,

Bas van Balen: Cinta Indonesia Sejak di Belanda

Bas van Balen bukanlah nama asing bagi para peneliti dan pemerhati burung liar di Indonesia. Sepak terjangnya telah teruji. Pemikirannya selalu dinanti. Keilmuan lelaki kelahiran Arhhem, Belanda, 60 tahun silam ini, juga dijadikan rujukan untuk menguak misteri jagad perburungan nusantara.

Kecintaan Bas van Balen terhadap alam Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Sejak 1979 hingga sekarang, lelaki berjanggut lebat ini telah malang melintang hampir ke semua sudut Indonesia. Jangan heran, bila Pak Bas, biasa disapa, akan mengenal setiap jenis burung yang disodorkan meski hanya dari suaranya saja. Padahal, jumlah jenis burung di Indonesia sekitar 1.666 jenis.

Bagaimana pandangan pemilik nama lengkap Sebastianus van Balen tentang burung-burung liar di Indonesia? Apa yang menyebabkan penulis ratusan publikasi ilmiah ini “betah” di Indonesia?

Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia dengan Bas van Balen di sela Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung, Kampus Dramaga Institut Pertanian Bogor, Sabtu (14/02/2015) lalu.

Mongabay Indonesia: Sejak tahun 1979, Anda telah berada di Indonesia. Apa yang membuat Anda ‘kepincut’ Indonesia ketimbang negara lain?

Bas van Balen: Saya sering mendengar cerita tentang alam Indonesia. Terlebih, paman saya, yang pernah bertugas di Manado, Sulawesi Utara, pernah mengirimkan surat dengan perangko Indonesia. Saya senang sekali dan terus melihat perangko itu. Di Belanda juga, dokumentasi mengenai burung-burung di Indonesia masih banyak. Ini yang mempertegas keinginan saya untuk mengunjungi Indonesia.

Kemudian di dekat rumah saya di Arnhem, Belanda, ada museum yang menyimpan berbagai barang antik asal Indonesia. Di musuem itu ada awetan burung, kupu-kupu, hingga keong. Sangat menyenangkan sekali melihatnya. Selain itu, di sekolah saya waktu itu, ada juga orang asli Indonesia asal Bandung, Jawa Barat.

Nah, semua faktor ini makin membuat saya tertarik mengunjungi Indonesia.

Bas van Balen bersama Prof (Emeritus) S. Somadikarta, Bapak Ornitologi Indonesia
Bas van Balen bersama Prof (Emeritus) S. Somadikarta, Bapak Ornitologi Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

Mongabay Indonesia: Setelah tiba di Indonesia, mengapa Anda bersemangat meneliti burung?

Bas van Balen: Ini karena kombinasi antara burung yang saya lihat di Belanda dengan keragaman burung yang ada di Indonesia. Saya ingin memadukan kekayaan jenis burung di dua negara ini. Selain itu, banyak buku yang saya baca menggambarkan avifauna Indonesia ini.

Saat meneliti burung, biasanya minimal target survei yang saya lakukan sekitar dua minggu. Namun, bila untuk penelitian pribadi saya bisa lebih dari dua bulan di hutan.

Selama saya di Indonesia hingga saat ini, banyak hal menarik yang saya temukan. Terlebih mengenai bertambahnya jenis burung di Indonesia yang memang dikarenakan ditemukannya jenis baru maupun hasil pemisahan jenis. Saya senang sekali, memiliki andil terhadap perkembangan dunia perburungan di Indonesia ini.

Mongabay Indonesia: Bila Anda bandingkan jenis burung di Indonesia dengan negara lain yang pernah Anda kunjungi seperti apa keunikannya?

Bas van Balen: Pengetahuan saya mengenai keragaman jenis burung saya fokuskan di Indonesia. Sedangkan seperti Malaysia, Pakistan, Eropa, dan negara-negara lain yang telah saya kunjungi hanya sebentar saja.

Dari literatur yang saya baca, Indonesia memang sangat kaya keragaman jenis burungnya. Wilayah Timur dan Barat Indonesia memiliki jenis yang berbeda. Ini semakin memperkaya Indonesia. Terlebih, Papua yang hingga kini masih diteliti.

Misalnya, di Papua, saya sering mendengarkan kicauan jenis paruh bengkok. Sementara di Flores, Nusa Tenggara Timur, saya melihat elang flores (Nisaetus floris). Elang flores merupakan jenis yang hanya hidup di Nusa Tenggara. Selain di Flores, persebarannya ada di Pulau Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, hingga Satonda (dekat Sumbawa), serta Pulau Rinca (dekat Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur). Populasi anggota Accipitridae ini diperkirakan hanya 100 – 240 ekor. Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkannya sebagai jenis Kritis karena populasinya yang cenderung menurun.

Secara keseluruhan, saya menyukai burung tidak hanya dari penampilan, tetapi juga suaranya.

Mongabay Indonesia: Buku panduan lapangan Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan merupakan buku yang dijadikan acuan bagi peneliti dan pemerhati burung di Indonesia. Anda termasuk salah satu penulis. Tanggapan Anda?

