,

Inilah Empat Primata Endemik Kepulauan Mentawai. Apa Keunikannya?

Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat merupakan salah satu pulau terindah di Indonesia yang patut dikunjungi. Terdiri dari empat pulau besar yaitu Siberut, Sipora, Pagai Selatan dan Pagai Utara serta terdapat 94 buah pulau kecil, menjadikan Mentawai pulau  yang sangat indah dan menjadi tujuan wisata.

Sebagai pulau terluas diantara tiga pulau lainnya, Pulau Siberut memiliki kekayaan jenis tumbuhan dan satwa endemik, sehingga sering menjadi tempat penelitian. Tercatat ada 846 jenis tumbuhan, dari 390 genus dan 131 suku, meliputi pohon, semak, herba, liana dan epifit. Sebanyak 503 jenis tumbuhan diantaranya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan obat tradisional.

Pulau Siberut menjadi kawasan yang fenomenal dan unik karena tingkat endemisitas yang sangat tinggi yaitu 15% flora dan mencapai 65% untuk mamalia. Dari 29 mamalia yang tercatat di Pulau Siberut terdapat 21 spesies endemik. Empat diantaranya jenis primata yang hanya dimiliki oleh Kepulauan Mentawai yaitu bilou atau siamang kerdil (Hylobates klosii), simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), bokkoi atau beruk mentawai (Macaca pagensis), dan joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani).

Bilou atau siamang kerdil (Hylobates klosii) merupakan jenis primata yang paling terkenal di Mentawai. Bilou memiliki bulu-bulu yang jarang berwarna hitam gelap dan terdapat selaput antara jari kedua dan ketiga. Primata monogami ini hidup secara berkelompok yang terdiri dari induk jantan dan betina dengan anak-anaknya yang belum dewasa, dengan satu keluarga rata-rata tiga sampai empat individu. Sedangkan jumlah anggota dalam satu kelompok dapat mencapai 11 individu.

Sebagai jenis arboreal tertua yang masih hidup, bilou merupakan jenis primata yang paling banyak menghabiskan waktu di atas pohon yang tinggi (lebih dari 20 meter) dengan pakan yang disukainya adalah Ficus sp, nibung liana dan tangkai. Pekik bilou paling sederhana, lebih panjang dan bervariasi diantara pekikan jenis kera arboreal lainnya.

Siamang kerdil ini jarang turun ke tanah, karena termasuk satwa yang pergerakannya banyak menggunakan lengan-lengan yang panjang untuk berpindah/melompat dari satu pohon ke pohon yang lain sehingga sulit bergerak di permukaan tanah. Karena arboreal, menjadikan bilou jenis primata yang hidupnya paling dipengaruhi oleh kegiatan penebangan hutan.

Primata Arboreal Unik

Sedangkan joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani) mempunyai bentuk yang paling indah diantara primata endemik, dengan punggung hitam berkilat, bagian perut berwarna coklat tua, putih sekitar muka dan leher dan ekor yang panjang dan hitam seperti sutera.

Joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani), satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto: siberutmentawai.blogspot.com
Joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani), satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto: siberutmentawai.blogspot.com

Meskipun termasuk dalam genus tropis Asia yang besar dan menyebar luas, joja memiliki keunikan dalam banyak hal. Betina dewasa dan jantan pasangannya ikut serta dalam pekikan dan peragaan tantangan terhadap kelompok lain, tidak seperti kera arboreal jenis lainnya, karena hanya jantan saja yang melakukan kedua hal tersebut.

Joja biasanya mengeluarkan bunyi sebelum fajar dan dijadikan sebagai tanda teritori kelompoknya sehingga kelompok-kelompok binatang lainnya dapat menghindarkan diri. Primata arboreal sejati ini, hampir sepanjang hidupnya tinggal di pohon dan jarang sekali turun ke tanah. Makanannya terdiri dari setengahnya berupa buah-buahan, 35% daun-daun dan 15% biji-bijian, kacang, bunga dan materi tumbuhan lainnya.

