,

Sebelas Orang Rimba Jambi Meninggal Dunia. Ada Apakah?

Dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini, kematian beruntun menimpa Orang Rimba. Sudah 11 jiwa Orang Rimba di bagian timur Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi meninggal dunia. Kesebelas Orang Rimba ini terdapat di tiga kelompok Orang Rimba yang berjumlah 150 orang, yaitu Kelompok Terap yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal  dan Kelompok Serenggam yang di pimpin Tumenggung  Nyenong, Kematian beruntun paling banyak terjadi pada Januari dan Februari dengan enam kasus kematian yaitu empat  anak-anak dan dua orang dewasa.

Baru saja digegerkan dengan berita kematian tersebut, Sabtu (7/3) kembali tiga anak rimba dari Kelompok Terap di rawat di rumah sakit HAMBA Muara Bulian Kabupaten Batanghari Jambi. Ketiga anak yang merupakan kakak beradik yaitu Merute (laki-laki 12 tahun), Nipah Bungo (perempuan 2,5 tahun) dan Cipak (perempuan 1 tahun), sudah dua minggu belakangan menderita demam dan batuk rejan. Ketiga anak rimba ini, merupakan anak-anak dari mendiang Mimpin, Orang Rimba Kelompok Terap yang meninggal pertama kali dari 11 kematian beruntun  anggota kelompok ini beberapa bulan lalu.

Kecemasan tampak dari raut muka indok (ibu) Merute, namun ia enggan untuk menceritakan kesedihan yang dialaminya lebih lanjut karena adat dan budaya Orang Rimba tidak memperkenankan untuk berbicara dengan orang luar. Namun perempuan berusia sekitar 24 tahun ini terus berupaya untuk menyusui Cipak yang terus menangis dan batuk, sambil di pasangi infus.

Selain itu, ada dua anak rimba yaitu Sebilau  (perempuan 2 tahun) dan Beskap (perempuan 4 tahun) yang dirawat jalan, meski tetap berada di rumah sakit yang sama dengan Cipak.

Menurut Mangku Balas, salah satu Tengganai Orang Rimba Kelompok Terap yang membawa anggota rombongannya ke rumah sakit, masih banyak anak-anak lain yang sebenarnya juga sakit yang kini tengah tengah belangun di sekitar Sungai Kemang Kecamatan Bathin XIV Batanghari Jambi. “Masih ada 15 anak lagi yang sakit di lokasi Melengun, tetapi kami tidak bisa membawa semuanya berobat ke rumah sakit,” sebut Mangku.

Kristiawan, Koordinator Kajian Unit Suku-Suku Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) WARSI mengatakan banyaknya anak rimba yang dirawat ini dikarenakan multi faktor, kekurangan pangan, krisis air bersih, ketidakadaan kekebalan tubuh karena memang belum pernah diimunisasi serta juga disebabkan pola hidup.

“Berdasarkan keterangan orang tuanya, tiga anak rimba ini sudah sakit sejak satu minggu yang lalu dan didagnosa bronkopneumonia. Ada puluhan Orang rimba lagi yang juga mengalami demam dan batuk. Tapi belum dievakuasi ,”sebutnya.

Kendala lokasi yang cukup jauh dengan medan yang berat juga menghalangi proses pemindahan Orang Rimba ini ke rumah sakit. Selain itu, Kris mengatakan ketidakadaan bahan pangan untuk keluarga yang akan menunggu penderita di rumah sakit juga membuat mereka enggan merujuk penderita.

“Jika tidak adanya bahan makanan buat si penunggu, mereka tidak mau membawa anggota keluarganya ke rumah sakit. Untuk mengatasi ini KKI WARSI menggandeng Pemkab Batanghari, Polda dan Korem akan datang memberikan bantuan pangan dan pengobatan kepada empat kelompok Temenggung Marituha, Nyenong, Ngawal dan Ngirang ,” tambahnya.

Sempitnya Wilayah Kelola, Kacaukan Tradisi Melangun

Dalam adat dan budaya Orang Rimba setiap kematian yang menimpa anggota kelompoknya mengharuskan mereka untuk berpindah tempat hidup, biasanya mereka akan mengambil jalan melingkar untuk suatu saat nanti mereka bisa kembali ke tempat semula mereka tinggal yaitu di Sungai Terap bagian timur Taman Nasional Bukit Dua Belas, tepatnya di sekitar PT EMAL perkebunan kelapa sawit dan HTI Wana Perintis.

