,

Berharap Tanggung Jawab Pengusaha HPH untuk Hijaukan Kembali Pesisir Timur OKI. Akankah Dilakukan?

Kerusakan hutan dan lahan gambut di Pesisir Timur Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, tidak lepas dari tanggung jawab dari para pengusaha yang memiliki izin hak pengusahaan hutan (HPH) di era rezim Orde Baru. Harusnya, para pengusaha HPH tersebut bertanggung jawab dengan melakukan reboisasi atau penghijauan, serta membantu para petani atau masyarakat desa yang hidupnya miskin.

“Jika mereka diproses hukum, hanya mereka yang menderita atau menyesal, tapi hutan dan lahan gambut tetap rusak. Menurut saya, alangkah baiknya mereka yang selama ini menikmati kekayaan dari hasil penggundulan hutan, melakukan upaya perbaikan kembali hutan yang rusak tersebut,” kata Anwar Sadat, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Sriwijaya (SPS), Selasa (24/02/2015).

Menurut Sadat, program penanaman satu miliar pohon saat ini masih kurang efektif. Pasalnya, yang melakukan penanaman bukanlah pihak yang secara langsung merambah hutan sehingga kurang begitu paham kondisi hutan saat ini. “Akibatnya, gerakan ini hanya menghasilkan aksi penanaman pohon di lingkungan perkantoran, taman kota, atau di sekolah. Hampir semua dilaksanakan di kota, padahal yang rusak kan hutan,” kata Sadat.

Sadat menerangkan, sejarah HPH dimulai dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Motifnya adalah demi kepentingan nasional. Pengusahaan hutan diupayakan untuk menopang pembangunan nasional sebagai penyumbang devisa negara, penyerapan tenaga kerja, dan membangun industri pengelolaan hasil kehutanan. UUPK menjadi salah satu pintu bagi penanaman modal asing maupun modal dalam negeri.

Selanjutnya, setelah era reformasi, UUPK diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK). UU ini mengubah paradigma pengelolaan hutan yang sebelumnya hanya bersifat ekonomi sentris menjadi lebih bersifat ekologi sentris yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. UUK juga mengatur mengenai hutan adat dan kedudukan serta peran masyarakat.

Oleh karena itu, Sadat juga menghimbau pemilik HPH untuk memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan serta meminimalisir konflik dengan masyarakat di sekitar.

“Pada prinsipnya, semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan mempertimbangkan sifat dan karakteristiknya, sehingga keseimbangan dan kelestariannya dapat terpelihara,” ujar Sadat.

Rimba menjadi padang rumput

Kawasan lahan gambut di pesisir timur Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, pada 1970-an masih dipenuhi hutan. Meskipun saat itu sudah ada usaha penebangan pohon.

Tapi sejak 1982, aktivitas penebangan hutan kian menjadi. Ini dibarengi dengan program transmigrasi dan pengembangan perkebunan sawit. Puncak kerusakan hutan terjadi tahun 1990-an.

Berdasarkan data yang dimilikinya, Sadat menuturkan, awal 1990-an, tercatat 125 perusahaan pemotongan dan penggegajian kayu yang beroperasi di pesisir timur Kabupaten OKI. Setiap hari perusahaan tersebut mengeluarkan minimal 20 kubik kayu, atau 2.500 kubik kayu dikeluarkan dari pesisir timur OKI setiap harinya.

Dalam satu bulan, dengan asumsi 20 hari kerja, sekitar 50.000 kubik dikeluarkan. Jika dikalikan 12 bulan, maka 600.000 kubik kayu setiap tahun. Jumlah itu sama dengan 300.000 pohon.

“Ini dilakukan selama delapan tahun. Angka ini belum ditambah dengan penebangan yang dilakukan tahun 1970-an hingga 1980-an. Ironinya, setelah gundul terjadi kebakaran besar pada 1997 dan 1998, sehingga habislah wilayah pesisir timur tersebut,” katanya.

Tidak heran, kata Sadat, saat mengunjungi wilayah pesisir timur Kabupaten OKI, banyak ditemukan padang rumput. Sementara, kehidupan masyarakatnya saat ini sangat miskin. Mereka hanya mengandalkan hidup dari bertani padi, mencari ikan, dan berjualan kayu gelam. “Untuk membangun rumah, membutuhkan biaya yang lebih besar dari masyarakat kota. Belum lagi, fasilitas transportasi, listrik, kesehatan, pendidikan, yang sangat minim. Lengkaplah sudah kemiskinan dan penderitaan mereka,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, yang telah mengunjungi wilayah pesisir timur OKI, Kamis (19/2/2015), mengatakan bahwa terhadap kehidupan masyarakat yang minim fasilitas listrik dan air bersih maka diwilayah tersebut nantinya akan dikembangkan instalasi listrik tenaga matahari.

Namun begitu menurut Najib, pengembangan listrik juga harus dilakukan berbarengan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat berbasis lingkungan. Menurutnya, semua pihak terutama pemerintah dan pelaku usaha harus segera memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan produksi pertanian dan perikanan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,