,

Pemerintah Harus Hormati Hak Masyarakat Sebelum Terbitkan IUP. Akankah Dilakukan?

Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau (Perpu) Nomor 2 Tahun 2014, izin usaha pertambangan (IUP) yang semula dikeluarkan pemerintahan kabupaten dan kota, kini beralih ke pemerintah provinsi. Apakah ini pertanda baik dalam penataan pertambangan yang selama ini merusak lingkungan hidup?

“Saya belum tahu apa landasan perubahan kebijakan tersebut. Apakah karena selama ini lemahnya koordinasi antara kabupaten dan kota dengan pemerintah provinsi dan pusat. Sehingga, data IUP yang dikeluarkan berbeda. Namun, perubahan tersebut, menurut saya belum menjamin perbaikan persoalan pertambangan di Indonesia, khususnya Sumatera Selatan,” kata Direktur Walhi Sumatera Selatan Hadi Jatmiko, Senin (16/02/2015).

Menurut Hadi, ada tiga hal yang harus diselesaikan terkait pertambangan ini. Pertama, penegakan hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran dalam menjalankan usaha pertambangan. Misalnya, pihak yang terbukti beroperasi di hutan lindung.

Kedua, menata kembali lahan yang sudah rusak akibat pertambangan. “Lubang-lubang bekas galian harus direhabilitasi. Begitu pula perbaikan terhadap dampak lingkungan, kesehatan dan ekonomi masyarakat. Ketiga, hormati  hak veto masyarakat terkait lokasi yang akan ditetapkan sebagai wilayah pertambangan. Masyarakat harus dilibatkan dan dimintai persetujuannya dahulu sebelum izin dikeluarkan.

Terkait wilayah pertambangan (WP) di Indonesia, dijelaskan Hadi, Pemerintah telah menerbitkan kebijakan dengan masing-masing wilayah. Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2737 Tahun 2013 untuk Pulau Sulawesi; Nomor 4002 Tahun 2013 untuk Kepulauan Maluku; Nomor 4003 Tahun 2013 untuk Kalimantan; Nomor 4004 Tahun 2013 untuk Papua; Nomor 1095 Tahun 2014 untuk Sumatera; Nomor 1204 Tahun 2014 untuk Jawa-Bali; dan Nomor 1329 Tahun 2014 untuk Nusa Tenggara.

“Sayang, produk kebijakan tersebut tanpa proses yang diamanatkan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pendapat dan persetujuan dari masyarakat sebagai pemilik lahan atau masyarakat yang diperkirakan akan terkena dampak dari aktivitas pertambangan tidak disertakan,” katanya.

Selayaknya, masyarakat pemilik lahan yang lahannya akan ditetapkan sebagai wilayah pertambangan harus dimintai persetujuan. Dalam praktiknya, pemerintah justru mengabaikan prinsip tersebut dan beranggapan seluruh wilayah menjadi kewenangan pemerintah. “Walhi telah mengingatkan pemerintah melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi dan telah terbit Putusan MK No 32/PUU-VIII/2010 pada 4 Juni 2012 yang menggarisbawahi pasal 10 huruf b,” ujar Hadi.

Intinya, menurut Hadi, sebelum menjalankan haknya untuk mengeluarkan IUP, setiap gubernur harus menyelesaikan tiga persoalan utama itu. “Gubernur harus benar-benar mempertimbangkan hak veto masyarakat.”

Tuntaskan persoalan

Sebelumnya, Robert Heri, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Sumsel, kepada media di Palembang, Jumat (13/02/2015), mengatakan, “Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 itu, penerbitan surat izin usaha pertambangan (SIUP) akan diberikan ke Gubernur Sumsel. Bupati atau walikota tidak memiliki kewenangan untuk menebitkannya.”

Kini, Pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel) menunggu petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) pengalihan penerbitan IUP dari kabupaten dan kota ke provinsi yang hingga saat ini masih dibahas oleh Pemerintah Pusat.

Menurut robert, pasca-penertiban 100 IUP di Sumsel karena masalah lahan, perizinan, dan pengolahan dampak lingkungan, Pemerintah Sumsel berjanji akan terus memperketat pengeluaran izin.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,