Benoa seharusnya diselamatkan dengan kebijakan konservasi bukan kebijakan eksploitatif seperti reklamasi lalu dibungkus kata-kata revitalisasi.
“ForBali berharap agar Menteri KKP meninjau ulang ijin lokasi ditinjau ulang dan tidak menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi Teluk Benoa,” tambah Gendo.
Selain itu, Sekretaris jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim kepada Mongabay mengatakan, sudah seharusnya reklamasi di Teluk Benoa diberhentikan. Proyek yang menggusur masyarakat dan merusak ekosistem pesisir jangan dilanjutkan.
Ia juga menambahkan proyek reklamasi akan merusak ekosistem pesisir Teluk Benoa. Kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang akan menyebabkan bencana ekologis lebih besar. Antara lain ikan akan berkurang, mengurangi potensi pariwisata bahari karena laut rusak dan abrasi pantai. Reklamasi lebih banyak merugikan dari pada menguntungkannya bagi nelayan. Reklamasi akan mengancam eksistensi sumber kehidupan nelayan di wilayah pesisir dan laut.
“Persoalan reklamasi bukan melulu hanya sebatas soal air, akan tetapi kehidupan makhluk hidup yang bakal tergusur dari Teluk Benoa,” kata Halim.