,

Inilah Jasa Besar Monyet-monyet bagi Desa Padangtegal

Sekitar 600 monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) membuat desa di Ubud ini kaya. Monyet juga mendorong desa belajar memilah sampah.

Made Murdana dan Koming berteriak bersahutan memanggil para monyet. Suara mereka nyaring di sela-sela pepohonan hutan konservasi. Saat makan siang. Kedua pria ini memotong ubi jalar mentah dan timun. Belasan lalu puluhan monyet mendatangi pusat makanan yang berserak di tanah.

Seorang turis ingin mengajak monyet-monyet ini bermain. Dia mengambil beberapa potong timun dan ubi lalu menjulurkan ke monyet. Turis pria juga menyerahkan ponsel ke Koming untuk narsis. Si turis berteriak-teriak kegirangan saat beberapa monyet naik ke kepala dan punggung.

Orang Bali menyebut bojog, dalam bahasa daerah. Warna rambut keabu-abuan hingga coklat kemerahan. Ada jambang di pipi berwarna abu-abu, terkadang terdapat jambul di atas kepala. Hidung datar dengan ujung hidung menyempit. Ekor panjang.

Menurut catatan ProFauna, monyet yang umum dijumpai, tersebar luas di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Status tidak dilindungi. Namun di Desa Padangtegal, Ubud, monyet ini dilindungi. Mereka tinggal di lahan 12 hektar, di pusat keramaian,  salah satu desa turis terkenal di dunia. Mereka membuat Padangtegal kaya. Hutan monyet yang terkenal dengan nama Monkey Forest ini menjadi sumber oksigen di tengah makin macetnya Ubud.

“Luas hutan terus ditambah, ini pohon-pohon baru umur 10-15 tahun,” kata Murdana, menunjuk pohon kemiri dan jati. Tak mudah menumbuhkan pohon di habitat bojog ini. “Banyak bibit mati dirusak, dahan dipatahkan  atau dicabut buat mainan.” Monkey Forestpun punya tim khusus menangani hutan konservasi ini.  Bibit terjaga, kalau rusak segera diganti.

Melihat kerapatan pepohonan baru, tim konservasi ini terlihat bekerja keras. Ratusan bojog bisa bermain, bergelantungan dan memanjat tanpa mematahkan dahan.

Membuat hutan baru dan menumbuhkan dalam waktu cepat memerlukan pupuk. Mereka memutuskan menggunakan kompos agar alami dan tak meracuni habitat bojog.

Kalau kompos beli terus, biaya cukup besar. Bagaimana solusinya? Sejak 2013, mereka mulai merintis produksi kompos skala rumah tangga. Pengurus desa meminta tiap warga memilah sampah rumah, lalu mengolah menjadi kompos padat maupun cair. Tak berjalan mulus.

Tak banyak yang mau membuat kompos walau desa sudah memberikan tiga tempt sampah gratis: khusus organik, kering dan basah serta anorganik.

Untuk sampah basah seperti sisa makanan dan residu dapur ada tong khusus yang memudahkan pembuatan kompos cair. Sebuah tong warna biru dipasang pipa-pipa guna mempercepat pembusukan mikroba, lalu hasil langsung ditampung dari katup, seperti dispenser air.

Harga tong ini Rp250.000 per unit. Cukup mahal jika harus membeli. “Baru setahunan ini warga mau memilah sampah, kalau tak dipilah tak akan kami angkut,” kata I Wayan Miasa, petugas tim pengangkut sampah bentukan Desa Padangtegal. Namun, bisa dihitung jari yang mau membuat kompos sendiri.

Untungnya,  di Gianyar ada tempat pembuangan akhir (TPA) Temesi yang mengelola sampah dengan composting. Setelah diangkut lebih dari 600 rumah dan hampir 300 restoran, hotel, café, dan usaha lain di desa, empat truk sampah membuang ke TPA Temesi. Karena sudah terpilah di truk antara organik dan anorganik, Temesi barter dengan kantong-kantong kompos tiap hari.

Temesi harus membayar upah pemilahan sampah pada puluhan pemulung yang menjadi langganan sebelum bisa mengolah jadi kompos. TPA ini sekitar 10 tahun menerapkan model pemberian upah pada pemulung. Tiap ton sampah organik terpilah Rp45.000. Pemulung cekatan dan bekerja delapan jam per hari bisa memilah sampai satu ton.

Dengan sistem aerob, kompos bisa diproduksi 10 ton per hari. Inilah sumber utama penghasilan TPA untuk operasional selain dana hibah dan program PBB, Clean Development Mechanism untuk mengurangi emisi global.

