,

Pengembangan Wisata di Kepulauan Derawan, Akankah Mengancam Konservasi Penyu?

Pulau Derawan. Di pulau ini, sebagian keindahan pantai Indonesia tergambarkan. Eksotisme matahari dipadu dengan birunya air laut, serta pasir yang putih di bibir pantainya. Airnya yang bening, menampakkan warna-warni biota laut di dalamnya. Di pulau ini juga terdapat penyu sisik dan penyu hijau.

Guna menikmati keindahan pantai Pulau Derawan, dibutuhkan waktu sekitar 2,5 jam perjalanan dari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, menggunakan speedboat.

Sebenarnya, kawasan tersebut dinamakan Kepulauan Derawan. Pasalnya, tak hanya Pulau Derawan yang terdapat di hamparan laut Kalimantan Timur tersebut. Terdapat 31 pulau di sana, yang masing-masing pulau memiliki karakteristik sendiri. Selain Derawan, pulau lain yang terkenal di antaranya Kakaban, Sangalaki, Meratus, Panjang, dan Semama.

Selain keindahan pantainya, pesona pulau yang masuk wilayah Kabupaten Berau ini, makin lengkap dengan keberadaan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Mereka hidup di wilayah konservasi yang luasnya mencapai 285,266 hektar. Konservasi penyu sisik dan hijau ini berdasarkan SK Bupati Berau No 516 tahun 2013.

Di kawasan ini pula, pengunjung dapat melihat 460 jenis terumbu karang beraneka warna. Jumlah terumbu karang di Pulau Derawan terbanyak kedua di Indonesia, setelah Raja Ampat di Papua Barat. Di Derawan juga, ditemukan lebih dari 870 jenis ikan.

Bahkan, tak jauh dari Pulau Derawan, tepatnya di Pulau Kakaban, terdapat danau yang berisi ribuan ubur-ubur tanpa sengat. Selain di Kakaban, ubur-ubur tanpa sengat hanya bisa dijumpai di Pulau Palau, bagian Kepulauan Mikronesia, yang terhampar di Samudra Pasifik.

Salah seorang wisatawan yang melihat penyu selesai bertelur di Pulau Derawan. Foto: Aseanty Pahlevi
Seorang wisatawan yang melihat penyu selesai bertelur di Pulau Derawan. Foto: Aseanty Pahlevi

Souvenir sisik penyu

Memasuki Pulau Derawan, pengunjung akan langsung melihat gerbang bertuliskan ucapan selamat datang. Sebelum gerbang ini, terdapat jejeran kios yang menjajakan souvenir khas Pulau Derawan.

Salah satu souvenir yang ditawarkan adalah cincin dan gelang yang terbuat dari sisik penyu. Aksesoris ini harganya beragam, dari Rp5 ribu hingga Rp25 ribu. “Ini dari sisik penyu apa? Penyu kan dilindungi, Bu,” tukas Andrie Perdana Putra (27), seorang pengunjung. “Ini diambil dari penyu yang tidak dilindungi. Kalau penyunya mati, sisiknya diambil,” jelas ibu penjual aksesoris tersebut datar.

Karena ragu, Andrie urung membeli aksesoris tersebut. “Kalau saya beli, dan ternyata ini penyu dilindungi, di Bandara saya bisa kena masalah,” ujarnya. Gelang dan cincin tersebut digrafir nama Pulau Derawan. Ibu penjual cinderamata tersebut meyakinkan, aksesoris tersebut hanya terdapat di Pulau Derawan, dan dia menjamin tidak dijual di tempat lain. Selain itu, mereka juga menjual tirai, tempat tisu, asbak dan aksesoris dari kerang.

Sebelumnya, Dwi Suprapti, Koordinator Konservasi Spesies Laut WWF Indonesia Program Kalimantan Barat, mengatakan upaya penghentian eksploitasi telur penyu di Kabupaten Berau membutuhkan waktu yang cukup lama, “Yakni pada tahun 1998 –2005. Namun demikian, jerih payah tersebut tampaknya memberikan hasil yang cukup signifikan bagi pemulihan populasi di wilayah ini,” katanya.

Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membebaskan Berau dari eksploitasi telur penyu merefleksikan kompleksitas masalah pemanfaatan telur penyu laut di wilayah ini. Salah satunya adalah, ketergantungan pemerintah daerah setempat akan pendapatan asli daerah (PAD) dari pelelangan telur penyu.

Pulau Derawam yang tidak hanya indah tetapi juga kaya akan biota laut. Sumber: Wikipedia.org

Konservasi

Dalam konteks populasi penyu, Dwi mengatakan, hasil pemantauan selama 12 tahun di Pulau Sangalaki menunjukkan bahwa populasi penyu di wilayah ini masih mengalami penurunan meski relatif rendah. Fenomena ini agak mengejutkan mengingat eksploitasi masif telur penyu sebelum periode 2002.

“Bisa dipastikan, pemenang lelang saat itu “tak mampu” mengambil seluruh telur penyu. Sehingga, masih terjadi penetasan telur penyu yang selanjutnya berkembang menjadi penyu-penyu dewasa,” ujar Dwi.

Kegiatan konservasi Program Kelautan WWF Indonesia di Kabupaten Berau menunjukkan, di Pulau Derawan sejak Juni 2003 hingga Mei 2014, berhasil dilakukan penyelamatan 2.141 sarang telur penyu dari ancaman perburuan dan menetaskan tukik sejumlah 138.549 ekor. Di Pulau Sangalaki sejak 2002 hingga 2014 juga telah menyelamatkan 40.407 sarang telur dan menghasilkan tukik sejumlah 1.665.024 ekor.

Sedangkan di Pulau Mataha dan Bilang-bilangan sejak 2011 hingga Mei 2014 berhasil menyelamatkan 8.327 dan 19.692 sarang telur dengan jumlah tukik yang menetas sejumlah 416.258 dan 1.109.144 ekor.

Dengan demikian, upaya konservasi yang dilakukan sejak periode 2002 hingga 2014 di Berau berhasil memproduksi tukik sejumlah 3.328.925 ekor. Rekapitulasi pemantauan ini, dituangkan dalam laporan “Status populasi penyu dan upaya konservasinya di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang disusun oleh Dwi Suprapti, Windia Adnyana dan Rusli Andar (2014).

Terkait masalah perburuan di Kepulauan Derawan, Lipo, Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Berau, Provinsi Kalimantan Timur yang bertugas di Pulau Sangalaki, mengakui hal tersebut. Menurutnya, Pulau Sangalaki dihuni penyu hijau, sisik, dan belimbing. “Selain telur, karapasnya diambil untuk cinderamata,” katanya.

Intensitas kedatangan penyu untuk bertelur di pantai Sangalaki saat ini, menurut Lipo, jauh menurun dibandingkan sepuluh tahun silam. “Sebelumnya, bisa 30 hingga 60 ekor yang naik ke pantai untuk bertelur,” ujarnya.

Lipo menyatakan, nelayan asing juga kerap melakukan perburuan terhadap penyu-penyu yang terancam punah tersebut. Tahun lalu, petugas bahkan sempat menemukan puluhan ekor penyu mati terjaring di jala nelayan yang dicurigai nelayan asing.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,