100 Hari Jokowi–JK: Pakar Pertanian Ragukan Nawa Cita Tercapai, Jika Syarat-Syarat Ini Tidak Terpenuhi

Seperti yang tertuang dalam agenda kerja Pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam Nawa Cita, maka membangun Indonesia dari pinggiran menjadi salah satu target agenda prioritas yang akan dilaksanakan. Meskipun demikian, hal ini tidak akan dapat dan mudah dilaksanakan, karena adanya restriksi berbagai pihak yang selama ini diuntungkan dan faktor-faktor prasyarat yang belum dilakukan pemerintah.

Menurut Ketua Lingkar Kajian Ekonomi Nusantara (LKEN) dan pakar ekonomi perdesaan, Didin S. Damanhuri, dalam seminar “Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Jokowi–JK: Membangun dari Pinggiran, Mengapa Pembangunan Perdesaan Macet?” di Jakarta (9/3/2015) pembangunan dari pinggiran (daerah dan perdesaan) adalah suatu paradigma menentang arus atau against of stream terhadap paradigma pertumbuhan ekonomi (growth oriented).

Menurut Didin, semua program tersebut akan terhalang oleh pendekatan growth oriented yang telah diterapkan pemerintahan sebelumnya. Kondisi ini, ironisnya bertolak belakang dengan pernyataan Jokowi sendiri dalam APEC dan ASEAN Summit yang menyatakan Indonesia akan aktif dalam global supply chain.  Target ini tentunya berseberangan dengan target pembangunan kedaulatan pangan dan kemandirian ekonomi, karena produktivitas dan daya saing kita yang rendah. Akibatnya, ketimpangan sosial ekonomi perdesaan yang terjadi selama ini akan semakin jauh.

Di sisi lain, Didin menjelaskan bahwa selama ini pelaksanaan pembangunan ekonomi pertanian diserahkan kepada mekanisme pasar, yang berbasis korporasi besar dan asing dengan konsep food estate dan horticulture estate.

“Kondisi ini yang terjadi masa orde baru. Keberhasilan negara maupun pasar dengan pertumbuhan tujuh persen pertahun harus ditebus dengan kesenjangan sosial ekonomi. Lagi-lagi pedesaan dan pertanian tertinggal jauh dari perkotaan dan industri (urban and industrial bias development). Padahal, sektor pertanian dan wilayah pedesaan yang pertumbuhannya rendah justru menyerap tenaga kerja yang jauh lebih besar.”

Meski ada kucuran dana APBN ke setiap desa dengan kisaran 1,2 miliar, pembangunan infrastruktur pertanian seperti bendungan dan irigasi, hingga program swasembada pangan, semuanya akan sulit untuk mencapai pertumbuhan pada kisaran tujuh persen untuk saat ini.

Menurut Didin, hal penting yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi saat ini adalah membuat grand design pembangunan berlandaskan UUD 1945 yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia, termasuk masyarakat desa.

“Di sinilah peran negara yang bersih, efisien, dan efektif guna mendampingi peran swasta, BUMN, dan koperasi. Jadi, tidak dilepas begitu saja. Dengan begitu, kemandirian ekonomi dan kedaulatan pangan dapat ditargetkan. Kita harus mencontoh negara yang telah berhasil seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia, juga Thailand.”

Menurutnya, peningkatan kapasitas petani, nelayan, dan masyarakat perdesaan harus dilakukan untuk memanfaatkan infrastruktur yang dibangun serta akses terhadap pasar guna pencapaian pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, pakar pertanian HS Dillon menyatakan belum adanya komitmen membangun dari daerah pinggiran menyebabkan pembangunan di perdesaan jadi macet. Menurutnya, hal ini akan membuat tujuan swasembada pangan menjadi sulit untuk dipenuhi.

Bila berkaca pada data impor komoditi pangan Indonesia dari ASEAN dan dunia selama rentang waktu 2003 – 2013, maka swasembada pangan kita akan sulit dilakukan. Tahun 2003, misalnya, Indonesia mengimpor bahan pangan sekitar US$ 3.028 juta dan tahun 2013 sukses bertambah menjadi US$ 12.967 juta.

Fakta lainnya adalah pertanian belum memberikan keuntungan terlebih kesejahteraan pada petani. “Bagaimana kita mewujudkan kedaulatan pangan, lha investasi kelapa sawit masih mendominasi,” ujarnya.

Petani di Mbai, Flores mengusahakan pertanian di lahan kering. Foto: Anton Muhajir

Inovasi Pertanian dan Reforma Agraria

Menurut Dillon, perlu inovasi kebijakan yang cerdas untuk mengatasi permasalahan ini. Memang, saat ini Pemerintahan Jokowi giat membangun waduk dan menggerakkan petani. Namun, ini bukan disebut inovasi karena bukan hal yang baru. Harusnya, dipelajari dulu kenapa selama ini waduk tidak terurus dan berapa banyak kebutuhan masyarakat. Bila persoalan ini beres, barulah dibangun waduk baru yang jelas kebutuhannya.

“Infrastruktur yang harus dibangun adalah infrastruktur untuk kebutuhan akan datang. Bukan yang sudah-sudah. Ini baru inovasi pertanian.”

Menurutnya, sistem informasi pertanian harus diintegrasikan dengan pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seperti penggunaan ponsel. Dengan teknologi ini, petani dapat belajar sekaligus menyerap informasi mulai dari kondisi cuaca, kebutuhan alat pertanian, hingga harga komoditas yang dapat dijual melalui online. Terobosan ini harus dilakukan pemerintah sekarang agar semua program dapat dijalankan.

Peneliti dari Sajogyo Institute, Gunawan Wiradi, menuturkan bahwa membangun dari pinggiran yang saat ini dilakukan barulah metafora. Kemacetan pembangunan ini dikarenakan, ibarat pembangunan jalan, maka bukan jalan utama yang diperbaiki melainkan trotoarnya yang diperindah.

“Ini jargon kampanye politik praktis. Untuk itu, evaluasi target pembangunan harus dilakukan sesuai UUD 1945” ujarnya. Menurutnya, pemerintah harus memenuhi berbagai prasyarat reforma agraria demi perbaikan tata kelola pertanian yang baik.

Misalnya, pengertian reforma agraria ‘bagi-bagi’ 9 juta hektar tanah merupakan pengertian yang salah. Datanya harus lengkap dan akurat, baru bisa dilakukan, termasuk prasyarat untuk memiliki organisasi tani yang kuat. Berdasarkan pengalaman, bila rezim pemerintahan berganti, permasalahan agraria akan muncul kembali. Demikian pula, elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis. Saat ini para penguasa adalah pelaku bisnis.

“Jika sejumlah prasayarat ini belum terpenuhi, bagaimana reforma agraria akan dapat dilakukan?”

Selanjutnya HS Dillon menambahkan seharusnya reforma agraria menjadi tonggak pembangunan di tingkat desa. Reforma agraria harus memberikan akses petani miskin pada tanah pertanian. Reforma agraria harus mempertahankan aset pertanian dan sumber daya alam untuk kepentingan masyarakat lokal.

“Nawa Cita harus ditinjau kembali, apakah sudah bergerak ke arah yang tepat atau belum. Urut-urutan pekerjaan yang dilakukan harus ada dan jelas beserta tolok ukurnya. Karena, pembangunan perdesaan harus senafas dengan pertanian. Dan yang terpenting, melalui reforma agraria hak-hak masyarakat lokal dan adat yang terampas terhadap sumber daya alam dapat dikembalikan,” jelasnya mengakhiri pernyataan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,