,

Mangrove dan Ironi Hidup Sang “Pangeran Borneo”

Matahari masih enggan beranjak dari peraduannya ketika tim pra-survei bekantan-pesut bersama Panda Click WWF-Indonesia bersiap menerobos hutan mangrove Desa Tasik Malaya, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Di kejauhan, sayup-sayup terdengar ayam jantan berkokok, seiring gema adzan berkumandang dari menara masjid.

Emitha Wulandari, salah seorang tim pra-survei bekantan WWF-Indonesia Program Kalbar segera menyiapkan segala kebutuhan di lapangan. Dia dibantu Bruno Oktavian, Eko Rahmanza Putra, dan Udiansyah.

Bruno dan Udi masing-masing fotografer dan operator Global Operation System (GPS) yang tergabung dalam Tim Monitoring Panda Click. Sedangkan Eko, satu-satunya duta Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak yang turut serta dalam perjalanan ini.

Kamis (15/1/2015), keempat orang ini pun segera meninggalkan Desa Padang Tikar menuju Desa Tasik Malaya. Jarak tempuh antar-desa relatif dekat. Hanya butuh waktu perjalanan selama kurang lebih 30 menit menggunakan sepeda motor.

Sepagi itu, Desa Tasik Malaya telah menawarkan sebuah lansekap yang khas. Desa berpenduduk sekitar 1.174 jiwa dengan luas wilayah 6.914 kilometer persegi ini bagai surga mangrove yang mempertemukan dua dunia sekaligus: sungai dan laut. Hampir sepanjang aliran sungai dipenuhi rerimbunan mangrove. Dan, garis pantai berpasir yang berkelok, cukup melengkapi panorama alam di ujung sungai.

Tidak begitu lama bagi tim pra-survei bekantan untuk menemukan satwa endemik Kalimantan itu. Sekitar pukul 06.00 WIB, aktivitas si hidung mancung sudah terpantau dalam jarak relatif dekat. Kawanan satwa dengan nama Latin Nasalis larvatus itu sedang menikmati sarapan paginya di puncak pohon bakau.

Mitha segera mengarahkan teropongnya. Dia menikmati momentum langka yang dipertontonkan secara kasat mata oleh satwa liar itu. Sementara Bruno membidik dengan kameranya, fokus pada titik di mana si hidung mancung menikmati hidangan pagi. Dan klik, shutter kamera pun ditekan berkali-kali.

Setelah mengamati dan mengabadikan perilaku satwa itu, mereka pun melanjutkan petualangan menelusuri rimba mangrove Tasik Malaya. “Awalnya, yang nampak secara kasat mata hanya dua sampai tiga ekor bekantan. Tapi, begitu masuk dan menyusuri hutan di bibir pantai itu, kita baru melihat segerombolan bekantan. Saya kira itu jumlah yang banyak,” kata Mitha sumringah.

Sementara Bruno mencoba me-review hasil bidikannya. Dia berhasil mengabadikan momentum langka itu. Sejumlah rekaman dibawa serta ke Desa Padang Tikar. Dia perlihatkan foto-foto itu kepada 11 anggota tim yang dikomandani Koordinator Komunikasi WWF-Indonesia Program Kalbar, Jimmy Syahirsyah.

Tim Pra-Survei Bekantan-Pesut dan Panda Click WWF-Indonesia Program Kalbar sedang melakukan monitoring kawasan persebaran bekantan dan pesut di Kubu Raya. Foto: Andi Fachrizal
Tim Pra-Survei Bekantan-Pesut dan Panda Click WWF-Indonesia Program Kalbar sedang melakukan monitoring kawasan persebaran bekantan dan pesut di Kubu Raya. Foto: Andi Fachrizal

Bruno juga memperlihatkan hasil jepretannya kepada Sahad, warga setempat. Sehari-hari, kakek 70 tahun itu mengisi masa tuanya dengan berjualan makanan ringan dan minuman di halaman rumah. Sudah 50 tahun dia bersama anaknya berdomisili di kampung yang tak jauh dari Pantai Parit Timur.

“Saya sudah 50 tahun tinggal di sini. Dulu, bentang masih banyak berkeliaran, khususnya di sepanjang tepi sungai. Warna bulunya kuning kemerahan. Hidungnya mancung, dan bulu dada putih keabu-abuan. Ekornya panjang menjuntai ke bawah,” kata Sahad menjelaskan ciri satwa itu.

Dia mengenal baik bentang, sebutan lokal untuk bekantan. Dalam penuturannya, satwa ini tidak diganggu oleh masyarakat. Hanya saja, bekantan menjadi salah satu satwa buruan sekunder. Pemburu tidak secara khusus menjadikan bekantan sebagai target utama buruan.

Tapi, jika dalam proses pencarian hewan buruan utama seperti babi tak ditemukan, maka bekantan tetap akan jadi sasaran. Masih ada komunitas masyarakat tertentu yang mengonsumsi daging bekantan, kendati satwa itu dilindungi undang-undang.

Bekantan adalah salah satu jenis satwa liar dilindungi, berdasarkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 No 134 dan 266 jo UU No 5 Tahun 1990. Berdasarkan Red Data Book termasuk dalam kategori genting. Populasinya berada di ambang kepunahan. Persebaran Proboscis Monkey ini sangat terbatas dan untuk kelangsungan hidupnya memerlukan kondisi tertentu.

Pangeran Borneo

Pemilik akun Facebook Anthonny Caugar kerapkali melempar isu tentang bekantan. Dalam sebuah postingan yang dirilis pada Jumat (6/2/2015), dia kembali bikin kejutan. Bekantan dapat gelar baru dengan sebutan Pangeran Borneo.

“Saya sengaja memberinya gelar seperti itu sebagai penghormatan atas satwa endemik daerah kita. Tujuannya, supaya warga menyayangi satwa itu. Bukannya diburu, apalagi dimakan. Ini juga bagian dari syiar konservasi bekantan yang kian terdesak dari “rumah”nya sendiri,” katanya ketika dikonfirmasi via selularnya.

Nelayan di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, sedang beraktivitas di sekitar hutan mangrove. Foto: Andi Fachrizal
Nelayan di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, sedang beraktivitas di sekitar hutan mangrove. Foto: Andi Fachrizal

Namun, apa yang dilakukan Anthonny Caugar di atas, berbanding terbalik dengan sejumlah netizen lainnya. Tak jarang potret bekantan yang sudah tak bernyawa, dipajang di media sosial. Kendati, hal itu mendapat reaksi keras dari para netizen lainnya.

Bukan tanpa alasan jika para netizen merasa prihatin dengan kelangsungan hidup Pangeran Borneo ini. Meski bukan target utama buruan, namun satwa ini tak luput dari sasaran bedil pemburu. Faktor lain yang turut memuluskan kepunahan satwa endemik Kalimantan ini adalah habitat yang kian terdegradasi. Hutan mangrove kian terkikis akibat alih fungsi hutan dan lahan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,