Seekor ikan hiu paus (Rhincodon typus) yang terjebak di kanal intake PLTU Paiton, Probolinggo, Jawa Timur akhirnya mati pada Selasa pagi (10/02/2015). Hal tersebut dibenarkan oleh Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sudirman Saad saat dihubungi Mongabay, pada Rabu (11/02/2015).
“Tim jejaring penanganan terpadu telah berupaya untuk menyelamatkan hiu paus yang terjebak di kanal PLTU Paiton, namun pada hari Selasa pagi, tanggal 10 Februari 2015 hiu paus tersebut tidak mampu bertahan hidup,” kata Sudirman.
Tim terpadu tersebut terdiri dari BPSPL (Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut) Denpasar-Ditjen KP3K KKP, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jatim, DKP Probolinggo, dokter hewan dan pihak Universitas Brawijaya. Serta tim rescue dari PLTU Paiton yang didukung oleh LIPI, Balitbang KKP, WWF dan JAAN (Jakarta Animal Aid Network).
“Hiu paus tersebut mati karena kondisi fisik lemah akibat luka yang dalam pada bagian thorax dan tingkat stress yang tinggi. Untuk mengetahui kepastian penyebab kematian ikan secara mikroskopis, tim dokter hewan melakukan nekropsi dan uji histopatologi,” ujarnya.
Sudirman mengatakan, ikan hiu paus tersebut mengalami luka bernanah di bagian punggung, ekor dan sirip. Namun belum bisa dipastikan apakah luka tersebut didapat saat berada di dalam kanal, atau sebelum terseret masuk kanal. “Kita belum tahu apakah di dalam kanal tersebut ada material besi runcing yang bisa membuat ikan tersebut terluka. Anak ikan hiu paus tersebut kemungkinan terpisah dari rombongannya. Sehingga mengalami disorientasi dan masuk ke dalam kanal. Atau bisa jadi karena ada luka sebelumnya, kemudian kelelahan, tidak kuat berenang dan masuk kanal,” katanya.
Hiu paus tersebut pertama kali diketahui masuk dalam kanal PLTU Paiton tanggal 31 Januari 2015. Awalnya, pihak manajeman PLTU Paiton berusaha menangani kejadian tersebut sendiri. Mereka berusaha menggiring ikan hiu paus untuk keluar dari kanal, namun tidak berhasil.
“Tanggal 2 Februari, manajemen PLTU Paiton melapor ke Dinas Kelautan dan Perikanan Probolinggo. Saat itu juga, DKP Probolinggo meminta bantuan ke BPSPL Denpasar. Saat pertama kali mendengar info tersebut, saya langsung memerintahkan BPSPL Denpasar untuk cek ke lapangan,” katanya.
Keesokan harinya (Selasa, 03/02/2015) tim dari BPSPL Denpasar bersama dengan DKP Probolinggo, DKP Provinsi Jatim dan Unibraw melakukan pertemuan untuk berkoordinasi dengan manajemen PLTU Paiton. Setelah itu, selama dua hari tim melakukan pengamatan setiap 3 jam sekali untuk menentukan pola penyelamatan yang dimungkinkan.
“Tanggal 6 hingga 8 Februari, tim mencoba mengarahkan hiu paus dapat keluar ke arah laut dengan memanfaatkan perubahan pola arus pasang surut. Hiu paus sempat bergerak ke arah laut dari kanal intake tujuh ke arah kanal intake tiga atau empat (sekitar 600 meter dari posisi awal),” ujar Sudirman.
Namun pada Senin (09/02/2015), hiu paus kembali terseret ke posisi awal di sekitar kanal intake tujuh. Keesokan harinya, ikan hiu paus tersebut ditemukan sudah mati di bagian hilir intake kanal.
