, ,

Ratusan Izin Tambang di Maluku Utara Libas Wilayah Adat, Kok Bisa?

Izin pertambangan menjamur di berbagai daerah, tak ketinggalan di Maluku Utara. Parahnya, izin-izin ini tak mengindahkan keberadaan masyarakat adat. Tak pelak, setengah luas daratan provinsi yang menjadi pertambangan ini sebagian di wilayah masyarakat adat.

Kehidupan merekapun makin tergusur. Dari daratan, luas Malut 3.327.800 hektar (33.278 km2). Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut, lebih 2 juta hektar menjadi pertambangan dengan 335 izin. Dari situ, ada tiga perusahaan tambang memegang kontrak karya. Yakni, PT Aneka Tambang (Antam), PT Weda Bay dan PT Nusa Halmahera Mineral (NHM). Sisanya, izin usaha pertambangan oleh daerah.

Lewat izin-izin inilah, kekayaan alam seperti emas, nikel, pasir besi, dan batubara tereksploitasi. Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut, Kamis (5/3/15) memperkirakan, luas daratan Malut belum menjadi pertambangan tersisa 700.000 hektar. “Itupun belum dihitung izin sawit dan perluasan infrastruktur,” katanya di Ternate.

Fenomena ini, katanya, berdampak pada 54 wilayah adat menjadi pertambangan. Izin tambang tumpang tindih menjadikan masyarakat adat korban pembangunan. Dari peta partisipatif AMAN terlihat wilayah-wilayah adat di kawasan tambang. Akibatnya, masyarakat adat harus menjalani hidup tekan dan intimidasi.

Dia menilai,  pemerintah, sama sekali tidak pernah melihat masyarakat adat. “Mereka (pemerintah) tidak mau tahu dengan masyarakat adat. Masyarakat adat nanti urusan dengan CSR.  Saat ini, hampir tidak ada ruang adat tersisa, nyaris semua dikuasai pertambagan dan sawit,” katanya.

Munadi mengatakan, masyarakat adat dirayu agar menjual tanah lewat berbagai cara. Keadaan ini, sampai suatu titik menyadarkan, tidak ada lagi lahan buat mereka. Masyarakat adat, baru merasakan dampak ketika perusahaan tambang beroperasi sekian lama.

Limbah NHM yang mengalir ke Sungai Kobok. Sejak kehadiran tambang, hidup warga susah, tak hanya lahan jadi ‘milik’ perusahaan, lingkunganpun rusak. Foto: AMAN Malut

Sisi lain, upaya-upaya perlawanan mempertahankan tanah adat seringkali disikapi pemerintah daerah dengan cara-cara represif. Dia mencontohkan, 2011,  ada masyarakat adat ditangkap karena mempertahankan tanah. Tahun 2012, tujuh orang bertahan tidak mau melepas tanah jadi tersangka. Aman Malut mencatat, 2014 konflik perampasan wilayah adat 30 kasus, 24 di pertambangan. Angka ini meningkat dari 2013 dan diperkirakan terus naik tahun-tahun selanjutnya.

“Sayangnya, ketika masyarakat adat berupaya mempertahankan ruang-ruang adat, pemerintah malah mengkriminalisasi mereka. Masyarakat dituduh provokator atau menghambat pembangunan.”

Padahal, dalam proses mengeluarkan izin, pemerintah daerah tidak pernah konsultasi publik. “Tiba-tiba masyarakat adat tahu wilayah jadi tambang, setelah itu diundang menghadiri sosialisasi Amdal, dijanjikan CSR, dapat tenaga kerja. Masyarakat selalu diiming-imingi hal-hal baik.”

Proses penerbitan izin, katanya,  nampak tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. “Laju kerusakan lingkungan mengakibatkan banyak hal. Misal, di Pulau Ge, Halmahera Timur, dibabat habis Antam, sekarang pulau itu botak dan berdampak pada ikan teri berkurang. Jadi, nelayan ikan teri banyak parkir.”

Di Pulau Gebe, tambang sejak 1980. Dulu, mereka mendapat fasilitas lampu gratis, air gratis, kulkas dan televisi. Pemberian fasilitas itu diduga membuat masyarakat tidak berpikir jadi nelayan atau petani. Mereka mau jadi pekerja tambang.

“Sekarang Antam keluar, masyarakat bingung mau diapakan barang-barang ini. Cari uang susah. Penduduk makin sedikit. Masyarakat kehilangan banyak hal, mulai pengetahuan lokal, kemandirian, hingga masa depan.”

Sumber: AMAN Malut
Klik pada gambar untuk memperbesar. Sumber: AMAN Malut

Izin tambang massif di Malut, katanya, karena pemahaman berpikir elit politik salah kaprah. Izin pertambangan menjadi bisnis kekuasaan. Kala melihat, dari sekian banyak izin keluar setelah pilkada. Ada semacam kompetisi. “Daerah dinilai tidak maju kalau tidak ada pertambangan.”

Sejumlah izin dan pertambangan berada di pulau-pulau kecil mulai Sula, Obi, Bacan, Gebe, Morotai. Tambang seakan menjadi unggulan pembangunan di Malut. Namun, peningkatan pendapatan daerah dari pertambangan sekaligus menempatkan pemerintah daerah sebagai sosok yang melegalkan pertambangan di pulau-pulau kecil.

“UU Pesisir dan Pulau-pulau kecil tidak berlaku, justru UU Kehutanan, UU Minerba. Pokoknya,  kalau ada izin masuk di pulau-pulau kecil, status kawasan hutan dari hutan lindung menjadi hutan produksi, terus dikasih izin tambang,” kata Munadi.

Hasil pemetaan AMAN Malut, yang nyaris jadi area pertambangan adalah Kepulauan Sula. Luas hanya 479.666,93 hektar, namun tambang 351.730,98 hektar. Kepulauan Sula punya 97 izin tambang, disusul Halmahera Tengah (66), Halmahera Selatan (57).  Sisanya,  di Halmahera Timur, Halmahera Utara, Halmahera Barat, Morotai dan Tidore. “Nyaris di seluruh kabupaten di Malut tidak lepas ekspansi pertambangan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,