Harapan penyelesaian konflik PT Borneo Mining Jaya dan warga Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur, tampaknya berakhir buram. Warga menolak cara-cara penyelesaian konflik oleh Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) karena dinilai banyak kejanggalan. Bahkan, konflik dibelokkan menjadi antara warga bukan dengan perusahaan sawit, anak usaha First Resources itu. Merekapun mengirimkan surat penolakan ke RSPO pada 12 Januari 2015.
Dalam surat itu, warga tidak bersedia mengikuti proses penyelesaian konflik RSPO karena tidak sesuai kaidah-kaidah resolusi konflik. Perusahaan harus keluar dari Kampung Muara Tae karena warga bukan menuntut tali asih atau plasma.
Di sana, warga yang sejak awal didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Environmental Investigation Agency (EIA) ini, memaparkan temuan sejumlah fakta dan kejanggalan dalam penyelesaian sengketa. Dampaknya, hasil sangat buruk dan tidak sesuai kaidah-kaidah resolusi konflik.
Kejanggalan itu terlihat sejak awal. Pada 2012, EIA atas nama masyarakat adat Muara Tae mengajukan keluhan ke RSPO dan tak ditanggapi serius. Perusahaan terus masuk, menggusur warga dan menanami lahan dengan sawit.
Baru pada 2013, RSPO melarang BSMJ beroperasi, kala itu lahan warga sudah menjadi sawit. Itupun tak digubris perusahaan dan terus beroperasi tanpa tindakan apa-apa dari RSPO.
Parah lagi, RSPO membiarkan perusahaan ini menggunakan surat mengatasnamakan empat Ketua RT Muara Tae yang menyatakan mendukung BSMJ. Padahal surat itu palsu dan para Ketua RT sudah membuat surat bantahan.
Keadaan tambah rumit kala penentuan lembaga penilai, Links, tak melibatkan warga Muara Tae. RSPO dan First Resources sepihak menunjuk Links tanpa kesepakatan dengan Muara Tae.
Surat yang ditandatangani para tetua adat antara lain, Mustari (Ketua BPK Muara Tae), Petrus Asuy selaku kepala adat ini menyatakan, Links yang ditunjuk RSPO tidak mampu menilai dengan adil dan netral. Penilaian buruk dan memihak BSMJ.
Hal ini terbukti, dalam penilaian Links malah menggorganisir, Kampung Muara Ponaq untuk berhadapan dengan Muara Tae dalam proses penyelesaian konflik Muara Tae-BSMJ. Padahal, Muara Ponak bukan para pihak dalam proses ini.
Links sepihak mengubah masalah yang dilaporkan Muara Tae kepada RSPO dari konflik Muara Tae dan BSMJ menjadi sengketa Muara Tae dengan Muara Ponaq. Lalu, pada pertemuan di Bogor, 23 Oktober 2014, RSPO dan Links mengambil keputusan sepihak tanpa kehadiran Muara Tae.
Dari penilaian Links, juga menetapkan masyarakat Kampung Muara Tae, hanya memiliki hak kelola dan oknum masyarakat Muara Ponak memiliki hak waris atas tanah sengketa. “Ini suatu kesimpulan Links sepihak dan mengada-ada karena tidak berdasarkan proses verifikasi atau pembuktian sesuai hukum berlaku. Padahal, jauh sebelum BSMJ masuk masyarakat Muara Tae pemilik wilayah dan tanah sengketa itu,” tulis surat ke RSPO itu.
Setelah itu, RSPO, First Resources, dan Links membuat kesepakatan mengatasnamakan kesepakatan bersama Muara Tae bahwa hasil penilaian Links menjadi dasar resolusi konflik. Padahal Muara Tae tidak pernah sepakat dengan penilaian Links ini. “Ini pemaksaan kepada Muara Tae demi membela kepentingan First Resources.”
Pada, 10 Juli 2013, warga sudah menyampaikan penolakan terhadap Links kepada RSPO. Namun, lembaga ini tetap menggunakan Links.
Abdon Nababan, Sekjen AMAN, menyambut baik sikap masyarakat Muara Tae itu. “Proses RSPO rumit dan seringkali tidak berpihak pada korban,” katanya seperti dikutip dari Gaung AMAN.
Abdon mengatakan, lebih baik masyarakat adat menempuh jalur perjuangan lewat mekanisme negara, seperti inkuiri nasional daripada memberikan pada organisasi para pemodal. Untuk itu, AMAN baru terlibat dalam RSPO. Dengan kejadian inipun akan mempertimbangkan apakah masih tetap atau keluar dari RSPO.
Mongabay mengkonfirmasi mengenai masalah ini kepada Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia, menggunakan surat elektronik sejak Kamis (5/2/15). Namun, hingga berita ini turun, belum ada jawaban.
Dari berita Mongabay sebelumnya, menyebutkan, Muara Tae, sebuah Kampung Dayak Benuaq. Sejak bertahun-tahun tidak pernah tenang dirundung berbagai persoalan konflik lahan.
Sejak 1971, ketika perusahaan HPH PT Sumber Mas membuka konsesi hutan di sana dilanjutkan penanaman HTI. Sejak 1995 perusahaan perkebunan PT London Sumatra masuk berujung konflik dan penangkapan warga tahun 1999. Selain konflik lahan dengan perusahaan sawit, di bagian lain bentang di Kecamatan Jempang juga berubah menjadi konsesi tambang batubara yang dimulai sejak PT Gunung Bayan Pratama Coal sejak 1993.
Tahun 2011, dua perusahaan sawit yaitu PT Munthe Waniq Jaya Perkasa dan BSJM membuka perkebunan sawit di lima kampung di Kecamatan Siluq Ngurai yaitu Kenyanyan, Rikong, Kiaq, Tendik dan Muara Ponak. Namun blok hutan adat Utaq Melinau seluas 638 hektar terletak di perbatasan antara dua kampung yaitu Muara Ponak dan Muara Tae, bersengketa.
Bagi masyarakat Muara Tae, wilayah ini merupakan bagian wilayah yang digarap turun temurun. Lahan itu telah dilepaskan sepihak oleh masyarakat Muara Ponak kepada perusahaan perkebunan. Hingga saat ini, kedua komunitas bersikukuh bahwa blok hutan itu bagian wilayah adat mereka. Blok hutan ini berada di sepanjang jalan yang dibuat perusahaan kayu PT Roda Mas pada 1978.