Bekantan Mentawai

Simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor) termasuk kedalam keluarga bekantan. Tetapi simakobu sangat berlainan dari bekantan dan semua bentuk monyet lainnya karena ekornya yang pendek menyerupai ekor babi, badan yang gemuk pendek dan anggota-anggota badan yang sama panjang. Ada dua jenis warna bulu simakobu yaitu kelabu tua dan keemasan.

Simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto : Wikimedia
Simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto : Wikimedia

Primata ini juga arboreal, hidup di atas pohon dan memakan daun-daunan. Simakobu hidup dalam satu kelompok yang terdiri dari 1 betina, 1-5 jantan dewasa dan anak-anak. Jantan dewasa memiliki ukuran yang lebih besar dari betina dewasa dan memiliki gigi taring dua kali lebih panjang dari gigi taring betina dewasa.

Monyet ekor babi sangat mudah diburu. Seekor simakobu seringkali melarikan diri dalam jarak dekat saja dan kemudian duduk bersembunyi dalam kanopi sehingga menjadi sasaran empuk bagi pemburu. Simakobu diburu dua kali lebih banyak dari jenis lainnya. Jika satu kelompok melarikan diri, betinanya akan tertinggal dibelakang sehingga betina jenis Simakobu lebih sering dibunuh dari pada jantannya.

Beruk Mentawai

Bokkoi atau beruk Mentawai (Macaca pagensis) sangat erat hubungannya dengan beruk yang ada di Sumatera, Kalimantan dan benua Asia Tenggara, tetapi mempunyai warna bulu yang lebih gelap yang kontras sekali dengan bagian pipi yang putih serta pekik yang unik. Beruk ini tidak hanya hidup di pulau besar, tetapi juga hidup di pulau-pulau kecil seperti Pulau Siberut.

Bokkoi atau beruk Mentawai (Macaca pagensis), salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto: Wikipedia
Bokkoi atau beruk Mentawai (Macaca pagensis), salah satu primata endemik Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Foto: Wikipedia

Primata ini juga mengeluarkan bunyi sebelum fajar tetapi tidak menunjukkan pekikan teritori. Bokkoi jantan berulangkali mengeluarkan pekikan supaya terus berhubungan dengan anggota kelompoknya yang juga menjawab dengan jerit dan suara-suara yang biasa mereka keluarkan untuk tetap berhubungan satu sama lain dalam hutan lebat.

Dalam satu kelompok Bokkoi terdiri dari 30 individu, umumnya terdiri satu jantan dengan dari 8-10 individu saja. Satu kelompok akan terabgi menjadi beberapa kelompok kecil untuk mencari makanan dan kembali bergabung pada waktu malam hari.

Habitat bokkoi sangat luas, dari daerah mangrove ke hutan primer dipterocarpaceae dan hutan yang ditebang serta ladang pertanian dimana mereka sering menemukan makanan. Karenanya primata ini paling sedikit diselidiki. Dagingnya yang lezat, menjadikan primata ini sering diburu dan dikonsumsi di beberapa daerah.

Populasi Cenderung Menurun

Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB), Yumarni,  yang ditemui Selasa (24/02/2015) menyebutkan pihaknya pada Juni 2014 telah melakukan monitoring populasi bilou, simakobu, bokkoi dan joja di enam titik dalam areal Taman Nasional Siberut. Dengan metode sistem jalur (line-transect), monitoring bertujuan mengetahui perubahan komunitas popuasinya. Hasilnya,  keempat primata itu masih dapat ditemukan, khususnya di daerah Bekemen, Matotonan, Kaleak, Sirisura, Sagalubek dan Saibi.

“Sebaiknya harus ada kegiatan penelitian berupa studi populasi mengenai kualitas habitat dan ketersediaan pakan satwa ini di alamnya, agar memudahkan dalam melakukan monitoring terhadap perkembangan populasi primata endemik ini,” katanya.

