,

Gubernur Jateng Surati Menteri Kelautan, Ini Tanggapan KKP Tentang Larangan Penggunaan Cantrang

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pada Januari 2015 kemarin telah mengirimkan surat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti perihal tindak lanjut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia.

Dalam surat tersebut Ganjar menyatakan, pemberlakuan Permen tersebut akan berdampak terhadap kesejahteraan nelayan, pengolah dan pemasar perikanan di Jawa Tengah.

Dalam perhitungannya Ganjar menjelaskan, jumlah kapal ikan dengan alat tangkap yang dilarang sesuai peraturan tersebut sebanyak 10.758 unit atau 41,25 % dari jumlah kapal perikanan di Jawa tengah.

“Produksi tangkapan tercatat sebanyak 60.396,1 ton (27,26% dari produksi perikanan tangkap tahun 2014) dan jumlah anak buah kapal (ABK) 120.966 orang nelayan 79,52%,” tulis Ganjar.

Ia menambahkan, pengolah dan pemasar hasil perikanan yang terkait dengan produksi kapal dengan alat tangkap yang dilarang sesuai peraturan tersebut meliputi 6.808 Unit Pengolah Ikan (UPI) skala UMKM dengan jumlah tenaga kerja 107.918 orang. Ada 30 UPI skala ekspor dengan tenaga kerja 5.203 orang dan 18.401 unit pemasar hasil perikanan.

“Total tenaga kerja yang terdampak sebanyak 252.488 orang. Volume ekspor hasil perikanan yang terdampak 29.808 ton dengan nilai US$. 333.140.262 (2014),” tambahnya.

Dalam surat tersebut ia menuliskan, berdasarkan UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa, kelautan dan perikanan merupakan urusan pemerintah pilihan (bagian dari urusan pemerintah daerah). Selain itu pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai 12 mil,  penertiban ijin usaha perikanan tangkap untuk perikanan berukuran diatas 5 GT  sampai 30 GT, serta pengawasan sumber daya kelautan.

“Berdasarkan pertimbangan tersebut kami meminta Menteri KKP meninjau kembali Permen Nomor 2 Tahun 2015 dengan tetap memberikan perijinan bagi kapal perikanan dibawah 30 GT sesuai kewenangan provinsi,” tulis Ganjar.

Surat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk Menteri Susi Pudjiastuti tentang pelarangan alat tangkap pukat hela dan cantrang. Foto : Tommy Apriando
Surat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk Menteri Susi Pudjiastuti tentang pelarangan alat tangkap pukat hela dan cantrang. Foto : Tommy Apriando

Selain itu, ia meminta apabila peraturan tersebut tetap dilaksanakan, dimohon hanya diperuntukkan bagi kapal perikanan berukuran di atas 30 GT atau pemerintah pusat menganggarkan pergantian alat penangkapan ikan yang dilarang dan pelatihan penggunaan alat penangkapan ikan pengganti. Memberikan bantuan modal melalui fasilitasi kredit perbankan bagi penggantian desain kapal perikanan yang sesuai. Menyediakan lapangan pekerjaan alternatif bagi yang terdampak dan membuka kemudahan impor ikan sebagai bahan baku industri pengolahan hasil perikanan.

“Alat penangkapan sebagaimana peraturan tersebut tetap masih berlaku di perairan wilayah kewenangan pemerintah provinsi sampai dengan 12 mil dari garis pantai,” tulisnya.

Menanggapi surat Gubernur Jawa Tengah dan keberatan dari para nelayan di Jawa Tengah, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap tegas melarang penggunaan alat penangkapan ikan pukat tarik atau cantrang, terutama untuk kapal diatas 30 GT sesuai Permen tersebut.

“Penggunaan cantrang telah lama menimbulkan kerusakan sehingga berpengaruh pada menurunnya ketersediaan sumber daya ikan”, ungkap Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja pada konferensi pers yang digelar di Jakarta, pada Minggu, (22/02/2015).

Menurut Sjarief, penggunaan cantrang selain merusak sumber daya alam juga berdampak buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan di beberapa daerah. Salah satu daerah yang menggunakan alat tangkap yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal (boat or vessel seines) ini adalah Jawa Tengah. Maraknya penggunaan cantrang di Kabupaten Rembang, Pati, Batang, dan Kota Tegal telah lama menimbulkan berbagai permasalahan termasuk konflik antar nelayan.

“Seharusnya cantrang tidak digunakan lagi di Jawa Tengah, karena telah sangat merugikan,” katanya.