Tim Rumah Kompos. Foto: Luh De Suriyani
Tim Rumah Kompos. Foto: Luh De Suriyani

Dana dari monyet

Putu Negara, koordinator lapangan tim sampah di Padangtegal menyebut sangat bersyukur mendapat anggaran kebersihan dari para monyet. “Ngaben (upacara kematian) saja ditanggung desa apalagi sampah,” katanya.

Biaya angkut sampah yang dibayarkan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Rp35.000 per bulan per rumah tangga. Untuk usaha seperti resto dan hotel membayar sendiri. Bervariasi tergantung sampah antara Rp300.000-Rp1 juta lebih.

Belasan petugas angkut sampah mulai bekerja dini hari sekitar pukul 4.00, selesai sebelum pukul 11.00. “Di Ubud, angkut sampah harus selesai sebelum siang agar tak mengganggu wisatawan,” kata Supardi, Manajer Rumah Kompos Padangtegal jadi pusat pembelajaran pengelolaan sampah.

Rumah Kompos ini yang mengoordinir operasional pengangkutan sampah. Supardi mengatakan,  unit ini tak mungkin mengolah kompos sendiri karena tak ada lahan. Bahkan, sebelum unit ini berdiri, ada pengusaha yang komplain karena takut menimbulkan  bau.

Rumah Kompos  membuat model cara pengolahan, misal  petak model composting, petak kecil kebun, dan penampungan sedikit sampah anorganik. “Kami ingin mendidik anak-anak memilah sampah, mengolah sejak dini dan memperlihatkan cara di sini.”

Sebelum inisiatif pemilahan sampah, katanya, ada yang membuang sampah ke saluran air atau menumpuk di depan rumah. Di Rumah Kompos, sampah harus terangkut tiap hari.

Tiap enam bulan beberapa warga diberi hadiah jika menjadi pengolah sampah terbaik. Biasa yang terpilih karena berani mendaur ulang organik menjadi kompos padat atau cair.

Pelestarian hayati

Pihak desa berupaya menambah luasan hutan dan membuat program lain. I Nyoman Buana, Manajer Badan Pengelola Mandala Suci Wanara Wana Monkey Forest menyebut sejumlah ide sepetti program adopsi pohon dan hutan tanaman langka serta kebutuhan upacara. “Kalau ada wisatawan datang bisa beli bibit dan nanam sendiri. Juga ingin hutan tanaman langka dan tanaman yadnya (ritual).”

Suatu saat, Monkey Forest bermimpi jadi bank tanaman yadnya untuk desa lain yang memerlukan. Lahan sudah ada tapi belum berjalan karena ada permintaan membuat sentral parkir di Ubud.

Menurut dia, bahasa konservasi dan Tri Hita Karana baru muncul belakangan. Secara teknis upaya ini sudah dilakukan warga sejak abad 14, ketika hutan dan dan monyet ada di sekitar pura. Diyakini sebagai tempat sacral, secara alamiah masyarakat tak berani mengganggu satwa maupun tumbuhan.

Pada 70an, orang masih percaya kalau tindakan sembarangan di pura akan berbahaya, seperti tebang pohon. “Yang melakukan bisa masuk tapi tak bisa keluar. Itu cerita yang dipelihara sejak dulu.”

Upaya menjaga hutan dan satwa lestari itu kombinasi keyakinan dan lingkungan. Dia tidak pernah mendengar ada yang mengganggu monyet. Di tempat lain mungkin  diburu atau ditembak.

Buana menyebut, pada awalnya ada sekitar 40an ekor, sekarang menjadi 600an.“Tak ada upaya merusak kawasan hutan, apalagi sejak 90an sudah menjadi aset desa dan sumber penghasilan, kesadaran menjaga hutan monyet secara alamiah dan serasi menjadi kebutuhan,” katanya.

Hutan dan habitat sudah ada sebelum Desa Padangtegal ada. Sekitar 1.000-3.000 wisatawan rutin berkunjung tiap hari, dengan bayar tiket masuk Rp20.000-30.000 per orang. Retribusi ini menjadikan Padangtegal salah satu desa terkaya di Bali.

Hutan menjadi paru-paru U bud, habitat monyet terjaga, monyet terlindungi. Warga desa menikmati hasil dari turis yang datang.  Foto: Luh De Suriyani
Hutan menjadi paru-paru U bud, habitat monyet terjaga, monyet terlindungi. Warga desa menikmati hasil dari turis yang datang. Foto: Luh De Suriyani
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,