Ada yang menarik dalam sidang lanjutan sidang gugatan warga Rembang terhadap surat keputusan Gubernur Jawa Tengah atas ijin lingkungan untuk pendirian pabrik semen yang diberikan kepada PT Semen Indonesia (PT SI) selaku tergugat intervensi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang pada Kamis (12/02/2015).
Di halaman PTUN, ada dua kelompok warga yang berunjuk rasa yaitu yang menolak dan yang mendukung pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia. Kelompok yang menolak tergabung dalam Aliansi Warga Rembang Peduli Pegunungan Kendeng (AWRPPK) yang juga mengajukan gugatan dan kelompok yang pro menamakan diri Forum Pemuda Rembang (FPR).
Dalam aksinya, kelompok FPR bernyanyi dan meneriakkan yel-yel dukungan terhadap pertambangan Semen Indonesia di Kabupaten Rembang. membawa spanduk bertuliskan “Pak Jokowi warga Kendeng dan SI siap pasok semen untuk Indonesia”. Mereka berharap terbukanya lapangan pekerjaan bagi warga Rembang dengan adanya pembangunan pabrik semen.
“Kami meminta majelis hakim untuk mendengarkan aspirasi masyarakat yang mendukung penuh pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang. Kami butuh pekerjaan, kami butuh kesejahteraan,” kata koordinator Aksi Widodo.
Sementara itu, Joko Priyanto dari AWRPPK selaku penggugat kepada Mongabay mengatakan, warga pro semen termakan rayuan janji akan adanya kesejahteraan dan lapangan pekerjaan karena hadirnya pabrik semen tanpa memikirkan dampak kerusakan lingkungan hidup dan risiko bencana dikemudian hari. “Mereka tidak memikirkan dampak hilangnya sumber air warga untuk pertanian, ternak dan kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Keberatan Warga Soal Pabrik Semen
Sedangkan sidang lanjutan mengagendakan pengajuan saksi dari penggugat yaitu Suwitnyo selaku kepala dusun Desa Timbrangan dan Kiswarin dari Lembaga Swadaya Masyarakat KALAL yang bergerak pada lingkungan hidup.
Dalam kesaksiannya Suwitnyo mengatakan selama menjadi kepala dusun Timbrangan di Desa Timbarangan belum pernah mendengar adanya pemberitahuan sosialisasi dan konsultasi pendirian pabrik semen. Selain itu ia mengatakan, ada dua goa dengan mata air di Desa Timbrangan.
Selama ini, banyak truk membawa batu melintas di jalan desanya. Dia tidak mengetahui aktivitas truk tersebut telah mendapatkan izin penggunaan jalan desa. Padahal aktivitas itu menimbulkan debu dan mengganggu warga.
“Dari pada menimbulkan gejolak, lebih baik aktivitas truk yang menimbulkan debu dihentikan saja,”harap Suwitnyo kepada majelis hakim.
Sedangkan Kiswarin, menjelaskan pertemuan di Gedung Bupati Rembang pada 2013 yang dihadiri oleh warga, pihak PT SI, pemkab, pihak kecamatan, akademisi dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). JMMPK yang diwakil Ming Lukiarti dan Baskoro keberatan terhadap kegiatan pertambangan semen di Rembang karena akan bertentang dengan Keppres No 26 tahun 2011 tentang penetapan Cekungan Air Tanah (CAT), dan akan merusak lingkungan.
“Selama pertemuan tidak pernah dibahas ijin-ijin pertambangan ataupun RKL-RPL. Lebih menjelaskan peta hidrologi dan geologi,” kata Kiswarin.
Muhnur Syahaprabu selaku pengacara warga mengatakan keterangan kedua saksi sesuai dengan benang merah gugatan, bahwa sosialisasi PT SI hanya memberitahukan kepada warga, bukan meminta persetujuan masyarakat untuk pendirian pabrik semen.
“Konsultasi dan diskusi tidak ada dalam proses pembuatan amdal. Ada fakta masyarakat protes terhadap proses membuat Amdal, lalu tidak libatkan sama sekali,” kata Muhnur.
Sementara itu Handarbeni Imam Arioso selaku pengacara PT Semen Indonesia kepada wartawan mengatakan, kedua saksi tidak mengetahui sosialisasi yang dilakukan pihak PT SI. Terbukti dalam persidangan bahwa Suwitnyo selaku kepada dusun Timbrangan tidak mengetahui apapun terkait adanya sosialiasi, padahal dalam bukti kami kepala Desa Timbarangan hadir dalam sosialisasi.
“Secara hukum saksi Suwitnyo tidak tahu sehingga kapasitas kesaksiannya diragukan. Kami juga bingung kenapa ia dihadirkan,” kata Handarbeni.
Adapun sidang akan dilanjutkan dengan agenda kesaksian dari pihat tergugat (Gubernur Jateng) dan tergugat intervensi (PT Semen Indonesia) pada Kamis mendatang (26/02/2015).
Permintaan Komnas HAM Dihadirkan di Persidangan
Terkait sidang, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui komisionernya di subkomisi pemantauan dan penyelidikan Dianto Bachriadi mengeluarkan surat rekomendasi bernomor 0.679/K/PMT/II/2015 terkait perlindungan kawasan bentang alam karst dan cekungan mata air untuk pemenuhan dan perlindungan hak atas air. Mereka meminta majelis hakim menghadirkan Komnas HAM untuk memberikan pendapat dalam perspektif HAM (amicus curiae).
Dalam surat itu, Komnas HAM menyebutkan pemerintah pusat dan daerah dalam mengeluarkan perijinan kepada PT SI di Kabupaten Rembang kurang memperhatikan fungsi dan peran penting dari Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) dan kawasan CAT untuk konservasi sumber daya air dan sumber daya hayati.
“Dipelihara dan dilindunginya kawasan karst dan cekungan air tanah akan menjamin penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak atas air bagi setiap orang sebagai bagian terpenting bagi perlindungan hak untuk hidup yang dijamin dalam konstitusi,” kata Dianto kepada Mongabay.
Ia menambahkan, Komnas HAM menyimpulkan dalam dokumen Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang disusun oleh PT SI di Rembang diduga tidak memasukan tentang ponor serta fungsi kawasan karst dan CAT sebagai kawasan lindung sumber daya air yang telah dimanfaatkan oleh ribuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air minum, sanitasi dan irigasi.
Selain itu, pemerintah dan investor masih memandang kawasan bentang alam karst dan kawasan CAT sebagai penyedia bahan baku untuk industri semen an sich. Padahal kawasan bentang alam karst dan CAT memegang fungsi jasa lingkungan secara ekologis, ekonomi, sosial dan budaya bernilai tinggi untuk menjami kelestarian alam, air dan penghidupan manusia.
“Pemaksaan terhadap pendirian pabrik semen dan penambangan bahan baku semen di kawasan bentang alam karst dan/atau CAT di Kabupaten Rembang berpotensi memicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas air,” kata Dianto.
Menanggapi hal tersebut Munhur Satyaprabu mengatakan,pengadilan harus mengakomodir permintaan Komnas HAM karena lingkungan hidup adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara. “Hak tersebut tertuang jelas dalam pasa 28 huruf H UUD 1945,” tambahnya.