Ketika terjadi kematian mereka melakukan belangun, ritual adat yang dijalankan untuk mengekspresikan kesedihan, membuang sial ketika ada kematian dengan pergi jauh meninggalkan tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang cukup lama.

Terdapat tujuh lokasi yang sudah mereka singgahi untuk belangun, yaitu  Desa Olak Besar Kecamatan Bathin XIV Batanghari, kemudian Desa Baru, Desa Jernih, Sungai Selentik dan sungai  Telentam keduanya di desa Lubuk Jering (Ketiga desa ini berada di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun), Simpang Picco (Kecamatan Pauh Sarolangun dan kini di Sungai Kemang desa Olak Besar (Kecamatan Bathin XIV).

Di setiap lokasi belangun mereka pindah ke tempat baru. Namun kini dengan semakin sering belangun, praktis tidak ada kegiatan untuk mendapatkan makanan. Kondisi ini disebut sebagai masa remayau (masa paceklik alias krisis pangan).  Pada masa ini obat-obatan alam yang biasa di gunakan Orang Rimba untuk berobat juga tidak tersedia.

“Kalau untuk domom (deman), perut kembung, sakit kepala, kami menggunakan obat empedu tanah dan rumput bemampu, tapi di tempat belangun susah mencarinya,” sebut Mangku. Di lokasi mereka melangun saat ini merupakan perkebunan sawit, dimana sudah bisa dipastikan tanaman obat yang biasa di gunakan Orang Rimba sangat sulit ditemukan.

Satu kelompok Orang Rimba, Jambi. Mereka perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak,terutama dari pemerintah. Foto : KKI Warsi
Satu kelompok Orang Rimba, Jambi. Mereka perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak,terutama dari pemerintah. Foto : KKI Warsi

Saat ini merupakan masa sulit bagi Orang Rimba untuk bertahan, angka kesakitan dan kematian melonjak drastis. “Dibutuhkan peran serta semua pihak untuk membantu Orang Rimba keluar dari masalah ini, untuk tahap ini yang dibutuhkan bantuan langsung berupa beras dan sembako dan juga dibutuhkan adanya posko kesehatan yang dekat dengan lokasi mereka melangun,”sebut Kristiawan di Rumah Sakit HAMBA Muara Bulian ketika mendampingi Orang Rimba yang tengah di rawat kemarin.

Pengobatan di rumah sakit menurut Mangku cukup membantu mengatasi masalah kesehatan Orang Rimba untuk saat ini. Namun anak-anak lain yang di dalam (di lokasi melangun) yang masih membutuhkan bantuan kesehatan sulit untuk di bawa semua ke rumah sakit. Selain masalah biaya, keterbatasan akses yaitu menempuh jarak sekitar 3 jam ke rumah sakit dengan melewati sejumlah jalan tanah di dalam perusahaan untuk menuju ke rumah sakit yang berada di Kota Muara Bulian.

Meski pengobatan di tanggung oleh rumah sakit, namun ketika membawa anggota keluarganya berobat, orang tua dan sejumlah tetua akan mendampingi dan ini membutuhkan biaya makan dan transportasi yang lumayan besar untuk ukuran Orang Rimba.

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap Orang Rimba khususnya dalam bidang kesehatannya ini diakui Kaswendi, Kepala Bidang Bina Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, disebabkan  “Dinas Kesehatan sebagai pelayanan tidak memeiliki kewenangan lebih untuk mengeluarkan kebijakan, khususnya kemudahan khusus bagi Orang Rimba.”

“Masing-masing kabupaten dan kota di Jambi memiliki kebijakan masing-masing. Kami sebagai sektor pelayanan tidak bisa mendorong kebijakan, khususnya kemudahan bagi Orang Rimba. Yang kami tahu jika ada BPJS, Jamkesmas atau Jamkesda akan kami layani,” tegasnya.

Kematian 11 Orang Rimba ini dikatakan Robert Aritonang Manager Program Pemberdayaan Masyarakat KKI WARSI adalah bentuk kelalaian semua pihak yang tidak melihat Orang Rimba sebagai pihak yang mengambil bagian dari cepatnya pembangunan yang terjadi.

“Kita menggugah semua pihak untuk ambil bagian dalam memperhatikan nasib Orang Rimba ini. Jangan sampai Orang Rimba menjadi korban dari pembangunan. Dan saat ini KKI WARSI sudah mulai mengembangkan pembangunan terpadu untuk beberapa kelompok Orang Rimba yang akan mencoba melibatkan Orang Rimba dalam pembangunan tanpa menghilangkan jati diri mereka,” pungkasnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,