, ,

Nasib Pesisir Pantai di Sentra Rumput Laut Sulawesi Selatan

Semburat biru laut berubah menjadi coklat. Pantulan matahari di permukaan mulai hilang. Berganti botol-botol mineral terikat tali-tali nilon. Ia tempat bergantung bibit rumput laut yang menghampar sejauh dua mil di pesisir Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Orang-orang bekerja, menjemur rumput laut, mengikat bibit ke tali di pesisir Pantai  Bantaeng. Ada anak-anak, laki-laki, dan perempuan. Perahu cadik bermesin hilir mudik.

Mereka ini petani jagung, sawah, pekebun, nelayan, supir angkutan umum, hingga tukang becak. Sejak demam rumput laut “menjangkiti” warga pada 2004, mereka beralih menjadi petani tanaman ini.

Baso, mantan supir angkutan mengatakan, bertani rumput laut hanya perlu modal awal, untuk membuat bentangan, menanam lalu menunggu hasil dalam 40 hari. Menjemur pun hanya menggunakan dari ‘– berbentuk jala berwarna hitam–selama empat hari.

Musim budidaya rumput laut pada April hingga pertengahan Desember. Masa itu, angin barat tak bertiup dan gelombang lautan tidak besar.

Pada 2010, Baso mengelola 1.000 bentangan dengan modal awal Rp20 juta. Ini untuk pembelian bibit dua ton, hingga upah pemasangan. Jika beruntung, hasil bisa Rp70 juta.

Akhir 2014, saya mengunjungi pesisir kabupaten ini. Warga masih budidaya rumput laut.  Di pesisir pantai Dusun Kampalaya, Desa Pa’jukukang, Kecamatan Pa’jukukang, saya menemui beberapa petani rumput laut. Salah satu Jamaluddin.

Jamaluddin memiiki 300 bentangan. Setiap bentang rumput laut sekitar 17–18 meter. Setiap bentangan ada pemberat, sebagai jangkar agar tak terbawa arus. Untuk bentangan 30 meter, pemberat minimal lima karung pasir 20 kg.

Karung-karung pasir itu diikat dengan nilon diameter satu cm, lalu ditenggelamkan ke dasar laut. Karung-karung  pasir inilah dihantam gelombang dasar, perlahan-lahan rusak, dan robek. Pasir menyebar kemana-mana dan menutupi sebagian permukaan karang.

Pemberat karung pasir ini maksimal bertahan dalam tiga kali panen. Botol-botol mineral yang menjadi pelampung saat rusak dengan tali tambat putus tenggelam ke dasar laut lalu menjadi sampah.  Ia tak pernah diangkut ke daratan.

Apakah petani menyadari itu? “Kami menggunakan pasir untuk pemberat karena tidak beli lagi. Kami ambil di sini lalu dikarungkan.  Kalau itu merusak karang, kami tidak tahu. Tidak ada yang beritahu,” kata Jamaluddin.

Mengangkut hasil panen. Foto: Eko Rusdianto
Mengangkut hasil panen. Foto: Eko Rusdianto

Antropolog Universitas Hasanuddin, Neil Muhammad, 2006-2010 meneliti pesisir Bantaeng, Jeneponto dan Takalar. Dia mengatakan, pesisir di tiga kawasan itu begitu memprihatinkan. “Karang-karang sudah mati. Air coklat, karena pasir daratan,” katanya.

Dari catatan lapangan, katanya, rumput laut memberikan penghidupan baru bagi masyarakat. Taraf hidup beberapa keluarga meningkat. Namun, ada dampak lingkungan yang tidak terpikirkan pemerintah. “Karang-karang mati akan membuat arus gelombang lebih mudah sampai ke pantai. Sebab karang berfungsi sebagai pemecah ombak.” “Efek lain, dipastikan abrasi akan makin cepat.”

Hasil penelitian itu, diberikan pada Pemerintah Bantaeng, namun belum mendapatkan tanggapan. “Saya kira pemerintah harus membantu pengadaan pemberat untuk petani, seperti pembuatan beton kecil sebagai jangkar. Karena petani tidak mungkin membuat sendiri, harga lebih mahal.”

Kapling laut

Tak hanya sebaran pasir yang menutupi permukaan karang. Minat warga menjadi petani rumput laut, menjadikan laut serupa lahan di daratan dan memunculkan status kepemilikan. Memang, petakan rumput laut tak memiliki sertifikat, tetapi muncul upaya pencaplokan dan pengakuan, seperti beberapa tokoh masyarakat atau kepala desa yang memiliki lahan. Harga sewa lahan atau kapling rumput laut ini Rp6-10 juta per tahun dengan luasan tanam hingga 200 bentangan.

Menurut Jamaluddin, kampling masing-masing petani tidak selalu berbentuk persegi atau memanjang. Bisa berbentuk garis memanjang dan berkelok-kelok. “Ada punya kampling kecil ada yang besar.”

Ini menjadi kekhawatiran Neil. Menurut dia, penguasaan lahan permukaan laut belum memiliki regulasi. “Dengan model itu, tak ada jalur khusus untuk akses laut. Jalan menuju pantai atau keluar ke laut lepas pun menjadi sulit dan berkelok.”

Padahal, jalur laut pesisir Bantaeng, katanya, adalah jalur utama pelayaran rakyat. Kapal-kapal dari Timur seperti Nusa Tenggara akan mengitari perairan Selayar, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, lalu memasuki Makassar. Begitupun sebaliknya.

“Bayangkan, sebagai jalur utama pelayaran, jika terjadi keadaan darurat, dan kapal harus menepi ke pantai, bentangan-bentangan rumput laut akan tertabrak dan tergulung di kipas. Sementara satu bentangan tertabrak akan mendapat ganti rugi Rp1 juta.”

Ekosistem tak seimbang

Di Sulsel,  panjang pesisir pantai mencapai 1.937 kilometer. Dengan luas budidaya laut 193.700 hektar. Sentra utama penghasil rumput laut di Bantaeng, Jeneponto dan Takalar.

Namun, pada 2010 pemerintah Sulsel menambahkan kawasan rumput laut di tiga kabupaten, yakni Wajo, Luwu dan Bone. Sebanyak 16.000 kg bibit unggul akan disalurkan, 1.600 tali bentang, dan 6.400 pelampung botol plastik.

Di setiap daerah, sistem penanaman rumput laut memanfaatkan permukaan. Padahal, menanam pada permukaan, menjadikan kehidupan dasar laut terganggu. Sinar matahari sulit menerobos ke air, karena bentangan rumput laut padat.

Pada 2010, di Bantaeng dalam foto citra satelit oleh Neil dan tim, ditemukan beberapa titik terumbu karang. Ketika diselami karang sudah tak ada, melebur menjadi pasir.

Selain membunuh terumbu karang, pertanian rumput laut yang berlebihan membuat beberapa ikan pemangsa seperti baronang membludak. Rumput laut menjadi pakan favorit. Ikan-ikan lain atau biota lain pelan-pelan akan terdesak dan menghilang. “Jika satu spesies membludak, keseimbangan ekosistem jelas berubah dan berpengaruh.”

Panen rumput laut. Foto: Eko Rusdianto
Panen rumput laut. Foto: Eko Rusdianto
Para petani sibuk memasang bibit rumput laut. Foto: Eko Rusdianto
Para petani sibuk memasang bibit rumput laut. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,