Bas van Balen: Sebenarnya, itu bukunya John MacKinnon. Saya ikut membantu dalam hal revisi gambar dan memberikan nama-nama sekaligus memperbaikinya dalam Bahasa Indonesia yang selanjutnya disunting oleh Ria Saryanthi.

Saya senang terlibat di buku tersebut. Harus saya akui, ada nama-nama dari jenis tersebut yang masih kurang bagus karena saya berharap akan ada penyempurnaan kedepannya. Misalnya, sikatan bodoh (Ficedula hyperythra).

Buku panduan lapangan Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan ini menjadi rujukan para peneliti dan pemerhati burung di Indonesia
Buku panduan lapangan Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan ini menjadi rujukan para peneliti dan pemerhati burung di Indonesia

Mongabay Indonesia: Dari berbagai daerah yang Anda kunjungi di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua, wilayah mana yang tingkat keterancaman burungnya tinggi?

Bas van Balen: Pulau Jawa yang tingkat keterancamannya paling tinggi. Karena habitat alami burung berupa hutan telah hilang. Harapannya tipis. Hal yang harus diperhatikan adalah bagaiman mempertahankan jenis burung yang masih ada tetap terjaga.

Sumatera, sejauh ini kita belum diketahui efeknya dengan pembabatan hutan yang cepat untuk perkebunan skala besar. Meski berbagai jenis burung masih banyak ditemukan namun, bila penggundulan terus dilakukan sudah pasti jumlah dan jenisnya akan berkurang. Begitu jugan dengan Kalimantan dan Papua yang harus diperhatikan.

Melindungi burung liar sudah pasti melindungi habitat alaminya yaitu hutan. Karena itu, masyarakat juga harus dilibatkan guna menjaga kelestarian burung-burung liar di Indonesia. Selain perlindungan wilayah dan penegakan hukum yang harus dijalankan.

Mongabay Indonesia: Apakah potensi penemuan jenis baru di Indonesia tetap terbuka?

Bas van Balen: Sangat terbuka sekali terutama di wilayah Papua dan Sulawesi, karena masih ada wilayah pegunungan yang belum dikunjungi.

Di Pulau seperti Sangihe – Talaud, Sulawesi Utara, siapa sangka bila nantinya akan ditemukan jenis baru. Artinya, masih banyak potensi yang harus digali lagi.

Mongabay Indonesia: Anda memiliki target untuk menemukan jenis baru pada penelitian mendatang?

Bas van Balen: Justru, jika kita memiliki target untuk menemukan jenis baru akan sulit didapatkan. Beberapa kali, saya pernah mendapatkan burung yang saya yakini itu jenis baru, ternyata merupakan anak jenis.

Untuk mengetahui apakah burung tersebut jenis baru atau anak jenis maka identifikasi yang paling mendasar dilakukan adalah melalui perbandingan foto dan rekaman suara. Berikutnya, cari literatur sebanyak mungkin. Jangan mengandalkan satu buku. Karena, dunia mengenai perburungan terus berkembang.

Elang flores yang statusnya Kritis dan populasinya cenderung menurun. Foto: Feri Irawan/Burung Indonesia

Mongabay Indonesia: Kepedulian masyarakat Indonesia saat ini terhadap burung dibandingkan tahun 1980-an apakah ada perbedaannya?

Bas van Balen: Saat ini telah banyak dibentuk komunitas pemerhati burung yang tidak hanya datang dari kalangan kampus tetapi juga dari masyarakat. ini menunjukkan kemajuan dan kepedualian terhadap burung yang ada di Indonesia. Dahulu, masalah perburungan belumlah sepopuler kini.

Saya harapkan ketertarikan terhadap pelestarian burung semakin meningkat di Indonesia, tidak hanya dari Malang, Bali, Sulawesi, hingga Jakarta. Tetapi juga seluruh Indonesia.

Mongabay Indonesia: Kemampuan Anda mengenali burung sungguh luar biasa, dari suara saja Anda sudah bisa mengenali jenis burung tersebut. Bagaima caranya agar para pemerhati atau peneliti burung di Indonesia dapat melakukannya?

Bas van Balen: Bila hanya sebatas ingin melihat burung maka bisa dilakukan di taman kota atau ruang terbuka hijau. Namun, bila ingin melakukan penelitian maka mencatat sebanyak mungkin saja akan kurang lengkap tanpa dapat mendeteksi asal suara yang dikeluarkan oleh jenis burung tersebut.

Cara paling mudah adalah dengan mengenali dahulu jenis burung yang ada di sekitar. Mulai dari bentuknya, kebiasaannya, hingga kicaunya. Ini lebih efektif. Dengan begitu, bila kita mendengarkan suara dari jenis yang belum pernah terdengar sebelumnya dapat kita ikuti suara tersebut. Kalau bisa, suara tersebut direkam agar bisa didengarkan sesering mungkin.

Penemuan jenis burung baru di Indonesia dari tahun 1998-2014. Sumber: Presentasi Bas van Balen saat Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung, Bogor (14/02/2015)
Penemuan jenis burung baru di Indonesia dari tahun 1998-2014. Sumber: Presentasi Bas van Balen saat Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung, Bogor (14/02/2015)
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,