Tujuh orang anggota pengamanan PT Wira Karya Sakti (WKS), anak perusahaan Asia Pulp and paper (APP) yang diduga menganiaya anggota Serikat Petani Tebo (SPT) Jambi, Indra Pelani hingga meninggal, telah menyerahkan diri kepada pihak kepolisian pada Senin malam (02/03/2015).
Akan tetapi setelah dilakukan penyelidikan, dua dari tujuh orang tersebut yaitu Jemi Hutabarat (28) dan Febrian (29), dibebaskan oleh polisi pada Kamis (05/03/2015) karena kurangnya bukti. Mereka dianggap tidak terlibat dalam aksi pengoroyokan Indra Kailani, petani Bukit Rinting, Desa Lubuk Madrasah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, dan hanya menjalani wajib lapor saja.
Hal ini disampaikan Penyidik Polda Jambi Komisaris Polisi Dadang di depan perwakilan Koalisi Aksi Bersama yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat diantaranya AGRA, KKI WARSI, WALHI, Serikat Petani Indonesia, Perkumpulan Petani Jambi, Jaringan Masyarakat Gambut Jambi, Sekolah Tinggi Teknik, dan Forum Mahasiswa Nasional yang mendatangi kantor Polda Jambi pada Kamis (05/03/2015).
“Dua dari tujuh orang yang diduga pelaku pengeroyokan dan pembunuhan ini akhirnya kita lepaskan. Kita sudah melakukan pemeriksaan, dua orang ini belum ada bukti yang kuat terlibat dalam aksi pengeroyokan dan pembunuhan,” jelasnya. Meskipun sudah dilepaskan, Dadang menyebutkan jika ada bukti yang bisa memperkuat keterlibatan mereka, kedua orang ini bisa ditingkatkan statusnya lagi.
Puluhan orang yang tergabung dalam Koalisis Aksi bersama ini mengutuk keras aksi brutal yang dilakukan Unit Reaksi Cepat (URC) PT WKS dan meminta kepada pihak kepolisian agar menuntaskan peristiwa pembunuhan tersebut. Koordinator Kampanye WALHI, Dwi Nanto menyebutkan bahwa pembunuhan yang dilakukan merupakan pembunuhan berencana dan harus segera diusut tuntas aktor yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
”Kasus ini tidak bisa dipandang sebagai kriminalitas biasa. Ada aktor dibelakangnya mengingat Indra adalah salah satu aktivitis yang memperjuangkan proses pengambilalihan lahan konflik antara masyarakat Desa Lubuk Madrasah dan WKS. Selain itu proses kasus ini diharapkan berjalan transparan dan seadil-adilnya,” tegasnya. Koalisi akan terus mengawal proses kasus pembunuhan tersebut.
Konflik masyarakat Desa Lubuk Madrasah dengan PT WKS berlangsung sejak 2006, ketika PT WKS membuka jalan dengan menggusur lahan-lahan masyarakat di wilayah Desa Lubuk Madrasah. Masyarakat kemudian beraksi untuk mendapatkan lahannya.
Hingga tahun 2013, masyarakat tak jua mendapatkan kepastian dan sebagian masyarakat memutuskan untuk mengambil alih kembali lahan seluas 1500 hektar yang yang telah dikuasai PT. WKS dengan cara menanami dan membangun tempat tinggal.
Situasi konflik semenjak dua tahun belakangan ini relatif stabil, karena baik perusahaan dan masyarakat menjaga diri untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau kekerasan. Namun kematian Indra merusak kepercayaan masyarakat khususnya warga Desa Lubuk Madrasah terhadap perusahaan.
“Kita mendesak kepada pihak kepolisian untuk tidak hanya melihat peristiwa ini sebagai kriminal murni, namun harus dilihat akar masalahnya. Dan kasus ini diselesaikan dengan melakukan investigasi secara adil dan terbuka,” kata Dwi.
Dia menyayangkan tindakan pengamanan yang dilakukan anggota URC, yang dianggap simbol arogansi PT WKS. “Kami juga meminta Polda Jambi untuk menertibkan penggunaan URC sebagai pengamanan di perusahan-perusahaan. Ini juga biasanya digunakan untuk mengintimidasi masyarakat,” tambahnya.
Pusaran Konflik Lahan di Jambi
Berdasarkan Peta Paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi sebagaimana yang dituangkan dalam SK Gubernur Nomor 108 Tahun 199 seluas 2.179.440 hektar atau 42 persen dari total luas Provinsi Jambi yang terdiri atas: Hutan Produksi Terbatas (0,59%), Hutan Produksi Tetap (18,39%), Hutan Lindung (3,75%), Hutan Suaka Alam (0,59%), Hutan Pelestarian Alam (12,72%) dan Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat/HP3M (0,60%). Namun berbadarkan data KKI Warsi kondisi kawasan hutan yang memiliki tutupan bagus diperkirakan tidak lebih dari 800 ribu hektar.
Luasnya eksploitasi kawasan hutan untuk berbagai pengelolaan seperti HTI, perkebunan, transmigrasi dan pertambangan menimbulkan konflik lahan di masyarakat Jambi.
Asisten Kordinator Program Bukit Dua Belas Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI, Ade Candra yang ikut dalam aksi koalisi mengatakan konflik yang terjadi merupakan bentuk ketidakseimbangan hak kelola perusahaan dan hak kelola masyarakat.
“Tingginya alokasi lahan untuk perusahaan dalam bentuk HTI, perkebunan dan pertambangan dan minimnya lahan untuk masyarakat akhirnya menimbulkan gesekan antara masyarakat dan perusahaan. Belum lagi penyerobotan yang dilakukan perusahaan, pasti akan memicu kemarahan di masyarakat,” sebutnya.
Sepanjang tahun 2014 saja, KKI WARSI mencatat ada 11 konflik lahan yang terjadi seperti konflik lahan PT MKS dan warga Senyerang, konflik PT JAW dan Gapoktan KTMJ Desa Baru, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Kemudian Sengketa Warga SAD 113 dengan PT Asiatic Persada di Batanghari.
Ada juga sengketa warga Sekernan dan PT BBB di Muaro Jambi, sengketa masyarakat Kecamatan Tujuh Koto Ilir dengan PT LAJ, konflik masyarakat dengan PT AAS dan PT WN di Batanghari.
”Jika konflik-konflik tersebut tidak dapat segera diantisipasi, ini akan menjadi bom waktu yang akan meledak. Kasus kematian indra ini adalah salah satunya. Beberapa tahun lagi ketika lahan dan sumber daya alam tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan bisnis besar, individual pemilik modal, dan bahkan para petani lokal sendiri, pergesekan akan semakin keras. Dan akhirnya yang akan dirugikan adalah rakyat yang paling marginal, karena mereka cenderung diabaikan dalam proses pengambilan keputusan” tegas Ade.
Pemerintah diharapkan menyelesaikan semua masalah dengan penegakan peraturan dan menindak pelanggaran yang terjadi, serta memberikan ruang kepada masyarakat yang paling dekat berintegrasi dengan sumber daya alam.
Meskipun sudah ada peluang untuk itu melalui skema hutan desa dan hutan tanam rakyat, saat ini selua 54.978 hektar lahan di Jambi hutan desa yang telah mendapatkan izin menteri kehutanan. Jumlah ini kalah jauh dibandingkan lahan yang diajukan untuk HTI seluas 715.809 hektar dan HPH aktif seluas 72.095 hektar.