,

Pemerintah Diminta Tindaklanjuti Putusan MK Tentang Pembatalan UU Air. Seperti Apakah?

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) melalui putusan bernomor Nomor 85/PUU-XII/2013 pada Sidang Pleno MK pada Rabu (18/02/2015).

Menanggapi hal tersebut, Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (Kruha) meminta kepada pemerintah untuk segera membuat kebijakan yang mematuhi putusan MK tersebut. “Pemerintah harus segera melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk mematuhi putusan MK, dengan menghentikan kebijakan yang mendorong legitimasi privatisasi air,” kata Koordinator Kruha, Muhammad Reza yang dihubungi Mongabay, akhir pekan kemarin.

Dengan batalnya UU SDA oleh MK, lanjut Reza, membuktikan bahwa pengajuan gugatan oleh mereka sejalan dengan pertimbangan MK bahwa sumber daya air merupakan bagian dari hak asasi manusia dan negara merupakan pemegang hak penguasaan atas air.

Reza melanjutkan bahwa keputusan MK menyebutkan hak penguasaan atas air dari pemerintah tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain. Privatisasi hak air atau Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak oleh pemerintah atas penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.“Privatisasi air dilarang dalam undang-undang kita. Berbeda dengan minyak dan gas,” katanya.

Dengan pembatalan UU SDA oleh MK, maka peraturan hukum pengelolaan air kembali menggunakan UU No.11/1974 tentang Pengairan. Tetapi UU Pengairan tersebut tidak cukup untuk mengatur tentang hak guna usaha air oleh pihak swasta. “UU Pengairan tidak cukup membatasi privatisasi air,” kata Reza.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera merevisi peraturan pemerintah (PP) No 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Minum atau PP PAM yang mengatur pengelolaan hak air kepada pihak swasta.

PP PAM itu merupakan salah satu yang diteliti oleh MK, lanjut Reza, dimana pemerintah melegitimasi privatisasi, komersialisasi dan monopoli air kepada pihak lain. Dengan PP tersebut, pihak swasta menganggap air sebagai komoditas ekonomi kepada masyarakat luas.

“Hak penguasaan sumber daya air harus tetap dimiliki oleh negara, yang harus diurus dan dikelola. Kita tinggal menunggu pemerintah cepat bertindak terhadap putusan MK ini dan jangan meletakkan kepentingan sektor bisnis dengan kepentingan warga negara,” tambahnya.

Pembatalan UU SDA Keseluruhan

Sebelumnya, MK memutuskan membatalkan keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.

Dalam pertimbangannya,  MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.

Warga Bali kesulitan air bersih. Mereka mencari air bersih ke mana-mana. Air dari PDAM tak jalan, mereka harus membeli per tangki atau harus membuat sumur bor dengan biaya mahal. Foto: Anton Muhajir
Warga Bali kesulitan air bersih. Mereka mencari air bersih ke mana-mana. Air dari PDAM tak jalan, mereka harus membeli per tangki atau harus membuat sumur bor dengan biaya mahal. Foto: Anton Muhajir

Wakil Ketua MK Anwar Usman dalam pembacaan putusan MK mengatakan bahwa negara diberi mandat dalam UUD 1945 untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad).

Sehingga, negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu, yang menjamin pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.

Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Air

Keputusan MK juga menyebutkan hak guna usaha air dari pemerintah kepada pihak lain tidak boleh tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa. Dan permohonan hak guna usaha air haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya.

“Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto dalam pembacaan putusan MK.

Hal lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi.

Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air.

“Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air,” tambah Aswanto.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,