Bagi Masyarakat Sumatera Selatan, Sungai Musi merupakan kebanggaan. Sungai dengan cita rasa sejarah yang tinggi ini makin sarat nilainya karena berada di Palembang, kota tua tertua di Indonesia. Terlebih, Ibukota Provinsi Sumatera Selatan ini pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya abad ketujuh masehi.
Di Kampung 7 Ulu Palembang, permukiman masyarakat yang berada di bantaran Sungai Musi atau di seberang Jembatan Ampera, Hutan Tropis Band menggelar musik lingkungan, Rabu (11/2/2015), dari jam delapan hingga sepuluh malam.
Acara bertajuk Silaturahmi Hijau tersebut digelar sebagai bentuk kepedulian bersama terhadap kondisi Sungai Musi yang kurang terawat. Sungai sepanjang 750 kilometer ini, berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Kota Palembang, hanya menyisakan 95 anak saja. Permasalahan lain, pendangkalan, pencemaran, dan sampah membuat sungai ini seolah kehilangan nama besarnya.
Bagaimana pandangan grup musik yang digawangi Jemi Delvian (Vocal/gitar), Andi Ahmad (gitar), Herwin Meidison (gitar), David Wibowo (bas), dan Iftah Auladi (drum), terhadap lingkungan?
Berikut petikan wawancara Mongabay dengan Hutan Tropis Band.
Mongabay: Mengapa grup ini dinamakan Hutan Tropis?
Jemi: Nama ini diberikan spontan saja. Mengingat Indonesia memang memiliki hutan luas yang di dalamnya ada aneka satwa, tumbuhan, dan berbagai jenis pohon.
Sebenarnya, band ini sudah ada sejak 2012. Saat itu, konsep musiknya masih biasa dan saat dibentuk juga belum kebayang untuk membuat lirik mengenai lingkungan hidup. Yang terbayang, saat itu adalah bagaimana grup ini menelurkan musik yang enak didengar, bermanfaat, dan menggunakan bahasa yang baik, bukan sekadar dinyanyikan.
Nah, dalam perjalanan itu, Hutan Tropis bertemu dengan seniman dan budayawan di Palembang yang peduli lingkungan hidup. Dari situ, sepertinya ada sinergi yang membuat kami klop. Yaitu, bentuk lagu dan lirik yang selama ini Hutan Tropis cari.
Awal Desember 2014, Hutan Tropis yang personilnya lima orang ini langsung menggarap lagu bertema lingkungan. Ya, karena kami semua memang memiliki kepedualian terhadap lingkungan hidup. Terlebih di Sumatera Selatan, setiap tahunnya kami harus menghirup asap akibat kebakaran hutan.
Mongabay: Tidak mudah menyuarakan musik lingkungan. Apakah Hutan Tropis tidak takut bila nantinya tidak ada yang mendengarkan?
Andi: Sejak 2012, kami berlima telah bersama. Ternyata, diam-diam, kami semua memiliki kekhawatiran yang sama terhadap lingkungan. Ini yang membuat kami “meniatkan” untuk mengangkat persoalan lingkungan hidup.
Mengapa begitu? Karena di bumi yang satu ini kita hidup. Di bumi yang satu ini pula kita bekerja. Jadi, persoalan lingkungan merupakan persoalan kita bersama. Misal, sebagian ada yang menebang pohon, tapi imbas banjirnya kita yang merasakan. Begitu juga di Sumatera Selatan, ada yang “orang-orang” yang membakar lahan setiap tahunnya apakah untuk membuka kebun atau lainnya. Tapi, yang merasakan penderitaan tersebut orang-orang yang tidak melakukan. Apakah kita harus bergantung saja, tanpa ada aksi?
Orang awam seperti saya, permasalahan lingkungan yang terjadi, saya rasakan dari kejadian sehar-hari saja seperti menghirup kabut asap. Kepada siapa saya menuntut andai saya sekeluarga terkena penyakit saluran pernafasan? Bagaimana dengan masyarakat lainnya?
