,

Buku: Cerita Warga dari Pesisir Sulawesi Selatan

Dulu, Rusman tak peduli dengan kegiatan istrinya di Kelompok Ujung  Parappa. Ia kelompok ekonomi masyarakat Desa Ampekale, Kecamatan Bontoa, Maros, Sulawesi Selatan.

Setelah melihat antusiasme anggota–sebagian besar ibu rumah tangga–begitu besar, Rusman tertarik. Mereka yang buta aksara mulai diajar membaca, menulis dan menghitung selama enam bulan.

Kelompok ini perlahan menyentuh sektor produksi. Diawali membuat makanan ringan ‘Kacang Sembunyi’. Juga kerupuk kepiting, berbasis potensi lokal desa.

Bersama istrinya, Habsiah dan warga lain,  Rusman membangun kelompok ini. Kerupuk kepiting sempat jatuh bangun bahkan menurun tajam. Semangat anggota kelompok sempat melemah. Lalu, muncul gagasan usaha pengupasan kepiting.

Tak disangka, usaha ini berkembang pesat di luar dugaan. Pasar terbuka lebar langsung ke nelayan, memutus rantai distribusi. Dulu, lewat pengumpul (ponggawa), ke distributor kecil, distributor besar sebelum ke eksportir.

Cerita Rusman ini satu dari 10 kisah inspirasi yang ditulis dalam buku berjudul “Sipadeccengi: Saling Membangun, Saling memperbaiki”, diterbitkan Oxfam melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL) di Sulsel.

Pada launching dan diskusi buku ini di Makassar, akhir Februari, Rusman bercerita bagaimana program RCL memberi perubahan besar bagi masyarakat di desa, yang bangkit secara ekonomi. Kini, mereka bisa langsung menjual produk ke eksportir.

“Harga jual ke ponggawa berkisar Rp18.000-Rp22.000 perkg, menjual langsung ke eksportir di Surabaya harga Rp24.000-Rp38.000 perkg,” katanya.

Selama ini, RCL mendorong negosiasi terbuka dan memperkuat posisi tawar kelompok. Perusahaan mitra didorong memberikan dukungan berupa alat tangkap dan pembangunan tempat produksi.

Cerita lain datang dari Kabupaten Pangkajene, Kepulauan (Pangkep), yaitu Kelompok Talaswati dan Pita Aksi yang sukses mengembangkan pertanian organik.

Kelompok Talaswati memanfaatkan lahan kosong bersama untuk menanam kangkung organik. Kelompok Pita Aksi mengembangkan pertanian organik di pekarangan rumah untuk sayuran seperti kangkung, sawi, bayam dan tomat.

Siti Rahma dari Kelompok Pita Aksi mengatakan, ada tambahan penghasilan dari pertanian organik di pekarangan rumah, tidak sekadar konsumsi sendiri. Dia aktif membagi pengetahuan dan pengalaman bertani organik ke warga desa lain.

Kelompok Ujung Parappa mengembangkan usaha berbasis potensi lokal yaitu kepiting. Kepiting dibuat kerupuk.  Ada juga pengupasan kulit kepiting yang hasil  kini  dibeli langsung oleh eksportir dengan harga  jauh lebih tinggi. Foto: Wahyu Chandra
Kelompok Ujung Parappa mengembangkan usaha berbasis potensi lokal yaitu kepiting. Kepiting dibuat kerupuk. Ada juga pengupasan kulit kepiting yang hasil kini dibeli langsung oleh eksportir dengan harga jauh lebih tinggi. Foto: Wahyu Chandra

Siti Rahmah terpilih sebagai satu dari tujuh perempuan pejuang pangan “Female Food Heroes Indonesia 2013”, bertepatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2013.

Siti juga mendapat penghargaan kategori Pelaku Pembangunan Ketahanan Pangan 2014. Pada 16 Januari 2015, mewakili Pita Aksi, Siti mendapatkan Adhikarya Pangan Nusantara dari Presiden.

Ada juga cerita dari Tanakeke Kabupaten Takalar. Warga berhasil mendorong kawasan konservasi mangrove ‘Bangko Tapampang’ 51,5 hektar, lahir.

Irham dari Yayasan Konservasi Laut (YKL) sebagai mitra Oxfam bercerita bagaimana kelahiran kawasan konservasi ini melalui pemberdayaan panjang masyarakat lima desa di Kepulauan Tanakeke.

“Melalui program RCL terfasilitasi beberapa pertemuan antar lima desa di Tanakeke yang membentuk Forum Pemerintahan Desa Tanakeke. Forum inilah yang mendorong kawasan konservasi Bangko Tapamopang.”

Menurut Irham, perjuangan warga tidaklah sia-sia. Terbukti kawasan Bangko Tapampang masuk mangrove yang dilindungi perda rencana tata ruang wilayah.

Buku ini juga memuat cerita lain seperti sekolah lapang RCL mendukung pemanfaatan potensi desa, penguatan ekonomi keluarga melalui usaha rumput laut, dan lain-lain.

Menurut Area Program Manager Oxfam Eastern Indonesia, Erwin Simangunsong, ada dua hal ingin dicapai melalui buku ini. Pertama, menyebarluaskan capaian RCL melalui program pemberdayaan pesisir di empat kabupaten di Sulsel, yaitu Maros, Takalar, Pangkep dan Barru.

“Kita berharap lebih diketahui publik, tidak hanya pemerintah daerah, juga masyarakat dan lembaga-lembaga lain.”

Kedua, harapan agar capaian tak sekadar diketahui juga tereplikasi di tempat-tempat lain.

RCL akan selesai Agustus 2015. Dari restorasi mangrove, katanya, capaian 100% target, sedangkan soal kualitas hidup masyarakat, meski belum 100% namun terlihat sebagian besar mengalami peningkatan pendapatan.“Sekitar 40-60% lah.”

“Kita berharap perkembangan ini bisa dilihat sekaligus menjadi media pembelajaran.”

Direktur Eksekutif Yayasan Bakti, Caroline Tupamahu mengapresiasi buku ini. Selama ini, jarang program melahirkan buku sebagai keluaran. Dia berharap, lebih banyak buku-buku lain lahir hingga jadi sumber inspirasi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,