,

Ingin Penelitian Rawa? Datang saja ke Museum Rawa Indonesia

Tahun 1993, Rubiyanto H Susanto, saat kali pertama melakukan penelitian mengenai rawa di Sumatera Selatan, mengalami kesulitan mendapatkan data. Pengalaman tersebut lantas mendorong guru besar dari Universitas Sriwijaya ini mendirikan museum mengenai rawa. Dia berharap masyarakat yang tertarik mengenal dan mempelajari rawa tidak lagi kesulitan mendapatkan data, seperti yang pernah dialaminya.

“Waktu itu saya kesulitan, sama sekali tak ada data yang bisa digunakan. Kemudian pada perkembangannya, penelitian-penelitian yang telah dilakukan didokumentasikan hingga berdiri Pusat Data-Informasi Rawa dan Pesisir atau Pusdatarawa. Alhamdulillah, hari ini dengan dukungan berbagai pihak, Museum Rawa Indonesia (MRI) bisa soft launching,” ujar Rubiyanto kepada Mongabay Indonesia, usai peresmian MRI dan Taman Baca MRI di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (14/03/2015).

Di MRI, kata Rubiyanto, siapa pun dapat mempelajari rawa. Baik karakternya, kondisi masa lalu, saat ini, masa mendatang, hingga pemanfaatannya.

Bentuk MRI lebih menyerupai museum terbuka yang menyajikan flora dan fauna apa saja yang ada di lahan rawa, teknologi pertanian, hingga budaya masyarakat lokal yang membuka lahan pertanian di rawa. Selain itu, di kawasan museum juga terdapat berbagai fasilitas pendukung, antara lain aula serba guna, taman baca, serta kebun koleksi.

Amiruddin Inoed, mantan Bupati Banyuasin, yang hadir di acara tersebut, mengatakan senang dengan berdirinya MRI dan Taman Baca MRI. Menurutnya, tempat ini wajib dikunjungi mahasiswa atau peneliti yang membutuhkan referensi mengenai keadaan rawa di Sumsel.

“Di sini sangat menarik, siapa pun yang ingin tahu mengenai rawa atau ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut perlu datang ke MRI.”

Inoed juga berpendapat MRI menjadi salah satu destinasi agrowisata yang menarik bagi masyarakat yang ingin berwisata menikmati suasana pedesaan dan serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai alam.

“Ada museum, taman baca, sawah, kolam, buah-buahan lokal, macam-macam. Saya pikir, bagus juga kalau ada homestay untuk tamu yang ingin menginap. Pelibatan masyarakat perlu juga dilakukan untuk meningkatkan wawasan dan perekonomian mereka,” ujar Inoed.

Museum Rawa Indonesia yang berada di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, terbuka bagi semua kalangan yang ingin mempelajari seluk-beluk rawa. Foto: Muhammad Ikhsan
Museum Rawa Indonesia yang berada di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, terbuka bagi semua kalangan yang ingin mempelajari seluk-beluk rawa. Foto: Muhammad Ikhsan

Sementara, Erlita, perwakilan manajemen sebuah perusahan hutan tanaman industri (HTI), menyatakan pengelolaan rawa sebagai areal pertanian seperti yang ada di Desa Banyu Urip memerlukan penanganan khusus. “Jika tak disikapi dengan bijak, rawa apalagi gambut dapat menjadi bencana. Kita semua tahu bagaimana dampak bencana asap akibat kebakaran di lahan gambut.”

Erlita mengatakan perusahaannya berkomitmen untuk mendukung pengembangan MRI dan Taman Baca MRI. Bahkan, Erlita menjanjikan program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar yang mengantungkan hidupnya dari lahan rawa. “Kita siap bekerja sama dengan MRI untuk membantu peningkatan perekonomian masyarakat Desa Banyu Urip.”

Miskat, salah satu petani asal Desa Banyu Urip menceritakan dulunya areal persawahan di daerah ini merupakan rawa gambut dan kawasan hutan. Miskat yang datang ke Sumsel tahun 1980 merupakan transmigran dari Jawa Timur.

“Sebetulnya kami ditipu perusahaan yang menangangi masyarakat transmigrasi. Waktu di Jawa katanya, di Sumatera semuanya sudah siap, kami tinggal menanam saja. Nyatanya, masih rawa dan hutan belantara. Kami baru bisa bertanam tahun 1983. Sekarang tak terbayang lahan pertanian di Banyu Urip seperti sekarang ini.”

Menurut Miskat, masing-masing kepala keluarga mendapat lahan seluas dua hektar. Mereka bercocok tanam di rawa pasang surut dengan pola tanam dalam satu tahunnya, padi-jagung-jagung. Dari hasil produksi pertanian ini, masyarakat Banyu Urip dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.

“Ini juga berkat bimbingan dari penyuluh dan peneliti pertanian yang sering membantu petani di Banyu Urip. Kami senang kalau ada yang berkunjung ke desa kami. Semoga keberadaan MRI dan Taman Baca MRI ini menimbulkan dampak positif bagi Banyu Urip,” jelasnya.

Petani padi di Desa Banyu Urip berharap, hadirnya Museum Rawa Indonesia dapat meningkatkan pengetahuan mereka untuk meningkatkan kualitas pertanian. Foto: Rhett Butler

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,