Sjarif menjelaskan, dalam perkembangannya jumlah kapal yang menggunakan alat penangkapan ikan cantrang di Jateng bertambah dari 3.209 pada tahun 2004 menjadi 5.100 pada tahun 2007 dengan ukuran kapal sebagian besar diatas 30 GT. Permasalahan timbul karena banyaknya kapal cantrang di atas 5 GT yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah dengan alat penangkapan ikan yang lain, sehingga terjadi upaya hukum untuk menertibkan dan menimbulkan konflik dengan nelayan dari daerah lain. Permasalahan lain adalah terjadinya penurunan produksi sebesar 45 persen dari 281.267 ton (2002) menjadi 153.698 ton (2007).

“Situasi tersebut juga berdampak pada penurunan sumber daya ikan demersal sebanyak 50 persen”, kata Sjarief.

Nelayan tradisional yang kesulitan karena dampak pencemaran laut, pesisir pantai maupun konversi hutan mangrove ke perkebunan. Foto: Andreas Harsono
Nelayan tradisional yang kesulitan karena dampak pencemaran laut, pesisir pantai maupun konversi hutan mangrove ke perkebunan. Foto: Andreas Harsono

Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan KKP Tangkap Gellwynn Jusuf yang memberikan keterangan pers mengatakan, larangan penggunaan alat tangkap sudah mulai diberlakukan sejak tahun 1980. Kala itu dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/UM/7/1980, cantrang secara tegas dilarang. Kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Dirjen Perikanan Nomor IK.340/DJ.10106/97 sebagai petunjuk pelaksanaan dari peraturan tersebut.

“Pada intinya cantrang hanya diberikan bagi kapal dibawah 5 GT dengan kekuatan mesin di bawah 15 PK”, tukas Gellwynn.

Permasalahan penggunaan cantrang di Jateng, Gellwynn mengungkapkan bahwa pemerintah pusat bersama pemerintah daerah beberapa kali melakukan upaya stategis. Pada tanggal 24 April 2009 dilakukan dialog antara Perwakilan Nelayan Kabupaten Rembang, Pati, Batang, dan Kota Tegal dengan KKP di BBPPI Semarang. Pertemuan tersebut menyepakati beberapa hal, yaitu KKP melanjutkan kebijakan lama yaitu tidak memberikan izin cantrang bagi kapal di atas 30 GT. Kedua, kapal ukuran di atas 30 GT yang izin usahanya menggunakan alat tangkap selain cantrang tetapi operasinya memakai cantrang diberikan tenggang waktu tujuh hari untuk mendaftarkan kembali kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota setempat untuk di data ulang. Ketiga, izin penggunaan alat tangkap Cantrang kapal ukuran di bawah 30 GT diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing.

Hasil dialog tersebut disepakati bahwa kebijakan Pemprov Jateng adalah memberikan izin penggunaan cantrang untuk kapal di bawah 30 GT. Namun, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah tidak memberikan izin baru atau hanya memberikan perpanjangan izin bagi cantrang lama. Dalam waktu dua minggu akan dilakukan evaluasi data perizinan cantrang untuk kapal di bawah 30 GT yang ada di Jawa Tengah.

Gellwynn menambahkan, upaya strategis lainnya yang ditempuh pemerintah yakni menerbitkan Peraturan Menteri KP Nomor : PER.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPPNRI sebagaimana diubah terakhir dengan Permen KP No. 42/Permen-KP/2014. Izin penempatan cantrang hanya diberikan untuk kapal perikanan dengan ukuran sampai dengan 30 GT di jalur penangkapan II (4 mil laut sd. 12 mill laut) dan jalur penangkapan III (12 mil laut ke atas) di WPP-NRI 711, 712, dan WPP-NRI 713. Dengan berlakunya PERMEN KP No. 2/PERMEN-KP/2015, maka pengaturan tersebut di atas secara hukum tidak berlaku lagi.

“Dirjen Perikanan Tangkap melalui surat No. 1722/DPT.4/PI.420.D4/IV/09 tanggal 30 April 2009 telah menghimbau agar Dinas KP Provinsi Jawa Tengah menghentikan pemberian izin kepada kapal-kapal yang menggunakan Cantrang mengingat semakin banyaknya Cantrang di Laut Utara Jawa,” kata Gellwynn.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas pengelolaan Sumber Daya Ikan Berkelanjutan, Nomor 44/LHP/XVII/12/2013, tanggal 27 Desember 2013 diketahui bahwa Kepala Dinas KP Pemprov Jateng melalui surat No. 523.4/1037 tanggal 16 Agustus 2005 menyatakan bahwa penerbitan izin penangkapan ikan menggunakan Cantrang dihentikan per tanggal 1 September 2005 karena merusak lingkungan di dasar laut. Kemudian terungkap bahwa Dinas KP Pemprov Jateng pada tanggal 18 Maret 2013 ternyata telah membuat kesepakatan dengan perwakilan nelayan cantrang Jawa Tengah. Dalam kesepakatan itu disebutkan, kapal cantrang yang sudah terlanjur dibangun dapat memperoleh fasilitas perizinan SIUP dan SIPI.

