Pada akhir Februari 2015, Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah berencana menggulirkan progam reforma agraria dengan membagikan sembilan juta hektare lahan pertanian kepada 4,5 juta petani marginal. Banyak pihak mendukung program reforma agraria ini agar kepemilikan lahan petani menjadi lebih baik dan bakal mendukung ketahanan pangan nasional.
Akan tetapi, program ini perlu mempertimbangkan berbagai hal penting, seperti kajian dampak lingkungan dan sosial dari lahan, penentuan dan kesesuaian lahan yang bakal dibagikan, transparansi dan keakuratan data, serta jaminan dan seleksi bagi petani penerima lahan.
Pemerhati Isu Kehutanan dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Togu Manurung mengatakan kajian dampak lingkungan dan sosial program tersebut perlu dilakukan secara komprehensif sebelum keputusan mengeksekusi program diambil agar dampak buruk dapat diminimalkan.
“Pemerintah harus belajar dari pengalaman buruk pembangunan mencetak sawah lebih dari satu juta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah yang menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang sangat buruk,” katanya.
Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Bogor yang juga Pemerhati Isu Pertanian Berkelanjutan dari Thamrin School menekankan pengalaman buruk dari program lahan gambut sejuta hektar tersebut.
“Masih hangat rasanya kisah gambut 1 juta hektare, di mana saya saat itu anggota tim AMDAL-nya. Untuk merusaknya dana yang sudah dikeluarkan pemerintah berjumlah lebih dari Rp3 triliun, dan untuk merehabilitasinya juga keluar lebih dari Rp3 triliun. Proyek tersebut akhirnya tidak menghasilkan sawah, tetapi kerusakan ekologi luar biasa yang benar-benar absurd. Plus 56 juta meter kubik kayu yang sudah entah lari ke mana,” kata Dwi Andreas.
Kompleksitas program ini sedemikian tingginya karena melibatkan luasan lahan yang sangat besar, beragam ekosistem dan fungsi dari bakal lahan dengan lokasi yang terpencar, serta banyak faktor lainnya.
Oleh karena itu, keterbukaan informasi dan data dari program ini menjadi krusial, terutama terkait dengan lokasi wilayah, status, dan kondisi lahan yang ada. Hal ini sangat penting agar pemangku kepentingan bisa memberikan masukan yang akurat kepada program reforma agraria. Keterlibatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diharapkan bisa menjami hal tersebut.
“Data pertanian dan petani, kondisi lahan yang memperhatikan peta kesesuaian lahan harus dibuat transparan sehingga publik bisa cek dan kontrol. Tidak semua lahan bisa dijadikan lahan pertanian,” kata Togu yang juga Dosen Fakultas Kehutanan IPB Bogor itu.
Program direncanakan dilakukan pada dua lokasi besar yaitu lahan APL (area penggunaan lain) dan kawasan hutan. Untuk itu, Togu mengatakan perlu dipastikan bakal lahan bukan berasal dari hutan berkonservasi tinggi dan penentuan lahan bukan menjadi kedok kolaborasi oknum aparat pemerintah dan pengusaha untuk memanen kayu dari hutan.
“Kita merekomendasikan agar pemerintah memastikan program ini tidak lagi menjadi kesempatan atau kedok untuk membabat hutan yang masih ada, karena itu bisa disalahgunakan untuk memanen kayu alam,” kata Ketua Perkumpulan Forest Watch Indonesia itu.
Kawasan yang memiliki signifikansi jasa lingkungan ekosistem hutan alam tropis yang sangat tinggi atau kawasan yang bernilai konservasi tinggi (high conservation value forest) misalnya di kawasan Heart of Borneo Kalimantan, harus dihindari untuk dibuka. Mengingat besarnya lahan terlantar di kawasan hutan, maka sebaiknya pembukaan tutupan hutan memang tidak dilakukan. Bahkan, bila ditemukan adanya kawasan berhutan yang statusnya Areal Penggunaan Lain, disarankan untuk tidak dibuka.
Pemerintah juga diharapkan tidak memaksakan angka luasan sebagaimana yang direncanakan, bila kajian dampak lingkungan dan sosial program tersebut belum dilakukan. Pendekatan bertahap, dengan mengeksekusi program pada wilayah yang dinyatakan layak lingkungan dan sosial saja, akan membuat program ini benar-benar bisa bermanfaat.
“Menurut data KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), sudah tersedia lahan terlantar tidak produktif, dalam bentuk alang-alang semak belukar, dalam kawasan dalam hutan dan luar hutan. Kenapa lahan ini tidak diprioritaskan dalam pengadaan lahan 9 juta hektar? Jangan gunakan hutan alam, karena laju deforestasi sudah besar,” lanjut Togu,
Indonesia memiliki lahan terlantar/tidak produktif yang sangat luas yang berada di kawasan hutan, sekitar 14 juta hektar, bahkan perhitungan lainnya mencapai angka 30 juta hektare. Disarankan agar lahan yang terlantar tersebut bisa diprioritaskan untuk dimanfaatkan, tentunya dengan dilakukan kajian mendalam terlebih dahulu.
Togu mengatakan program pemanfaatan 9 juta hektar lahan ini harus tepat sasaran ditujukan meningkatkan kesejahteraan petani. Maka perlu dipastikan identifikasi petani peserta program, terutama masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berada pada lokasi program. Prioritas harus diberikan kepada para petani tuna kisma (yang sama sekali tidak memiliki lahan) dan gurem (yang memiliki lahan sangat kecil).
“Kami merekomendasikan setelah setlelah buat kajian dampak lingkungan dan sosial, makan diterapkan environment and social safeguard di reforma agraria untuk masyarakat adat,” katanya.
Pembagian kepemilikan tanah agar dijamin kepada masyarakat yang berhak untuk mendapatkan lahan yang menjadi tujuan reforma agraria sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Kepemilikan tanah ini disertai dengan sertifikat hak milik yang tidak dapat dipindahkan kepemilikan, diperjualbelikan, dan diagunkan dalam masa minimal 10 tahun sehingga pengelolaan tanah dapat dijamin keberlangsungannya secara produktif untuk tanah pertanian sesuai program tersebut.
Thamrin School juga merekomendasikan agar program pemanfaatan 9 juta hektar lahan itu mengadopsi bentuk-bentuk pertanian berkelanjutan yang bersifat konservatif dan rehabilitatif agar manfaat optimal bisa diterima semua pihak.