,

Aceh Tetap Jalankan Agenda Lingkungan, Meski Tanpa BP REDD+

Aceh merupakan provinsi ke delapan yang menandatangani nota kesepahaman dengan BP REDD+ kala itu, guna mengurangi emisi karbon sebesar tujuh persen pada 2020. Penandatanganan yang berlangsung di Pendopo Gubernur Banda Aceh, Senin (17/11/2014) itu, dihadiri langsung oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo, dan Wakil Dubes Norwegia Per Cristiansen.

Gubernur Aceh  Zaini Abdullah dalam sambutannya saat itu menyatakan Pemerintah Aceh sangat mendukung komitmen yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia melalui BP REDD+ untuk mencapai target penurunan emisi di negeri ini. Menurut Zaini, jauh sebelum komitmen ini dilakukan, Aceh telah lebih dahulu memberlakukan kebijakan moratorium logging sebagai upaya mengatasi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut.

Dalam dokumen SRAP REDD+ Aceh yang disusun akhir Desember 2012-2013, Aceh memiliki target akan menurunkan emisinya sebanyak tujuh persen mulai 2015 hingga 2020. Emisi karbon di Aceh berasal dari emisi deforestasi kawasan hutan, areal penggunaan lain, dan kebakaran lahan. Aceh merupakan provinsi urutan ke-12 penyumbang emisi karbon terbanyak di Indonesia.

Heru Prasetyo, dalam keterangannya saat itu mengungkapkan, pelaksanaan REDD+ di  Aceh secara langsung mendukung pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Menurut Heru, nota kesepahaman yang ditandatangani di Aceh dapat dijadikan pembelajaran bagi provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Namun, baru dua bulan paska penandatanganan kesepahaman tersebut, Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No.16/2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) “mencabut nyawa” BP REDD+ ini, tertanggal 21 Januari 2015.

Tezar Fahlevi, pegiat dari Forum Konservasi Leuser (FKL) mengatakan, terlepas ada tidaknya Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+) hutan Aceh harus diselamatkan. Hutan merupakan penyelamat kehidupan masyarakat Aceh di masa mendatang yang harus terus dijaga.

Hal senada disampaikan M. Nur, Direktur Walhi Aceh. Bahkan, empat hari setelah penandatanganan, M. Nur telah mengingatkan Pemerintah Aceh agar melakukan kajian terkait penerapan program REDD+. Terutama, implementasi REDD+ dalam upaya pengukuhan kawasan hutan dan pemenuhan hak tenurial masyarakat.  “Kejelasan mengenai pelaksanaan program REDD+ harus disampaikan kepada masyarakat Aceh dan lembaga terkait lainnya, agar dipahami secara menyeluruh. Jangan sampai, agenda ini hanya menguntungkan segelintir pihak,” ujarnya.

Marzuki, Ketua Badan Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Pase, lebih menukik pada skema pendanaan. Menurutnya, pelaksanaan REDD+ yang akan diimplemetasikan itu apakah menggunakan skema pasar sukarela atau mekanisme pasar (carbon trade) seperti European Union’s Emission Trading System.

Marzuki menambahkan  jika merujuk pada perjanjian, skema pendanaan kegiatan yang dijanjikan bersifat kredit, artinya pemerintah bekerja dulu, setelah itu baru diambil uangnya. Maka tidak tertutup kemungkinan akan menggunakan jalur pasar carbon trade system. “Sebelum melangkah jauh, Pemerintah Aceh harus  memperjelas status hak masyarakat atas kawasan hutan terutama hutan adat,” sebutnya.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah bersalaman dengan Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo disaksikan oleh Wakil Dubes Norwegia Per Cristiansen usai penandatanganan nota kesepahaman di Pendopo Gubernur Aceh, Senin (17/11/2014). Foto: BP REDD+

Husaini Syamaun, Kepala Dinas Kehutanan Aceh seperti yang dilansir dari Serambi Indonesia mengatakan, sejauh ini belum ada satu tindakan nyata yang dilakukan BP REDD+ dari awal penandatanganan hingga lembaga tersebut dilikuidasi.

Jadi, perihal perdagangan karbon masih sebatas wacana. Jika pun dilakukan, Pemerintah Aceh sudah terlibat  aktif dalam Forum Governors’ Climate and Forrest (GCF) yang dilaksanakan di Banda Aceh pada 2010 lalu. “Bila dilaksanakan, masyarakat yang lebih berhak menerimanya karena mereka terlibat langsung dalam menjaga dan melestarikan hutan,” imbuhnya.

Terkait kinerja Task Force REDD+ Aceh yang dibentuk Gubernur Aceh dan berada di bawah kewenangan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Aceh, Husaini menjelaskan belum mengetahui betul tim tersebut. Namun, menurutnya, tim sedang mempersiapkan agenda program yang akan dijalankan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,