Di sepanjang Jalan S Parman hingga Grogol, Jakarta, lumpuh total pada Senin (9/2/15). Ketinggian banjir mencapai satu meter membuat kendaraan yang melintas harus berputar arah. Ada mobil memaksakan menembus banjir, walau berakhir mogok.
Di Jalan Tanjung Duren, beberapa orang lalu lalang membawa gerobak. Menawarkan jasa angkut sepeda motor dari daerah tergenang menuju yang lebih aman. Tarif bervariasi. Antara Rp20.000-Rp50.000. Perahu karet milik BNPB dan kepolisian juga membantu warga melintasi kawasan ini. Beberapa orang silih berganti menunggu giliran naik ke perahu karet.
“Tadi mau berangkat pagi-pagi menjadi terlambat karena banjir,” kata Adhi Muhammad Daryono, warga Kedoya.”Saya harus membawa baju ganti mengantisipasi tidak basah saat berkendara,” katanya.
Tak hanya Grogol dan Tanjung Duren. Hujan yang mengguyur Jakarta sejak Minggu malam (8/2/15) hingga Selasa subuh (10/2/15) menyebabkan beberapa kawasan tergenang banjir. Pada Senin (9/1/15), banjir bahkan ‘mengepung” Istana Negara, dengan kedalaman berkisar 10-100 cm. Hari ini, pantauan Traffic Management Center Polda Metro Jaya, beberapa titik genangan masih terjadi di beberapa wilayah, seperti di Daan Mogot, Pasar Cipulir, Kebayoran Baru, sampai Duri Kosambi, antara 20-100 cm.
Dari perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam pekan ini, Jakarta, berawan, hujan ringan, hingga hujan lebat. Potensi hujan ringan hingga sedang di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Hujan lebat bakal mengguyur Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, siang, sore, sampai malam hari. Ini dari sisi perkiraan cuaca. “Namun, penyebab banjir bukan sekadar soal hujan, tetapi lebih dari itu,” kata Deddy Ratih, dari Walhi Nasional.
Menurut dia, banjir bak jadi ‘agenda’ rutin Ibukota dan warga sampai para ahli tata kota menyadari bagaimana bentang alam kota ini serta daerah mana saja yang mempengaruhi kondisi lingkungan di sini.
Ruang terbuka hijau di Jakarta, katanya, hanya tersisa 6%. Yang lain, sudah menjadi berbagai kegiatan komersil pembangunan seperti gedung-gedung bertingkat dengan basement bertingkat pula.
Kondisi ini, ucap Deddy, membuat kemampuan lingkungan menurun alias daya dukung dan daya tampung lingkungan Jakarta sudah tak seimbang.
“Jakarta sudah over burden dengan begitu padat pembangunan kota ini,” katanya di Jakarta, Selasa (10/2/15).
Untuk itu, dalam melihat problem lingkungan di kota ini tak bisa hanya lingkup Jakarta. Ada daerah-daerah lain berpengaruh atau setidaknya memberikan pengaruh terhadap kondisi lingkungan, termasuk banjir di Jakarta.
“Nah, dari dulu para ahli itu sudah ngomong soal Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) selain Botabek (Bogor-Tangerang-Bekasi) mengenai model pembangunan terintegrasi,” katanya.
Sayangnya, dalam kenyataan, yang terintegrasi justru membangun jalan tol, kawasan industri atau kawasan ekonomi terpadu. Sedang
mengintegrasikan pembangunan dengan aspek lingkungan hidup berkelanjutan belum dilakukan.
Apa masih bisa diperbaiki? Deddy mengatakan, kemungkinan memperbaiki selalu ada. Dia menyarankan, pemerintah menata ulang kawasan-kawasan yang memang harus dikonservasi dan menata wilayah-wilayah tetangga Jakarta, seperti Depok, Tangerang dan Bekasi.
Lalu, perbaikan sungai-sungai, memperbaiki tata air (drainase), mewajibkan biopori, dan menghentikan pengembangan bangunan komersial seperti gedung-gedung bertingkat.
Untuk menjalankan ini, katanya, memang mesti kerja bersama pemerintah daerah dan pemerintah pusat. “Harusnya itu dikoordinasikan pemerintah pusat.”
Dia juga mengingatkan, wacana pembangunan giant sea wall—yang katanya buat mengantisipasi banjir—bisa menjadi kebalikan alias malah berpotensi membahayakan lingkungan hidup di Jakarta.
Monitoring kementerian LHK dan daerah
Sebenarnya, pemerintah daerah dan pusat sudah berupaya mengantisipasi banjir ini. Sejak beberapa bulan lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah melakukan pengamatan terhadap hulu Sungai Ciliwung di Tugu dengan stasiun pengamatan tinggi muka air.
Baru-baru ini, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, langkah mengantisipasi banjir Jakarta, dari luapan Sungai Ciliwung, kementerian berkoordinasi dengan Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Jakarta. Mereka juga berkonsolidasi lewat kerja-kerja dinas, UPT di Jakarta dan Jabar, termasuk di kabupaten. “Soal banjir Jakarta, kita sudah antisipasi sejak November. Interaksi pemda terus berjalan,” katanya dalam refleksi kerja 100 hari Kementerian LHK di Jakarta.
Siti mengatakan, antisipasi banjir dari Sungai Ciliwung pada November-Desember 2014, dengan pengerukan sendimentasi drinase atau parit-parit di Jakarta dan kabupaten/kota sekitar Ibukota negara. “Sumur serapan dan biopori juga upaya dibangun meskipun masih terbatas.”
Sedang banjir luapan Sungai Citarum, kata Siti, memiliki karakter berbeda dari Ciliwung. Di Citarum, pada hulu Sungai Cisangkuy, jelas terjadi alih fungsi lahan sangat rentan. Lahan telah menjadi kebun sayur mayur seperti kentang, kubis dan wortel. Di lereng-lereng bukit, katanya, rentan longsor dan erosi.
Untuk itu, katanya, penanganan banjir Citarum, kementerian berkoordinasi dengan Gubernur Jabar. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, telah membagi tugas antara pemerintah Jabar, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian LHK. “Menteri PU akan menangani pekerjaan konstruksi seperti bendung besar di wilayah tengah ke hilir, sedang Menteri LHK hulu sungai.”