,

Kampung 7 Ulu Palembang, Derita Kampung Tua yang Terlupakan di Pusat Pemerintahan

Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, masyarakat sudah menetap di tepian Sungai Musi yang mengalir di Kota Palembang. Puluhan kampung terbentuk bersama tradisi dan budayanya. Salah satunya Kampung 7 Ulu. Dulu, kampung ini merupakan perkampungan yang nyaman, dan masyarakatnya hidup makmur. Kini, kampung yang tak jauh dari Jembatan Ampera itu kondisinya memprihatinkan. Sulit mengakses air bersih dan sanitasi yang buruk meski mereka bersentuhan langsung dengan Sungai Musi.

“Terkadang kami ini bertanya apakah kampung ini bagian dari Indonesia? Coba lihat kampung kami ini. Kondisinya sangat kontradiksi dengan apa yang berkembang di wilayah daratan di Palembang ini. Padahal, kampung kami berada di tengah Palembang, dan usianya jauh lebih tua dari Kota Jakarta,” kata Hermawan, tokoh masyarakat Kampung 7 Ulu Palembang, Sumatera Selatan, saat diskusi seusai pertunjukkan musik lingkungan oleh Hutan Tropis Band, Rabu (11/02/2015) lalu.

“Kami merasa kampung ini memang dibiarkan mati, bersama kampung-kampung tua lainnya di sepanjang Sungai Musi ini,” lanjutnya.

Indikasinya, kata Hermawan, sanitasi yang ada di kampungnya sangat buruk. Tidak ada parit, tidak ada bak sampah, sehingga limbah sampah dan cairan membaur di sekitar pemukiman. Selain itu, akses air bersih ke kampung ini juga sulit. “Dibutuhkan biaya sebesar Rp4 juta untuk memasang instalasi air bersih ke kampung kami. Lha, mana ada yang mampu. Pendapatan sebulan saja jauh di bawah angka tersebut. Tidak heran, masyarakat akhirnya harus mandi ke Sungai Musi yang airnya sudah keruh, tercemar, dan terpaksa membeli air minum mineral,” kata Hermawan.

Sebenarnya, apa yang dialami masyarakat kampung yang tak jauh dari objek wisata Jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak dan plasanya, serta Kampung Kapitan, ini sudah disampaikan 18 tahun lalu ke pemerintah.

“Sudah 18 tahun, persoalan lingkungan ini kami laporkan ke Pemerintah Kota Palembang, dan belum ada penyelesaian,” ujarnya.

Selama ini, penanganan sampah sifatnya hanya temporer. Pernah Pemerintah Palembang menyediakan bak sampah di jalan raya depan pemukiman warga. Sayangnya, hal ini tak berkelanjutan.

“Warga sebetulnya sudah memiliki kesadaran untuk membuang sampah di tempat yang telah disediakan. Namun, setelah berjalan beberapa bulan, timbul masalah baru. Entah kenapa, mobil pengangkut sampah tak lewat lagi sehingga sampah terus menumpuk, membusuk, sehingga mengganggu masyarakat yang ada sekitar jalan,” ujar Hermawan.

Beginilah pemandangan sehari-hari Kampung 7 Ulu Palembang. Meski letaknya dekat Pusat Pemerintahan Palembang, kampung tua ini seolah terlupakan. Foto: Muhammad Ikhsan
Beginilah pemandangan sehari-hari Kampung 7 Ulu Palembang. Meski letaknya dekat Pusat Pemerintahan Palembang, kampung tua ini seolah terlupakan. Foto: Muhammad Ikhsan

Kecemburuan Warga 7 Ulu terhadap penanganan sampah kemudian timbul karena ternyata petugas lebih memprioritaskan pengelolaan sampah di wilayah perumahan masyarakat menengah ke atas.

“Kita seolah terpinggirkan. Padahal pemukiman kita berada di tepian Sungai Musi dekat dengan Jembatan Ampera dan objek wisata Kampung Kapitan,” ujar Hermawan.

Selain itu, keberadaan objek wisata Kampung Kapitan dinilai sama sekali tidak memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat. Masyarakat hanya terlibat sebagai tenaga keamanan. “Apalagi sejak adanya cafe di tepi Sungai Musi itu, kami tidak dapat lagi melihat Jembatan Ampera. Semua ditutupi pagar dan bangunan cafe tersebut. Padahal dulu banyak orang yang main ke sini buat menikmati Sungai Musi dan Jembatan Ampera, sehingga banyak warga yang berjualan makanan di sini. Sekarang tidak ada lagi,” katanya.

