,

Stop Jaringan Perdagangan Ilegal Cula Badak yang Terus Jadi Ancaman

Perdagangan cula badak global yang terjadi sejak awal abad ke-20 hingga kini masih terus marak. Harga jual cula badak secara global dipercaya menjadi penyebab kemerosotan spesies badak di seluruh dunia. Jaringan global telah menjadi suatu modus kejahatan terorganisir dan sulit dilacak. Akibatnya, dari lima jenis badak di dunia, tiga di Asia (Rhinoceros sondaicus, Rhinoceros unicornis dan Dicerorhinus sumatrensis) dan dua di Afrika (Ceratotherium simum dan Diceros bicornis) semuanya dikategorikan oleh IUCN/ SSC-Rhino Specialist Group dalam kondisi terancam punah (critically endangered species).

Dalam terminologi pengobatan Tiongkok, cula badak asia dianggap sebagai cula api (berenergi panas), yang dihargakan sangat tinggi dibandingkan dengan cula badak afrika yang bersifat sebagai cula air (berenergi dingin). Dalam sistem pengobatan tradisional Tiongkok, cula badak disugestikan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Demikian pula, dipercaya sebagai obat aphrodisiac untuk membangkitkan gairah bercinta. Padahal secara kimiawi, cula badak tersusun dari keratin, yang tidak berbeda dengan unsur penyusun rambut dan kuku manusia. Di Timur Tengah, seperti Yaman, cula badak digunakan sebagai aksesoris gagang pisau, yang menunjukkan prestise pemiliknya.

Meskipun tindakan ekstrim pernah dilakukan di beberapa pengelolaan wilayah konservasi seperti pemanenan (pemotongan) cula pada periode 1995-2000, -agar individu badak tidak menjadi target perburuan-, hal ini tidak menyurutkan aktivitas perburuan liar, secara khusus bagi target tiga spesies badak asia.

Andatu badak yang lahir di SRS Way Kambas, foto diambil pada 7 Februari 2015 oleh Haerudin R. Sadjudin-YABI & TFCA-Sumatera
Andatu, anak badak sumatera yang lahir di SRS Way Kambas, foto diambil pada 7 Februari 2015. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & TFCA-Sumatera.

Merosotnya Populasi Badak Dunia Akibat Perburuan

Di Afrika, badak putih (Ceratotherium simum) dan badak hitam (Dicero bicornis) lebih dari 50 % populasinya menyusut dalam satu dekade yang disebabkan perburuan yang terus menerus dilakukan. Lebih dari 5000 individu badak diburu pada 2003-2013. Kedua jenis badak tersebut hidup berkelompok di habitat terbuka seperti padang rumput dan semak belukar sehingga sangat mudah dijadikan target perburuan. Kedua jenis badak afrika ini, memiliki dua cula di atas kepala yang ukurannya paling besar dibandingkan dengan jenis badak lainnya di Asia.

Kasus pembantaian badak india (Rhinoceros unicornis) di Assam, India menjadi satu preseden buruk. Pada tahun 2014, hanya dalam waktu 2 jam, 47 individu badak dibunuh dalam suatu perburuan singkat brutal yang disebabkan oleh gejolak politik dan kelengahan pengamanan habitat. Badak ini ukurannya mirip dengan badak jawa, bercula satu dan hidup di padang rumput dan semak belukar yang sangat mudah menjadi incaran pemburu.

Di Taman Nasional Royal Chitwan, Nepal, sejak tahun 1985 populasi badak di alam telah dilakukan oleh satu peleton tentara. Namun suatu gejolak politik di ibukota Kathmandu yang memerlukan penarikan tentara yang menjaga taman nasional, telah menyebabkan 42 individu badak dibantai oleh pemburu liar, hanya dalam waktu sebulan sejak penarikan pasukan.

Pada akhir 2013, badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) telah dinyatakan punah di habitat alaminya, yaitu Semenanjung Malaysia, Sabah, Serawak, dan Kerinci Seblat. Perburuan dilakukan dengan menggunakan jerat sling, tumbuk dan senjata api (rakitan dan organik, -jika dilakukan oleh oknum aparat). Padahal sebelumnya jenis badak ini pernah tersebar dari Sungai Mekkong dan Songkoi di Vietnam, Cambodia, Myanmar hingga Thailand.

Alat berburu yang tertangkap oleh RPU di Way Kambas (Haerudin R. Sadjudin-YABI & TFCA-Sumatra)
Alat berburu yang tertangkap oleh satuan Rhino Protection Unit di Way Kambas. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & TFCA-Sumatra.

Diyakini, perburuan badak sumatera di Gunung Leuser dan beberapa tempat di Kalimantan masih berlangsung. Informasi dari para pemburu liar, selama dekade 2000-2010 lebih dari 50 individu badak sumatera di Bukit Barisan Selatan telah diburu. Para pemburu diindikasikan telah bergeser ke Bukit Barisan Selatan sejak badak di Kerinci Seblat telah punah diburu. Pada tahun 1982, seorang teman penulis M. Boang, yang sedang melakukan penelitian orangutan di Tanjung Puting, Kalteng melaporkan adanya penjual obat jalanan di Pangkalan Bun merendam kepala badak sumatera dalam minyak kelapa dalam sebuah tabung yang disugestikan untuk penyembuhan beragam penyakit.

