,

Terkait Peleburan BP REDD+. Birokrasi, Jangan Sampai Menghalangi Agenda Perubahan Lingkungan

Pembubaran BP REDD+ yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No.16/2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang dianggap mengecewakan. Pasalnya, Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut ini telah menjalankan fungsinya dengan baik meski umurnya belum genap dua tahun.

William Sabandar, mantan Deputi Operasional BP REDD+ mengatakan, pekerjaan rumah KLHK yang harus dilakukan paska dileburnya BP REDD+ adalah meneruskan komunikasi yang telah terjalin baik yang selama ini telah dilakukan BP REDD+ di 11 provinsi dan 76 kabupaten di Indonesia. Pelibatan masyarakat yang selama ini dilakukan BP REDD+ dalam menjalankan berbagai program merupakan tantangan besar yang harus dijalankan pemerintah. “Saya melihat, KLHK memiliki komitmen yang besar,” tutur William, dalam perbincangan sore Jalan Setapak, program radio hasil kerja sama Green Radio, KBR, dan Mongabay, Selasa (3/2/2015).

Menurut William, selama ini yang telah dilakukan BP REDD+ ada tiga level. Pertama, kerja sama dengan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten dengan menandatangani kesepakatan bersama untuk dilaksanakannya program. Ini dipimpin langsung oleh kepala daerah masing-masing. Peran BP REDD+ di sini adalah melakukan pendampingan teknis.

Kedua, kerja sama dengan jejaring lembaga kemasyarakatan untuk mendorong berbagai agenda perubahan. Ketiga, bekerja sama dengan masyarakat melalui citizen journalism atau jurnalisme warga yaitu mengajak peran aktif masyarakat untuk terlibat dalam berbagai inisiatif program serta memberikan masukan kepada pengambil keputusan baik di daerah maupun pusat.

Ini merupakan perubahan paradigma, sehingga segala kegiatan terkait REDD+, masyarakat harus dilibatkan. Caranya, melalui komunikasi dan engagement yang baik. Hal-hal positif yang dilakukan masyarakat harus diterima dan diapresiasi. Sehingga, keputusan pemerintah yang baik harus pula didukung dengan pelibatan masyarakat yang efektif. “Jadi, paradigma ini harus dilakukan dan kita tidak lagi bicara di ruang hampa,” ujarnya.

William optimis, pasca-dileburnya BP REDD+ dalam KLHK, tidak membuat pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya akan kacau. Menurutnya, keputusan presiden tersebut tentunya telah dipertimbangkan matang-matang.

“Mari sepenuh hati, kita dukung proses ini dan biarkan masyarakat yang menilainya. Saya tidak mau berandai-andai. Kita optimis saja, apa yang telah dilakukan BP REDD+ akan disinergikan seiring peleburan ini. Kita dukung sepenuhnya Ibu Menteri Siti Nurbaya yang akan memproses perubahan ini.”

Meski begitu, William memberikan catatan kecil terkait peleburan ini. Menurutnya, jangan sampai birokrasi menjadi hambatan, dikarenakan agenda penurunan emisi, deforestasi, dan degradasi hutan dan lahan gambut saat ini berada dibawah KLHK. Ini yang biasanya dikeluhkan masyarakat. “Semoga, perbaikan birokrasi yang melayani masyarakat akan terlihat di pemerintahan sekarang.”

Menurut William, kekuatan BP REDD+ selama ini adalah pada agenda mewujudkan tata kelola hutan dan lahan gambut yang lebih baik lagi di Indonesia. Dukungan tersebut tidak hanya datang dari dalam negeri tetapi juga dunia internasional. “Terkait letter of intent (LOI) dengan Norwegia, sudah sepatutnya pemerintah menjelaskan. Karena, tanpa BP REDD+ pun, bila komitmen pemerintah terhadap perbaikan lingkungan jelas maka inisiatif yang telah ada di daerah tinggal dilanjutkan saja,” ujarnya.

Penandatanganan MoU untuk memperkuat penegakan hukum sumber daya alam dan lingkungan hidup oleh enam lembaga negara di Jakarta, Kamis(20/12/12). Foto: Sofril Amir/Satgas REDD+

Peran daerah

Deni Bram, pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumanagara mengatakan, kendala yang dihadapi dengan adanya peleburan ini adalah, dikarenakan keputusan presiden yang diterbitkan terkait komitmen Indonesia dalam penurunan emisi, harusnya, secara bersamaan kita mendaftarkan juga focal point –nya. Nah, dalam kondisi ini, yang repot adalah antara yang didaftarkan, siapa yang berperan dalam mitigasi dan sektor apa yang harus dilakukan, tidak ada kejelasan.

Harusnya, ini harus ditindaklanjuti dengan menunjuk siapa focal point (penanggung jawab) Indonesia di tingkat dunia. “BP REDD+ selama ini gaungnya sudah besar di kancah internasional.”

Penanggung jawab ini penting, karena ketika dunia internasional menanyakan komitmen Indonesia, maka kita bisa menjawabnya melalui badan yang khusus mengurusi masalah penurunan emisi, seperti BP REDD+ sebelumnya.

Menurut Deni Bram, dengan dileburnya BP REDD+ dibawah KLHK, andai nantinya akan dibentuk sebuah badan atau dewan penasehat maka badan tersebut harus dibuat temporer. Karena, kalau dibuat permanen akan dipertanyakan kembali fungsinya. Kedua, badan tersebut harus dibuat dalam periode tertentu dengan ukuran tertentu pula. Jangan dilepas begitu saja. “Andai nantinya ada transisi ataupun penyesuaian maka baiknya peraturan yang sudah ada di BP REDD+ sebelumnya dimasukkan saja di KLHK. Ini tentu jauh lebih penting,” ujarnya.

Najib Asmani, akademisi dari Universitas Sriwijaya yang selama ini aktif di REDD+ Sumatera Selatan, mengatakan keberadaan BP REDD+ telah memfasilitasi inisiasi kabupaten dan kota di Sumatera Selatan dalam menjalankan program pengurangan emisi, deforestasi, dan degradasi hutan dan lahan gambut. BP REDD+ juga mampu mensinergikan antara NGO, pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha. “Tidak ada birokrasi,” ujarnya.

BP REDD+ selalu proaktif dan berkoordinasi, sehingga daerah di Sumsel termotivasi melakukan kegiatan yang telah dicanangkan. “Ada baiknya, orang-orang yang selama ini di REDD+ diajak bekerja sama dalam Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim,” kata Najib.

Najib melanjutkan, kekhawatiran melemahnya peran daerah terhadap perubahan iklim pasti ada. Namun, dengan semangat pemerintahan yang baru ini, Najib yakin, permasalahan yang ada, terlebih birokrasi dan koordinasi, dapat dituntaskan dengan baik. “Harus ada yang menjembatani antara daerah dan pusat.”

Sumatera Selatan, menurut Najib, telah berkomitmen menjaga lingkungan dengan menunjuk staf ahli lingkungan hidup Gubernur Sumsel, sebelum satgas hingga BP REDD+ dibentuk. Jadi, Sumatera Selatan lebih dahulu ada. “Ada tidaknya REDD+, Sumatera Selatan tetap komitmen menjaga lingkungan,” tuturnya.

Bagaimana peran daerah terkait perubahan iklim paska dileburnya BP REDD+. Akankah melemah? Foto: Rhett Butler
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,