,

Peneliti UGM: Populasi Orangutan di TN Gunung Palung Menurun. Kenapa?

Orangutan (pongo abelii dan pongo pygmaeus) merupakan satu-satunya sejenis kera besar yang ada di Benua Asia. Habitatnya hanya ada di Sumatera dan Kalimantan. Sementara jenis kera besar lainnya, gorila, simpanse dan bonobo hanya ditemukan di Afrika. Meski demikian, orangutan kini tergolong satwa langka yang terancam punah. Penyebabnya, laju degradasi hutan yang dikonversi menjadi lahan perkebunan dan pemukiman.

”Kehilangan habitat, degradasi dan fragmentasi merupakan ancaman terhadap kehidupan orangutan di Sumatera dan Kalimatan,” kata kata dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjung Pura, Slamet Rifanjani usai ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, pada akhir Januari 2015.

orangutan

Hasil penelitian Slamet terhadap habitat orangutan di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), Ketapang, Kalimantan Barat menunjukkan penurunan kepadatan populasi Orangutan. Dia mengungkapkan penurunan populasi orangutan di TNGP terjadi akibat adanya penurunan kerapatan pohon akibat penebangan baik pada habitat yang kontinyu maupun habitat yang terfragmentasi.

Penurunan kerapatan pohon ini berpengaruh terhadap ketersediaan pakan seperti pohon punak (Tetramerista glabra) karena memiliki nilai komersial sehingga menjadi sasaran tebang.

Di lokasi yang terfragmentasi penurunan populasi jauh lebih besar yaitu 98,08%. Data menunjukkan kerapatan populasi menurun dari 2,60 orangutan per km persegi menjadi 0,05 orang utan per kilometer persegi. Padahal penelitian yang dilakukan 2001 lalu menunjukkan 4 ekor orangutan per satu kilometer persegi. Hal ini dikarenakan masalah berkurangnya pohon pakan dan lokasi yang terfragmen juga mengalami tekanan karena aktifitas manusia yang masuk sampai ke habitat orangutan dengan intensitas tinggi.

Akibatnya, orangutan memilih berdiam di pohon yang relatif besar dan tinggi dari pohon sekitarnya. Pohon-pohon tersebut umumnya berdiameter besar sebagai lokasi sarang yang biasanya terletak di hutan terdegradasi dan hutan terfragmentasi.

“Sarang orangutan ini rata-rata berdiameter 10-20 cm serta ketinggian antara 7 sampai 18,5 meter,” katanya.

Dari luas keseluruhan kawasan taman nasional yang mencapai 90 ribu hektar, ruang habitat dengan kategori sangat sesuai di kawasan utuh seluas 80.661 hektar, sementara kawasan yang terdegradasi dan terfragmentasi masing-masing 699 hektar dan 1,6 hektar.

Melihat kondisi ini, Slamet merekomendasikan agar pengelola TNGP maupun pemerintah daerah setempat agar segera menetapkan kawasan hutan yang khusus diperuntukan bagi kawasan habitat orangutan. “Habitat itu perlu diperkaya dengan sarang, pakan diperbanyak, akses manusia juga dibatasi,” tambahnya.

Sementara itu Daniek Hendarto, manager Centre for Orangutan Protection (COP) wilayah Yogyakarta kepada Mongabay mengatakan, ancaman terbesar orangutan jika dirangking maka yang pertama adalah hilangnya habitat, seperti alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. Kedua perburuan dan ketiga perdagangan. Ini mata rantai dari ancaman kepunahan orangutan.

Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2008 orangutan di Sumatera ada 6500 ekor dan data World Wildlife Fund (WWF) tahun 2008 data orangutan Kalimantan ada 55.000 ekor. Adapun data dari Population Habitat Analysis tahun 2004, populasi orangutan Kalimantan 57.797 ekor, sementara populasi orangutan Sumatera ada 7.501 ekor.

Menurut Daniek, perdagangan orangutan menjadi penyebab turunnya populasi. Perdagangan orangutan jarang terjadi di Kalimantan dan Sumatera, namun digeser dijual di pasar burung dan kolektor di Pulau Jawa. Perdagangan orangutan sangat tertutup dan rapat karena nilai jual lebih tinggi dari satwa lain, serta diorganisir kelompok profesional.

“Alih fungsi hutan, dalam pembukaan lahan banyak hal-hal terlewatkan seperti survei habitat, amdal dan sebagainya,” kata Daniek di Yogyakarta, Minggu (01/02/2015).

COP terus menekan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk melakukan penundaan pemberian sertifikasi hijau ke beberapa perusahaan sawit yang merusak habitat orangutan.

Oleh karenanya pemerintah wajib untuk penegakan hukum yang tegas dan jelas. Ini tentu memberikan peringatan bagi pelaku usaha industri kelapa sawit untuk lebih memperhatikan keberlangsungan orangutan dan hutan di Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,