Pada kurun waktu setengah abad (1925-1975) dua pemburu badak jawa (Rhinoceros sondaicus), Sarman dan Murdja’i mengaku telah memburu lebih dari 50 individu badak. Setelah perburuan dan pengamanan diperketat, sejak 1980 hingga kini populasi badak jawa stabil di Ujung Kulon.

Kembali ke abad-abad yang lalu, Blith (1682) melaporkan sekurang-kurangnya 2500 cula setiap tahunnya diekspor dari Jawa ke Tiongkok. Pemerintah Kolonial Belanda pun tidak lepas dari tanggung jawab atas menghilangnya badak di pulau Jawa. Dalam abad ke-19, saat kebijakan perluasan komoditi seperti teh, karet dan jati dilakukan di Jawa, badak dianggap sebagai hama tanaman pertanian. Pada tahun 1941 (setahun sebelum perang Pasifik), pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan bahwa badak di Jawa dan Sumatera adalah hama perkebunan dan memberi insentif bagi pemburu yang berhasil membunuh badak.

Badak jawa sekarang hanya ditemukan di Ujung Kulon. Sebelumya badak jawa dilaporkan ditemukan di Bukit Siwalik, India (spesimennya sekarang di pajang di Museum Zoologi, Calcuta), di Vietnam (punah di awal abad ke-21). Badak terakhir di Jawa, di luar Ujung Kulon dibunuh pada tahun 1934 oleh Frank (zoologist Belanda) di Garut, yang sekarang spesimennya tersimpan di Museum Zoologi Bogor.

Jerat dari sling berbagai ukuran untuk berburu satwa liar di Way Kambas (Haerudin R. Sadjudin-YABI & nTFCA-Sumatra)
Jerat dari sling berbagai ukuran untuk berburu satwa liar di Way Kambas . Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & nTFCA-Sumatra.

Fatwa MUI dan Perang Terhadap Perburuan Cula

Untuk menyetop perdagangan cula dan perburuan badak yang dilakukan oleh suatu jaringan mafia di berbagai negara sangatlah tidak mudah. Para pihak; konservanis dan penegak hukum di negara pemilik badak harus memahami sistem kerjasama jaringan mafia yang saling melindungi antar para pelaku perdagangan cula, yaitu pemburu, pemohon, penampung dan pembeli.

Secara khusus, perlindungan badak sumatera membutuhkan penguatan perlindungan di Ekosistem Leuser, yaitu di Lembah Mamas Aceh. Di Kalimantan, pembentukan satuan pengamanan harus menjadi prioritas untuk penyelamatan sub spesies badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis harisoni) yang ada di wilayah tersebut.

Di Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan, Rhino Protection Unit (RPU) harus terus tetap mengamankan habitat dan populasi lewat Intensive Protection Zone (IPZ) dan Intensive Management Zone (IMZ), untuk tidak mengulangi punahnya badak yang terjadi di Kerinci Seblat.

Hukum pun harus ditegakkan. Para penegak hukum harus semakin sadar bahwa perdagangan ilegal dan perburuan badak adalah kejahatan besar (extra ordinary crime) yang patut mendapat hukuman yang sangat maksimal.

Kerjasama internasional baik antar pemerintah negara pemilik badak maupun diantara organisasi non pemerintah seperti Yayasan Badak Indonesia (YABI), Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), International Rhino Foundation (IRF), Conservation International (CI), World Wide Fund for Nature and Natural Resources (WWF), Wildlife Conservation Society (WCS), The Nature Conservancy (TNC), Flora & Fauna International (FFI), Zoological Society of London (ZSL) harus terus dilakukan untuk mencegah perburuan dan pemantauan lintas negara.

Demikian pula, penyusutan habitat badak dengan adanya penebangan liar, perambahan hutan kawasan konservasi, konversi lahan dari kawasan hutan menjadi lahan perkebunan dan tambang harus dicegah. Upaya ini menjadi perhatian yang serius, sebab hal ini semakin marak dilakukan oleh berbagai pihak, bukan saja oleh masyarakat setempat, namun dilakukan juga oleh para pengusaha dan para pejabat baik daerah maupun pusat. Hal ini sudah sangat merugikan banyak orang yang hanya menguntungkan bagi sejumlah kecil individu yang terlibat.

Masyarakat di sekitar kawasan konservasi harus dilibatkan untuk memantau dan memberikan informasi jika terjadi indikasi aktivitas perburuan liar. Masyarakat harus dirangkul agar menjadi agen konservasi dan ditingkatkan kemampuan dan taraf ekonominya.

Kita perlu menyambut gembira para pihak yang telah menyatakan perang terhadap praktek ilegal ini. Majelis Ulama Indonesia telah mengharamkan kegiatan perburuan satwa dilindungi lewat fatwa “Pelestarian Satwa Langka Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem” yang ditandatangani pada 22 Januari 2014 oleh Ketua MUI, Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA dan Sekretaris Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA.

Semua langkah itu harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan kerja keras agar tidak menghasilkan kesia-siaan. Bangsa ini akan kehilangan asset besar tak ternilai secara ekonomi. Kita perlu menjaga keseimbangan ekosistem dalam habitat alaminya dan keanekaragaman hayati yang sangat bermanfaat bagi umat manusia di seluruh dunia.

*Haerudin R. Sadjudin, penulis adalah Program Manajer Konsorsium Yayasan Badak Indonesia (YABI,YAPEKA & WCS-IP) Siklus III TFCA-Sumatera. Biasa dipanggil “Mang Eeng”, penulis lebih dari 40 tahun terlibat dalam program konservasi badak di Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,