Yumarni mengatakan populasi primata itu, terutama bilou cenderung menurun, karena ancaman perburuan dari masyarakat setempat untuk kegiatan ritual adat dan prasyarat pengobatan oleh Sikerei (dukun Mentawai). Bokkoi dan simakobu merupakan hewan buruan saat upacara eneget yakni upacara yang menandai seorang anak laki-laki masuk fase dewasa. Biasanya si anak akan dibawa ke dalam hutan dengan membawa  panah serta busur sebagai alat untuk berburu.

Staf Hukum dan Kebijakan dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) Pinda Tangkas Simanjuntak, mengakui adanya perburuan oleh masyarakat tapi hanya dilakukan satu kali dalam setahun yaitu pada saat bulan purnama dan hanya untuk kebutuhan ritual atau upacara adat semata.

Sehingga dia membantah jika kepunahan primata endemik Mentawai itu disebabkan oleh aktifitas perburuan yang dilakukan masyarakat. Populasi primata itu menurun akibat berkurangnya tutupan lahan untuk operasional perusahaan kayu semenjak 1970-an di Kepulauan Mentawai. Primata endemik itu mungkin hidup dan berkembang di areal-areal konsesi perusahaan.

Saat ini mungkin hanya dalam kawasan Taman Nasional Siberut saja populasi primata endemik Kepulauan Mentawai ini bisa bertahan, sebab tutupan hutannya masih terjaga dan pakannya pun tersedia. Pinda pesimis primata ini dapat berkembang baik di luar itu.

BKSDA Sumatera Barat tengah meminta pengembalian primata endemik Kepulauan Mentawai, bilou (Hylobates klosii) yang sempat dipelihara oleh warga Bungus, Kota Padang. Foto: BKSDA
BKSDA Sumatera Barat tengah meminta pengembalian primata endemik Kepulauan Mentawai, bilou (Hylobates klosii) yang sempat dipelihara oleh warga Bungus, Kota Padang. Foto: BKSDA

Kepala Balai Taman Nasional Siberut, Toto Indraswanto kepada Mongabay pada Selasa (24/02/2015) mengatakan meski belum masuk dalam 14 jenis satwa dilindungi yang dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) pada tahun 2009-2014, bilou termasuk dalam satwa yang dipantau perkembangannya.

Pada Renstra PHKA tahun 2015-2019 yang meningkatkan 14 jenis menjadi 25 jenis satwa, bilou masuk sebagai satwa dilindungi yang akan dipantau perkembangannya khusus di kepulauan Mentawai. Pelaksanaan Renstra itu yang menargetkan peningkatan 10 persen populasi selama 5 tahun itu akan dievaluasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sedangkan Biodiversity and Forest Carbon Spesialist Fauna and Flora International (FFI) Joseph Adiguna Hutabarat, mengatakan jumlah populasi bilou bervariasi, tergantung pada metode sampling yang digunakan, areal yang menjadi fokus penelitian dan kondisi pada saat dilakukan penelitian. Dari hasil penelitian populasi bilou yang dilakukan oleh Chivers (1977) mencapai 84.000 ekor, Whitten (1980) mencapai 54,000 ekor, Paciulli (2004) mencapai 3,500 ekor, Whittaker (2005) mencapai 20,000 hingga 24,000 ekor, Quinten et al, (2009) mencapai 9,3 ‐7,6 ekor per kilometer persegi, Bismark (2006) mencapai  8,14 individu per km2, Höing et al. (2013) berkisar antara 28 – 60 ekor.

Bilou yang berstatus terancam punah (endangered) menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), kecenderungan populasinya menurun. Sedangkan data Global Forest Wacth menunjukkan perubahan tutupan lahan di Kepulauan Mentawai pada 2001 seluas 498,118 hektar, menjadi 486,543 hektar pada 2012, berkurang 1,052 hektar dengan tingkat deforestasi 0,21 persen setiap tahunnya.

Melihat tingkat deforestasi yang kecil dan perburuan adat hanya sekali setahun, Joseph mengatakan populasi bilou turun akibat perdagangan satwa. Oleh karena itu, diharapkan adanya proteksi habitat dan sosialisasi pentingnya konservasi bilou kepada masyarakat. Juga perlu dilakukan penelitian untuk serta mengetahui kondisi populasi, sifat dan perilaku primata endemik tersebut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,