Sungai Kelenteng hilang

Hermawan menjelaskan sedimentasi yang terjadi selama bertahun-tahun di tepian Sungai Musi juga berdampak pada hilangnya sungai yang melintas di Kampung 7 Ulu, seperti Sungai Kelenteng yang alirannya hingga ke daerah 8 Ulu.

“Sampai tahun 1980-an, Sungai Kelenteng masih bisa dilayari dengan perahu ketek atau perahu tambangan. Pedagang kelapa dan sembako masih bisa masuk hingga ke kampung-kampung di tepian Sungai Kelenteng. Sekarang, sungainya sudah tak ada lagi, ada bagian yang dijadikan rumah, tempat ibadah, bahkan ditimbun untuk jalan,” jelas Hermawan.

Penataan lingkungan harus dilakukan kembali di Kampung 7 Ulu. Terlebih permasalahan sampah dan air bersih. Foto: Muhammad Ikhsan
Penataan lingkungan harus dilakukan kembali di Kampung 7 Ulu. Terlebih permasalahan sampah dan air bersih. Foto: Muhammad Ikhsan

Hermawan mengatakan, warganya sebetulnya sudah lama ingin mengubah kondisi lingkungannya. Warga kampung 7 Ulu telah bosan tinggal di lingkungan yang tak sehat. Namun, kondisi ekonomi yang tak memungkinkan membuat gerakan mereka terbatas.

“Warga kami waktunya habis untuk bekerja. Mayoritas sebagai sopir ketek, pedagang, buruh, dan pekerja sektor informal lainnya. Sesekali, bisa dikerahkan untuk gotong-royong bersihkan lingkungan, tetapi kan karena mereka kerja dari pagi hingga sore jadi tak bisa dilakukan setiap minggu,” ujarnya.

Hasan, Pemuda RT 52, Kampun 7 Ulu, Palembang, mengatakan sejak lahir dan besar di Kampung 7 Ulu, selain persoalan tingginya tingkat kriminalitas yang sekarang telah banyak berkurang, penataan lingkungan menjadi persoalan tersendiri yang belum ditemukan jalan keluarnya.

“Kalau soal kriminalitas, walaupun masih ada, alhamdulillah sudah banyak berkurang. Sekarang ini, yang perlu pemecahannya adalah penataan lingkungan, seperti pendangkalan sungai dan pengelolaan sampah,” ujarnya.

Hasan mengatakan, saat ini daerah aliran sungai mulai hilang baik karena ditimbun atau karena sedimentasi. Akibatnya, saat air sungai pasang meluap hingga ke daratan. Selama bertahun-tahun, banjir ini tak menjadi persoalan karena warga tinggal di rumah panggung.

“Tetapi, dampaknya saat ini terlihat jelas, misalnya kalau dulu rata-rata rumah panggung warga ini tiangnya setinggi dua meter dari tanah sekarang hanya tinggal satu meter saja.”

Pemerintah Palembang harus menata

Najib Asmani, Staf Ahli Lingkungan Hidup Gubernur Sumatera Selatan, sangat terkejut mendengar informasi mengenai kondisi Kampung 7 Ulu. “Saya pikir sudah ditata, eh ternyata hanya Kampung Kapiten saja. Saya baru tahu kalau penataan itu hanya dirasakan beberapa warga dan kepentingannya untuk wisata,” katanya, Senin (16/02/2015).

“Jadi sudah seharusnya Pemerintah Palembang menatanya. Mempermudah akses air bersih kepada masyarakat. Bangun sanitasi yang baik. Malulah kita menghadapi Asian Games 2018 dengan kondisi masyarakat di tepian Sungai Musi seperti itu. Hendaknya, bukan hanya Kampung 7 Ulu, tapi seluruh perkampungan yang ada di tepian Sungai Musi ditata lingkungannya,” katanya.

Kampung 7 Ulu Palembang yang letaknya  dekat pusat pemerintahan dan bersentuhan langsung dengan Sungai Musi tidak menjamin keberadaannya mendapat perhatian. Foto: Rahmadi Rahmad
Kampung 7 Ulu Palembang yang letaknya dekat pusat pemerintahan dan bersentuhan langsung dengan Sungai Musi tidak menjamin keberadaannya mendapat perhatian. Foto: Rahmadi Rahmad

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,