,

Raperda Taman Hutan Raya Poboya Paneki Dianggap Abaikan Kepentingan Masyarakat Vatutela. Benarkah?

Rancangan Peraturan Daerah (raperda) tentang pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya Paneki yang berada di timur Kota Palu, Sulawesi Tengah, mendapat penolakan dari Koalisi Aksi untuk Masyarakat Tepian Hutan (Katumpua). Koalisi ini menganggap Pemerintah Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam hal ini Dinas Kehutanan, tidak terbuka dalam proses penyusunan draft rancangan tersebut.

Ketua Presidium Katumpua, Ona Samanda, mengatakan Dinas Kehutanan tidak menggunakan asas keterbukaan dalam penyusunan raperda itu dengan tidak melibatkan masyarakat Vatutela, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore yang sudah hidup turun temurun dan menetap di kawasan Poboya Paneki.

“Muatan materi raperda ada 9 bab 53 pasal yang sama sekali tidak memuat peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan. Padahal, dalam tahura tersebut ada perkebunan masyarakat yang juga digunakan untuk menggembala ternak. Kami meminta pemerintah untuk sementara menghentikan pembahasan raperda tahura sepanjang hak-hak mayarakat belum diakomodir,” ujar Ona di Palu, baru-baru ini.

Menurut Ona, kecurigaan yang paling mendasar bagi masyarakat Vatutela adalah jika raperda ini disahkan menjadi perda, maka akan ada rencana pembukaan ruas jalan Palu-Parigi yang diperkirakan melintasi kawasan tersebut. Jangan sampai nantinya pemerintah mengklaim bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan tahura. Padahal, kedepannya hanya untuk mempermudah akses pembukaan jalan  di wilayah itu.

Azmi Siradjudin dari Yayasan Merah Putih (YMP) yang ikut mendampingi warga Vatutela mengatakan, mestinya dalam raperda tersebut pemerintah mengadopsi menajemen pengelolaan bersama masyarakat di sekitar kawasan.

“Silahkan saja raperda dibahas, namun jangan menafikan masyarakat dan kebun mereka di dalamnya. Bila berkaca pada kasus tambang emas Poboya, pemerintah Kota Palu dan provinsi tidak tegas terhadap aktivitas pertambangan. Padahal, kegiatan itu masuk kawasan tahura.

“Silakan ada peraturan pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan lindung, tapi tidak mengabaikan masyarakat yang ada di dalamnya,” tegas Azmi.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, Nahardi, mengatakan memang ada kelompok kecil masyarakat Vatutela yang khawatir jika raperda ini disahkan, akan membuat mereka terusir. Menurutnya, pihaknya sudah menjelaskan bahwa raperda ini memungkinkan membuka ruang untuk pembinaan, pemberdayaan, dan perlindungan masyarakat di tahura itu.

Menurut Nahardi, masyarakat tidak perlu khawatir jika raperda ini disahkan menjadi perda, karena justru akan membuat tanaman warga yang ditanam secara tradisonal akan semakin baik. Termasuk, pohon kemiri dan sebagainya asalkan tidak merusak.

“Kita akan membuat perbaikan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar tahura. Yang kami larang itu menebang pohon. Kalau ingin menanam kopi atau kemiri akan kami bantu bila itu memang sumber pencaharian mereka,” jelas Nahardi.

Kepala Seksi Pengelolaan Kawasan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tahura Poboya Paneki, Nurudin, menjelaskan bahwa dalam pembahasan raperda ini pihaknya menepis tidak melibatkan warga yang tinggal di wilayah tahura.

“Salah, bila dikatakan tidak melibatkan masyarakat. Sebelum sampai ke DPRD, kita sudah melakukan konsultasi publik juga ke biro hukum. Bahkan, saat pembahasan di DPRD, masyarakat juga dilibatkan,” tegas Nurudin.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,