Jadi, ketika kita bicara lingkungan kita bukan hanya membicarakan diri kita sendiri tapi kita berbicara untuk kehidupan masyarakat luas. Pemikiran ini saya rasakan ketika semakin mendalami permasalahan lingkungan. Artinya, memang perlu ada kesadaran bersama.
Nah, kepedulian kami, melalui Hutan Tropis, kami tuangkan melalui syair lagu. Kami mencari manfaat dari yang kami bisa, meski baru melahirkan karya lingkungan yang masih “hijau” ini.
Kami tidak khawatir atau takut bila cinta lingkungan versi kami akan kalah dengan musik cintanya versi anak muda. Karena kami memang telah menentukan arah untuk menyuarakan lingkungan yang kami anggap tidak hanya bermanfaat bagi kami tetapi juga masyarakat. Untuk Hutan Tropis, kami memandangnya sebagai “amal zhariyah” agar bermanfaat bagi sesama kita.
Jemi: Iya, meski ini formasi Hutan Tropis yang kedua, tapi tidak ada perubahan dalam konsep lagu yang mengusung tema lingkungan. Kami tetap menyuarakan lingkungan yang memang merupakan bagian dari kehidupan kami.
Memang, tema itu penting. Namun kualitas musik yang kami mainkan jauh lebih penting dari tema itu sendiri. Melalui musik bertema lingkungan kami yakin akan tetap eksis. Bagi kami dengan bermusik, akan membuat bicara lingkungan lebih asik.
Misal, bila kita berbicara pentingnya menjaga bumi yang umurnya sudah empat miliar tahun lebih, akan sulit dilakukan. Terlebih, kami semua tidak ada latar lingkungan yang kuat dan juga tidak tahu bagaimana caranya menghitung umur bumi. Tapi, dengan musik, pesan akan mudah disampaikan.
Coba dengarkan:
Bumi ada sebelum engkau dan aku dilahirkan
Bumi diciptakan untuk semua makhluk-Nya di dunia
Ingatlah kita, Bumi bukan hanya hari ini
Mongabay: Ada pengalaman menarik terkait lingkungan?
Jemi: Saya lahir di dusun di kaki Gunung Dempo, Pagar Alam, Sumatera Selatan. Saya kangen dengan suasana pegunungan, hutan yang hijau yang saya dapatkan di Gunung Dempo. Saat saya lahir, hampir dinamakan Zulfikar, pelesetan dari sulfur atau belerang. Sulfikar. Karena, saat saya lahir Gunung Dempo mengeluarkan bau belerang.
Saat saya pulang kampung usai kuliah, saya melewati daerah yang ada pohon besarnya. Di pohon itu seperti pohon beringin, ada monyet yang bergelantungan. Senang sekali melihatnya. Kini, seiring musnahnya pohon tersebut, hilang pula satwa yang biasa mengunjungi pohon tersebut. Ada kesedihan juga.
Ini contoh kecil dari saya di Sumatera Selatan. Pastinya, akan ada cerita lain dari teman-teman di Indonesia.
Mongabay: Hutan Tropis tidak takut kalah populer dengan grup musik lain yang membuat lagu lingkungan juga?
Andi: Tujuan kami memang tidak untuk populer, kami tidak pernah berpikiran ke arah sana. Yang kami inginkan adalah, lagu yang telah ada ini, pesannya dapat dimaknai dengan baik. Jadi kami tidak sepatutnya untuk khawatir.
Yang paling penting bagi kami adalah, lagu-lagu lingkungan Hutan Tropis dapat meningkatkan kesadaran kita bersama untuk peduli lingkungan hidup. Siapa kita bersama itu? Ya kita semua, manusia yang hidup di bumi, tanpa harus ada sekat yang membatasi.
Jemi: Konsep kami juga adalah gerakan lingkungan. Bila tujuannya untuk populer, tentunya setelah bikin lagu dengan tema tertentu, kami akan mencari produser. Tapi, kami tidak. Kami didukung oleh pegiat lingkungan, budayawan, hingga jurnalis lingkungan. Ini keren sekali menurut saya.
