Meskipun telah terdapat Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P3K), namun keberadaan UU ini tidak cukup kuat untuk menahan laju eksploitasi. Kepulauan kecil terluar seperti Mentawai dan Aru yang kaya keanekaragaman hayati malah menjadi sasaran untuk perluasan investasi berbasis lahan.
Undang-Undang P3K no 27/2007 jo. UU no 1/2014 dianggap masih kalah pamor dengan UU no 41/1999 tentang Kehutanan yang selama ini digunakan untuk menjustifikasi eksploitasi lahan di daratan pulau-pulau kecil. Akibat yang terjadi, pemberian ijin akan berdampak kepada ekologis dan sosial masyarakat yang ada tinggal di pulau-pulau tersebut.
“Kami berjuang melawan Menara Group yang pada awalnya kami dengar akan buka perkebunan ubi jalar di kepulauan Aru, pada tahun 2012 kami dengar Menhut keluarkan ijin prinsip bagi 19 perusahaan yang berada di bawah Menara Group,” jelas Mika Ganobal, seorang PNS dari Kecamatan Aru Tengah di Aru yang sekaligus aktif menggorganisir gerakan “Save Aru” yang menentang masuknya perusahaan eksploitatif di kepulauan Aru.
Sejak, 2007, konsorsium PT. Menara Group, yang menaungi 28 anak perusahaan, memiliki ijin prinsip dengan total 484.493 hektar atau tiga perempat luas Kepulauan Aru.
“Meski ijin katanya telah dicabut, kami sekarang tetap harap-harap cemas, karena sekarang keluar ijin bagi HPH Waha Sejahtera Abadi per September 2014 sekitar 55 ribu hektar,” papar Mika di Galeri Foto Antara dalam acara “Talk Show”: Kondisi krisis pulau-pulau kecil dan hak masyarakat adat, Jumat (13/03).
Menurut Mika masyarakat di kepulauan Aru, Maluku Tenggara menolak mentah-mentah rencana perkebunan dan eksploitasi hutan karena pada akhirnya masyarakat yang selama ini tergantung kepada sumberdaya alam bakal tidak memiliki akses kepada hutan dan kekayaan alam yang ada. “Bakal rusak tatanan masyarakat adat yang ada di Aru.”
Cerita mirip disampaikan Gugun dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) pendamping masyarakat Mentawai, kepulauan yang terletak di pesisir laut Sumatera Barat. Menurutnya, datangnya “kemajuan” yang diintroduksi oleh pemerintah lewat program rumah hunian (settlement) telah membuat masyarakat adat di kepulauan Aru kehilangan akses kepada hutan. Bahkan mengalami krisis identitas dan kepercayaan diri sebagai sukubangsa.
“Masyarakat adat tidak boleh lagi pergi buat ritual ke hutan. Agama asli Mentawai tidak boleh lagi ada, dilemahkan. Keberadaan sikerei (shaman) sebagai tokoh spiritual yang menghubungkan manusia dan alam dihilangkan. Generasi muda kehilangan jati diri. Bahkan, muatan lokal pendidikan di Mentawai bukan tentang budaya Mentawai, tetapi budaya Minangkabau.”
Parahnya, menurut Gugun pemerintah pun turut memberi stigma budaya asli Mentawai adalah tertinggal. Disaat bersamaan, kala masyarakat hilang interaksi dengan hutan, sejak 1970-an perusahaan HPH dan konsesi mulai masuk di Mentawai.
Mufti Barri, pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) menjelaskan maraknya eksploitasi lahan di pulau-pulau kecil Indonesia yang berlangsung, telah menjadikan pulau-pulau kecil rusak bahkan terancam tenggelam.
Hilangnya hutan-hutan alam akibat alih fungsi menjadi pertambangan, HPH dan perkebunan telah menjadikan fungsi hutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, mencegah naiknya permukaan laut dan penahan perubahan iklim hilang.
Dalam laporan tahun 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan 28 pulau kecil di Indonesia telah tenggelam dan 24 pulau lagi terancam tenggelam. Bahkan mengacu kepada hasil kajian Maplecroft’s Climate Change Vulnerability Index maka hingga 2050, sekitar 1500 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam.
Berdasarkan catatan FWI, hingga 2013 terdapat ijin berbasis lahan di 230 pulau kecil di seluruh Indonesia. Terbagi menjadi 2 konsesi HPH, 2 konsesi HTI, 4 konsesi perkebunan dan 227 konsesi pertambangan. Total 235 konsesi tersebut mencakup 673 ribu hektar atau 18 persen luas total daratan pulau-pulau kecil. Terdapat enam provinsi yang aktif melakukan eksploitasi berbasis lahan yaitu Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan Kepulauan Riau.
“Di masa lalu, Kemenhut menjadi penyebab hancurnya pulau-pulau kecil karena banyak keluarkan ijin. Karena Kemenhut menguasai lahan di seluruh daratan. Kemenhut mengeluarkan ijin tanpa pengaturan zonasi, hanya mangrove yang diperlakukan sebagai sebagai kawasan lindung,” jelas Mufti.
Menurutnya, warisan Kemenhut ini harus dievaluasi oleh para pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sekarang. Kementerian LHK harus meninjau ulang ijin-ijin yang telah dikeluarkan. Melihat dari tugas dan fungsi pengelolaan di pulau-pulau kecil, sudah seharusnya antara KLHK dan KKP bersinergi, karena sama-sama memiliki urusan pengelolaan dan perlindungan wilayah pesisir.
Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil
Rido M. Batubara, Direktur Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, Dirjen KP3K, KKP, menyatakan bahwa pihaknya tidak segan untuk menolak ijin untuk ijin prinsip yang terlanjur dikeluarkan seperti yang terjadi di kepulauan Aru.
“Meskipun ijin prinsip telah dikeluarkan, namun perusahaan yang beroperasi di pulau-pulau kecil belum bisa eksploitasi. Untuk eksploitasi harus ada ijin dari menteri KKP,” jelasnya.
Mengacu UU P3K no 1/2014, maka untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil, rencana zonasi wajib terlebih dahulu dibuat. Rencana zonasi itulah yang digunakan sebagai dasar pemberian ijin lokasi.
“Berdasarkan UU P3K, maka di pulau-pulau kecil zonasi harus dibuat dalam bentuk Perda, harus ada konsultasi publik dengan masyarakat. Perda bila menyimpang bisa dilakukan class action oleh masyarakat”
Dalam UU P3K, pulau-pulau kecil didefinisikan sebagai pulau yang memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi beserta kesatuan ekosistemnya. Karakteristik pulau kecil pun berbeda dengan pulau induknya (mainland) seperti batas ekologis dan batas fisik yang jelas, memiliki endemisitas dan keragaman hayati bernilai tinggi, memiliki daerah tangkapan air relatif kecil dan memiliki nilai penting sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.
Berdasarkan cermatan FWI, eksploitasi yang dilakukan di pulau-pulau kecil beresiko 20 kali lebih besar dibandingkan eksploitasi yang dilakukan di pulau besar. Pulau kecil memiliki sirkulasi air yang sangat cepat dan terfragmentasi. Penebangan kayu hutan alam di pulau kecil berdampak besar, dimana reforestasi yang lambat di pulau kecil dikaitkan dengan tingkat kadar garam dan perubahan musim angin laut yang berbeda secara ekologis dengan vegetasi di pulau besar.
Menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), kerusakan pulau-pulau kecil akan berdampak kepada masyarakat dan komunitas adat yang bermukim disitu. Diperkirakan terdapat 10 juta orang Indonesia yang tinggal dan hidup di pulau-pulau kecil di seluruh nusantara.