,

Moratorium Izin Tambang di Kalimantan Timur akan Ditegaskan Melalui Peraturan Gubernur

Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak pada 25 Januari 2013 telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 180/1375-HK/2013 yang ditujukan kepada bupati dan walikota se-Kalimantan Timur untuk melakukan moratorium izin pertambangan, perkebunan, dan kehutanan.

Melalui surat tersebut, Awang, meminta bupati dan walikota untuk tidak mengeluarkan izin baru, melakukan evaluasi perizinan, dan memberikan laporan yang jarak waktunya tidak lama. Menurut Awang, luas wilayah yang dialokasikan untuk pertambangan, perkebunan dan industri kehutanan di Kalimantan Timur sudah sangat luas dan menimbulkan dampak buruk yang menganggu keseimbangan lingkungan dan kenyamanan warga.

“Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur berinisiatif meningkatkan surat edaran tersebut menjadi peraturan gubernur,” ujar Awang di Samarinda, Senin (16/2/2015).

Menurutnya, keseluruhan lahan yang dipakai oleh berbagai perizinan mencapai 13 juta hektar lebih. Sementara, dari luasan izin usaha pertambangan (IUP) batubara dan Perjanjian Kontrak Penambangan Batubara (PKP2B) di Kalimantan Timur sekitar 50 persen atau 1,9 juta hektar berada di kawasan hutan.

“Saya tahu ada bupati yang tidak suka dengan surat edaran yang saya keluarkan. Saya juga tidak ragu soal peningkatan status surat tersebut menjadi peraturan gubernur. Kebijakan ini merupakan langkah nyata Kalimantan Timur dalam program nasional pengurangan emisi gas karbon hingga 26 persen,” tuturnya.

Tanggapan

Haris Retno, akademisi dari Universitas Mulawarman memberikan sejumlah catatan terhadap peraturan gubernur yang sudah ada draf rancangannya itu. Menurutnya, dibanding dengan surat edaran, draf rancangan tersebut terlihat mengalami kemunduran. Terutama, dengan tidak dicantumkannya evaluasi atas izin yang telah diberikan. Peraturan ini apabila disahkan menjadi tidak kuat karena berisi banyak pengecualian.

“Evaluasi, review atau audit atas izin-izin, penting untuk dilakukan karena banyak yang tidak beres. Aspek masyarakat juga harus diakomodir dalam draf rancangan peraturan gubernur ini,” ujar Retno di Samarinda, Minggu (1/3/2015).

Margaretha Seting dari Aman Kaltim, menyatakan pengecualian bisa dilakukan untuk ruang kelola rakyat. Izin tetap bisa diberikan terhadap hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa, dan hutan tanaman rakyat. “Hak-hak masyarakat untuk turut mengelola sumber daya alam selama ini belum diberikan,” ujar Margaretha.

Pernyataan ini didukung oleh Mukti Ali dari Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) yang menyebutkan bahwa industri kehutanan sudah banyak mencaplok ruang kelola masyarakat dan banyak menimbulkan konflik. “Istilah rehabilitasi diganti dengan restorasi agar sesuai dengan nomenklatur di kehutanan yaitu restorasi ekosistem,” usul Mukti.

Menurut Mukti, sejumlah masukan kritis ini nantinya akan disusun dalam sebuah dokumen yang akan diserahkan ke Biro Ekonomi Provinsi Kalimantan Timur yang bertanggung jawab atas penyusunan peraturan gubernur tentang moratorium pertambangan, perkebunan dan, kehutanan tersebut.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,