Sudirman mengatakan, upaya menggiring hiu paus secara langsung tidak dapat dilakukan karena pertimbangan area tersebut merupakan objek vital nasional dengan faktor resiko yang besar. Kecepatan arus di 7 kanal intake sepanjang 1 km tersebut 12,6 km/jam per jam, kapasitas sedot air yang besar di setiap kanal dan berada di daerah aliran listrik tegangan ekstra tinggi. Lebar kanal 14 meter dengan kedalaman 20 meter.
“(Hiu paus) tidak bisa didekati terlalu dekat karena ada instalasi listrik bertegangan tinggi. Sehingga harus ada dampingan dari PLTU Paiton. Ada beberapa wilayah yang tidak bisa didekati dalam radius tertentu karena tegangan listriknya tinggi,” katanya.
Setelah melalui perhitungan teknis yang komprehensif, tim jejaring penyelamatan sepakat untuk melaksanakan evakuasi melalui darat pada Selasa dan Rabu (10-11/02/2015).
“Evakuasi melalui darat dilakukan dengan bantuan alat berat (crane), dengan skenario hiu paus ditangkap dengan jaring yang dirancang khusus kemudian diangkut menggunakan truk berisi air laut untuk dilepaskan ke laut dengan perkiraan waktu tempuh sekitar 45 menit,” kata Sudirman.
Pembuatan jaring memakan waktu yang cukup lama. Sudirman beralasan, jaring untuk evakuasi hiu paus tersebut harus disiapkan secara khusus. Mengingat berat ikan hiu paus mencapai 6 ton. Sehingga memerlukan jaring dengan kekuatan 14 kali lipat dari berat hiu pausn “Sebenarnya jaring sudah selesai dibuat oleh Unibraw. Namun evakuasi belum dilakukan, ikan hiu paus tersebut sudah mati,” ujarnya.
Tetapi setelah mengetahui hiu paus mati, maka dilakukan evakuasi pengangkatan badan hiu paus, yang memerlukan waktu sekitar empat jam jam (14:00-18:15 WIB). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan dari WWF dan Unibraw. Sore harinya ikan hiu paus tersebut dikuburkan di komplek PLTU Paiton. Panjang kuburan ikan hiu paus mencapai tujuh meter dengan kedalaman sepuluh meter.
Mitigasi Agar Kejadian Serupa Tak Terulang Kembali
“Pertemuan dengan pihak manajemen PLTU Paiton dan tim pakar dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 11 Februari 2015 sebagai upaya evaluasi dan langkah mitigasi untuk mengantisipasi terjadinya kembali kejadian serupa di masa yang akan datang,” kata Sudirman.
Pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi agar pihak PLTU Paiton melakukan review terhadap desain screen di mulut intake kanal untuk mencegah terulangnya kembali ikan masuk ke dalam intake kanal dan program aksi ke depan yang melibatkan semua pihak yang terkait.
“Sebenarnya PLTU Paiton sudah mempunyai jaring atau screen di mulut intake kanal. Hanya saja tidak menutup semua mulut kanal,” kata Sudirman. Ia mengatakan, screen yang dimiliki oleh PLTU Paito hanya menutup 10 meter mulut kanal. Sementara kedalaman mulut kanal mencapai 20 meter.
“Karena biasanya mereka menggunakan screen itu untuk menangkal ubur-ubur dan sampah agar tidak masuk ke dalam kanal. Masuknya ikan hiu paus ke dalam kanal baru kali ini terjadi,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menekankan perlu adanya pembenahan tata ruang kelautan yang diperjelas dengan zonasi. “Sehingga ini bisa mengatur alur. Zona yang terdapat alur ikan seperti hiu paus dan ikan atau mamalia besar lainnya, seharusnya diamankan. Nelayan tak boleh menebar jaring di sana. Begitu pun dengan kapal. Tak boleh melintas di zona tersebut,” pungkas Sudirman.
Pemrov Jatim sebenarnya sudah mempunyai peraturan mengenai zonasi wilayah laut. Hanya saja hal ini belum diturunkan kepada pihak Pemkab Probolinggo.