,

Sampai Kapan Carut Marut Pertambangan di Kabupaten Donggala Dipertahankan?

Banyaknya kasus pertambangan di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, makin memperjelas carut-marutnya pengelolaan sumber daya alam di daerah itu. Hal ini mengemuka dalam diskusi yang dilakukan Mongabay Indonesia dengan sejumlah lembaga non-pemerintah di Palu, Sulawesi Tengah, akhir Februari 2015 lalu.

Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) mengatakan bahwa perizinan di sektor pertambangan di Kabupaten Donggala semuanya melompati prosedur. Seharusnya perizinan dimulai dari penyesuaian ruang, pelibatan masyarakat, keterbukaan informasi, pelelangan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), pemenang tender WIUP, pengusulan WIUP menjadi izin usaha pertambangan (IUP), di mana peran masyarakat sangat besar dalam penentuan dan pengelolaan potensi sumber daya alam yang ada di wilayahnya.

“Karena dianggap sebagai objek ‘formalitas’ maka masukan dari masyarakat saat sosialisasi terkait investasi pertambangan hanya sebatas ditampung dan didengarkan. Sehingga, apa yang sebenarnya menjadi  tawaran untuk melindungi hak-hak termasuk peran melakukan pengawasan oleh masyarakat selalu diabaikan,” kata Givent, Koordinator Riset dan Kampanye ROA.

Menurutnya, kondisi ini terbukti ketika Masyarakat Batusuya melakukan pertemuan dengan Camat Sindue Tombusabora, Dinas ESDM kabupaten Donggala, Direktur PT. Mutiara Alam Perkasa (MAP), dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat tanggal 22 Agustus 2013. Dalam pertemuan tersebut masyarakat meminta penghentian aktivitas perusahaan yang tidak diperpanjang izinnya.

Namun pada 21 Oktober 2014, justru keluar SK Nomor 88.45/0665/DESDM/2014 tentang perubahan diktum kedua SK Bupati Nomor 188.45/0243/DESDM/2010 tertanggal 22 April 2010 yang intinya melakukan perpanjangan satu tahun kepada perusahaan.

Hingga saat ini, ada dua perwakilan komunitas yang melakukan permintaan  informasi terkait perkembangan izin dan persoalan pertambangan lainnya. Namun, sampai hari ini mereka belum mendapatkan tanggapan dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait informasi yang ada di Kabupaten Donggala.

“Padahal, dalam amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan semua SKPD membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang  menyediakan informasi berkala, serta-merta, setiap saat dan dikecualikan. Yang seharusnya dokumen dan laporan terkait pengelolaan pertambangan di Kabupaten Donggala adalah infromasi publik bukan dirahasiakan.”

Perempuan penambang tradisional tergusur

Ida Ruwaida, dari Solidaritas Perempuan (SP) Palu mengatakan, pertambangan yang kini masuk ke Kabupaten Donggala hanya meminggirkan perempuan dari ruang kelola mereka. Hal ini terjadi di Desa Loliyoge, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Di desa itu ada tujuh perusahaan tambang galian C. Bahkan, ada yang izin operasinya sudah habis namun tetap melakukan produksi. Warga melakukan protes. Kini tersisa empat perusahaan tambang.

“Namun, berhembus isu bahwa akan ada lagi perusahaan yang masuk dan sedang dalam tahap pembuatan jalan. Termasuk akan memasuki wilayah pegunungan yang dikeramatkan warga di Donggala,” ungkap Ida.

Ida mengatakan, sebelum perusahaan tambang masuk, sebagian besar perempuan juga mengelola tambang secara tradisional. Para ibu-ibu bekerja sebagai pemecah batu, dan di waktu lainnya juga bekerja di kebun. Ketika perusahaan masuk, ibu-ibu kehilangan pekerjaan. Kebun yang digarap menjadi kering. Sementara suami mereka yang direkrut perusahaan untuk bekerja, banyak yang tidak bertahan lama karena sistem yang diterapkan.

“Di Kabupaten Donggala, ibu-ibu banyak yang tidak lagi memecah batu secara tradisional. Mereka ada yang memilih menjadi buruh perusahaan dengan upah rendah, dan ada juga yang menjadi tukang cuci kain di Kota Palu.”

Permasalahan tambang di Donggala sampai saat ini tidak hanya menyisakan persoalan dengan masyarakat tetapi juga masih tumpang tindih wilayahnya. Foto: Erna Dwi Lidiawati

Givent dari ROA menambahkan, beberapa perusahaan di Kabupaten di Donggala dalam kurun waktu limatahun terakhir sudah ditinggalkan pemiliknya karena memang sudah tidak ada aktif lagi. Akan tetapi, beberapa perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat seperti PT. Cahaya Manunggal Abadi yang ada di Desa Malei dan PT. Mutiara Alam Perkasa yang diduga melakukan kegiatan penambangan ilegal di Desa Batusuya tidak ditertibkan oleh pemerintah.

Muhamad Rifai Hadi, Koordinator Advokasi Jatam Sulteng, mengatakan saat ini mereka akan melaporkan PT. Mutiara Alam Perkasa ke Ombudsman Sulawesi Tengah. Laporan ini nantinya akan mengatas-namakan koalisi pengacara. Laporan ini dibuat karena menurut Biro Hukum Pemerintah Kabupaten Donggala, berdasarkan hasil legal opinion yang mereka buat, mengungkapkan bahwa perusahaan tambang PT. Mutiara Alam Perkasa tidak melakukan pertambangan ilegal, namun hanya melakukan mal administrasi.

“Jika laporan ke Ombudsman dimenangkan, ini menjadi pintu masuk untuk mempidanakan perusahaan tambang tersebut dan juga Bupati Donggala, Kasman Lassa,” ujar Rifai Hadi.

Moratorium pertambangan

Berdasarkan data peta sebaran IUP Kabupaten Donggala 2011 yang dikeluarkan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XVI Palu, tercatat ada 45 IUP dari 70 IUP Pertambangan yang menguasai 111.074 hektar lahan. Dan, 45 IUP tersebut tumpang tindih dengan 86.065 hektar kawasan hutan: 6.278 hektar hutan konservasi (HK), 445 hektar hutan lindung, dan 79.342 hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan produksi yang bisa di Konversi.

“Di Kabupaten Donggala ada 45 IUP yang tidak membayarkan dana jaminan reklamasi ketika pengurusan IUP.  Artinya, masih banyak perusahaan yang tidak taat hukum,” kata Givent.

Polemik tata kelola sumber daya alam di Donggala tersebut menurut ROA memerlukan kebijakan moratorium perizinan pertambangan. Karena moratorium yang dilakukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya tidak efektif, hanya sebulan yakni dari Agustus-September 2014.  Dari hasil moratorium itu, tujuh izin usaha perusahaan dicabut.

“Kami apresiasi usaha yang dilakukan pemerintah daerah, tapi entah kenapa justru perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat seperti PT. Cahaya Manunggal Abadi dan PT. Mutiara Alam Perkasa di tidak dicabut. Untuk itu, kami mengusulkan opsi moratorium pertambangan.”

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,