Menurut database perizinan SIPI, diketahui jumlah izin kapal dengan alat tangkap cantrang 10-30 GT yang telah diterbitkan sampai tahun 2012 sebanyak 835 unit. Berbeda dengan penyataan Kepala Dinas KP Pemprov Jateng dalam suratnya No. 523.52/134 tanggal 16 Januari 2013 yang menyebutkan 484 unit. Berdasarkan LHP tersebut, maka Pemprov Jateng dinilai tidak konsisten dalam pengaturan alat penangkap ikan Cantrang. Seharusnya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tidak lagi memberikan izin kapal perikanan dengan menggunakan Cantrang terhitung sejak 1 September 2005.

Lebih lanjut Gellwynn mengatakan, fakta lapangan tentang operasional alat penangkapan ikan cantrang di Jawa Tengah terungkap bahwa jumlah kapal meningkat dari 5.100 (2007) menjadi 10.758 unit (2015). Padahal sesuai komitmen seharusnya dikurangi secara bertahap. Kedua, telah terjadi pelanggaran berupa pengecilan ukuran gross tonnage kapal yang dibuktikan dengan hasil uji petik di Kabupaten Tegal, Pati, dan Rembang. Ketiga, spesifikasi teknis alat penangkapan ikan yang tidak sesuai ketentuan baik ukuran mesh size maupun ukuran tali ris. Keempat, telah terjadi pelanggaran daerah penangkapan ikan yang menyebabkan konflik dengan nelayan setempat, seperti kasus di Kota Baru, Kalimantan Selatan, Masalembo, Sumenep. Selanjutnya, juga telah terjadi potensi kehilangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan subsidi BBM akibat pengecilan ukuran GT kapal.

Berdasarkan kronologis kejadian pengaturan diatas dan memperhatikan kerusakan yang ditimbulkan terhadap kesediaan sumber daya ikan, maka secara prinsip kapal cantrang dilarang beroperasi diseluruh WPP-NRI. Sedangkan, berdasarkan pertemuan antara pemerintah daerah dengan perwakilan nelayan dari Rembang, Pati, Batang, dan Kota Tegal yang difasilitasi oleh KKP pada tahun 2009, maka para nelayan memahami dan sepakat bahwa cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan siap mengalihkannya secara bertahap.

“Penyelesaian permasalahan kapal cantrang yang beroperasi di luar ketentuan agar diselesaikan oleh pemerintah daerah provinsi, karena pemerintah provinsi memiliki kewenangan dan pengendalian terhadap pemberian izin kapal dibawah 30 GT,” kata Gellwynn.

Wujudkan Pengelolaan Berkelanjutan

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) punya pandangan terhadap surat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kepada Menteri KKP Susi Pudjiastuti terkait alat tangkap cantrang. Misbachul Munir, selaku ketua bidang Penggalangan Partisipasi Publik mengatakan, KNTI percaya bahwa salah satu reformasi dan harus dikawal keberhasilannya adalah mewujudkan desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Perkembangannya pengelolaan sumber daya kelautan di bawah 12 mil laut adalah kewenangan gubernur. Namun mengingat sistem lingkungan dan sistem sosio-kultural di laut kerap tidak mengenal batas-batas administratif tersebut maka memperkuat koordinasi vertikal antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sangat penting.

“KNTI percaya baik KKP maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sama-sama berkepentingan untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kesejahteraan nelayan,” kata Munir.

Ia menambahkan, surat Gubernur Jateng Ganjar Pranowo kepada Menteri Susi harus menjadi pintu masuk untuk mengefektifkan masa transisi dari model perikanan tidak adil dan merusak, menjadi lebih adil dan berkelanjutan. Selain itu tambahnya, KNTI percaya bahwa kunci keberhasilan pengelolaan perikanan adalah partisipasi masyarakat nelayan itu sendiri.

“Maka, melibatkan nelayan dalam inisiasi, penyusunan, hingga pengawasan adalah teramat penting. Sehingga kerugian ditingkat nelayan bisa dicegah, konflik sosial dapat dihindari, di lain sisi kepentingan mendorong pengelolaan perikanan secara adil dan lestari bisa segera kita wujudkan bersama,” tutup Munir.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,