,

Penambangan Emas Tanpa Izin Terus Berjalan Meski Memakan Korban. Solusinya?

Miris! Penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kalimantan Barat terus memakan korban. Terakhir, Kamis (19/02/2015), dua bersaudara Yayat (25) dan Wawan (30) yang merupakan penambang emas warga Dusun Liang Sipi, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, tewas tertimbun.

Sebelumnya, 16 Januari 2015, delapan orang yang merupakan pekerja dan pendulang emas di lokasi penambangan tanpa izin di Kecamatan Menterado, Kabupaten Bengkayang, tewas tertimbun. Bahkan, beberapa bulan lalu, 18 orang tewas di perbatasan Monterado saat tanah yang disemprotkan pipa paralon 12 inchi ke atas, meruntuhkan tanah di sekitar penambangan yang digali. 16 pria dan dua perempuan tertimbun hidup-hidup.

Meski sudah memakan korban, namun kegiatan penambangan emas tanpa izin ini terus berlangsung. Benarkah alasan klise yakni demi perut, yang membuat penambangan tersebut terus berlangsung?

“Ini bukti bahwa penegakan hukum di hilir, tidak akan pernah menjadi solusi. Ini soal perut. Selama masalah perut belum selesai, hal ini akan terus terjadi,” kata Kepala Kepolisian Kalimantan Barat,  Brigadir Jenderal Polisi Arief Sulistyanto, di Pontianak belum lama ini.

Tadinya, Arief sempat sumringah karena jeratan hukum yang diberlakukan kepada cukong, yang tak lain pemilik modal, lebih berat. Tak hanya itu, Arief pun mengenakan undang-undang pencucian uang untuk mengikuti alur uang haram hasil penambangan emas tanpa izin tersebut.

Menurut Arief, Kepolisian Daerah Kalimantan Barat telah mendeteksi 64 lokasi pertambangan emas tanpa izin, yang tersebar di 12 kabupaten dan kota di Kalimantan Barat. Aktivitas paling banyak berada di Kabupaten Bengkayang, Ketapang, Landak, dan Sambas.

Penertiban

Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), Brigade Bekantan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, juga sudah melakukan penertiban pada penambangan liar di Cagar Alam Mandor, Kabupaten Landak, akhir Januari 2015. Mereka menangkap dan menahan empat tersangka yang diduga melakukan aktivitas PETI dan penebangan kayu ilegal di kawasan konservasi itu.

Kepala BKSDA Kalbar, Sustyo Iriono, (29/01/2015), mengatakan, kegiatan penertiban itu bertujuan untuk memberantas seluruh aktivitas ilegal di kawasan konservasi itu. Awalnya, kata Sulistyo, SPORC memeriksa 12 pelaku penambangan liar. Setelah melakukan pemeriksaan secara intensif, dengan melihat barang bukti dan petunjuk, akhirnya ditetapkan empat tersangka yang saat ini sudah dititipkan di Rumah Tahanan kelas IIA Pontianak.

Para pelaku dijerat dengan undang-undang No 18 Tahun 2013, tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dengan ancaman hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda minimal Rp1,5 miliar dan maksimal Rp10 Miliar.

Direktur Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya, mengatakan, ketika bicara penegakan hukum masalah penambangan liar, pemerintah harusnya memikirkan hak kelola komunitas. “Ada hak masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut,” kata Anton.

“Intinya, bagaimana penguasaan pertambangan rakyat ini dikelola secara komunal. Bukan oleh satu pemilik modal yang dominan. Sehingga, warga yang berada di sekitar area pertambangan bisa menikmati hasilnya, tanpa harus melakukan perusakan,” kata Anton.

Anton mengatakan, pemerintah telah membuat regulasi yang tidak memberikan keleluasaan pada pertambangan rakyat. “Pengelolaan tambang secara komunal, mungkin bisa menjadi solusi. Karena, kegiatan ini sudah menjadi kultur masyarakat, sejalan dengan sejarah keberadaan pertambangan di Kalimantan Barat,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,