Nah, untuk pertunjukan di Kampung 7 Ulu ini kami didukung oleh mereka semua. Awalnya, kami tidak ingin menggunakan panggung dan tanpa atap. Jadi, benar-benar unik dan menyatu dengan alam dan masyarakat. Hanya, karena mempertimbangkan hujan, jadi panggung digunakan.
Kembali ke awal. Kami datang untuk menyuarakan lingkungan. Jadi harus dekat dengan alam dan masyarakat juga dong. Konsepnya memberi bukan untuk dilayani. Atau bahasa lebih luasnya, kampanye lingkungan kami lewat musik. Itu saja.
Wibowo: Karena kami memang peduli lingkungan. Ini yang menyatukan kami. Meski selera kami berbeda, idola kami berbeda, namun lingkungan membuat kami satu rasa.
Herwin: Selain peduli lingkungan, kami melihat ada momen untuk menyuarakan lingkungan harus dilakukan. Kami yakin, bukan hanya di Palembang, tapi kota-kota lain di Indonesia sudah ada. Lewat musik, diharapkan kesadaran kita terhadap lingkungan makin meningkat, minimal dari lirik yang kami nyanyikan.
Kalau biasanya musik yang mengiringi kampanye lingkungan, kini saatnya musik berperan dalam lingkungan.
Iftah: Aku sudah beberapa kali ganti band dari berbagai aliran. Ketika bergabung di Hutan Tropis yang mengusung lingkungan dan lirik yang kuat membuatku lebih mantap untuk terus berkarya. Intinya, dari kesadaran lingkungan yang membuat kami bareng.
Mongabay: Setelah mengusung musik lingkungan, apa yang Hutan Tropis rasakan?
Iftah: Kami bukan sekadar ingin bermusik, tapi juga mengajak masyarakat dan seluruh pihak untuk peduli lingkungan.
Jemi: Kepedulian kami meningkat, kami juga telah mengajak Pelajar SMA 17 Palembang menciptakan musik lingkungan melalui “Workshop Musik” Januari 2014 lalu. Lagu-lagu itu nantinya akan kami nyanyikan.
Andi: Semakin kami dalami persoalan lingkungan semakin kami tahu bahwa kesadaran lingkungan kita harus ditingkatkan.
Mongabay: Mengapa pertunjukan ini dilakukan di Kampung 7 Ulu yang berada di bantaran Sungai Musi?
Jemi: Sungai Musi itu kan kebanggaan kami. Persoalan yang ada di Sungai Musi seperti sampah dan pencemaran harus diselesaikan.
Nah, bersama masyarakat di Kampung 7 Ulu ini yang tahu betul kondisi Sungai Musi, kami suarakan bersama. Terutama, persoalan sampah yang selalu menumpuk, baik dari pembuangan sekitar pasar yang dekat permukiman ini maupun sampah kiriman yang ikut mengalir seiring aliran air. Ini konsep sederhana kami.
Mongabay: Sampai kapan kalian bermusik lingkungan?
Andi: Kami akan terus bermusik untuk lingkungan, karena di sinilah kami berkarya yang bukan sebatas untuk kami sendiri tapi juga untuk kesadaran kita bersama menjaga lingkungan. Kami berharap, akan ada grup musik lain yang menyuarakan lingkungan. Murni lingkungan.
Jemi: Saat ini sudah ada delapan lagu Hutan Tropis yang dapat disimak di SoundCloud.com yang kami buatkan juga dalam bentuk compact disk (cd). Lagu-lagu tersebut memang menceritakan alam. Misal, “Kekasih Cantik Berperahu” yang menceritakan seorang lelaki yang kehilangan kekasihnya karena dusunnya yang kaya akan hasil sawa dan ladang, hilang akibat berubah menjadi perkebunan.
Atau, “Kepak Semesta” yang menceritakan bagaimana bermanfaatnya burung liar di kehidupan kita yang terus menebarkan biji dan menghijaukan bumi namun diburu oleh manusia. Begitu pula dengan “Bujang Gambut” yang menceritakan tentang kabut asap yang melanda Sumatera Selatan setiap tahun.
Kami masih menyelesaikan dua hingga empat lagu lagi yang temanya mengenai perubahan iklim dan harimau sumatera. Tunggu saja!