, ,

Kelompok Ini Sulap Lahan Tidur jadi Sawah Organik, Caranya?

Siti Rahmah tak mampu menyembunyikan kegugupan. Wajah perempuan 49 tahun ini memerah. Sang suami, Arief Sore, tersenyum.

“Tak usah tegang bu. Santai saja melihat ke kamera. Bicara tenang,” kata Fatmasari Hutagalung, Program Offcer Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam, coba menenangkan. Namun Siti tak bisa santai.

Selasa (3/3/15), Siti memang menjadi bintang. Sejumlah media nasional berkunjung ke rumahnya, sekaligus sekretariat kelompok, Pita Aksi. Mereka dinilai sukses mengembangkan pertanian organik memanfaatkan sisa pekarangan rumah dan lahan tidur di kampung Desa Pitusunggu, Kecamatan  Ma’rang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.

Atas usaha ini sang ketua terpilih sebagai satu dari tujuh perempuan pejuang pangan “Female Food Heroes Indonesia 2013”, bertepatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2013. Pada Desember 2014, dia menerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara dari pemerintah. Lalu, berkesempatan bertemu Presiden Joko Widodo bersama 88 penerima penghargaan lain, 16 Januari 2015.

Di sekeliling rumah Siti dipenuhi berbagai jenis sayuran. Namun, karena musim hujan sayuran yang bisa ditanam terbatas.

“Sekarang sedikit sayuran karena hujan. Kalau kemarau justru bagus. Kita bisa menentukan berapa banyak air bisa diberikan. Kalau hujan susah. Cabai kami tanam banyak busuk,” katanya.

Seluruh tanaman, katanya, murni organik, tanpa bahan kimiawi. “Awal kita pakai kompos, pupuk cair untuk penyemprotan. Mencegah hama gunakan pestisida nabati, yaitu menanam berbagai jenis tanaman tak disukai hama di sela-sela tumbuhan inti.”

Siti juga mengajak mengunjungi sawah organik di belakang rumahnya. Dia menunjukkan mesin pencacah tanaman milik kelompok biasa untuk pembuatan pupuk kompos.

Luas hamparan sawah menghijau itu sekitar delapan hektar. Hujan rintik membuat kami harus melepas sepatu dan menggulung celana. Pelan-pelan menyusuri pematang sawah berlumpur.

“Ini dulu lahan tidur. Hampir 20 tahun hanya padang ilalang tak terurus. Kalau dijual harga murah sekali.” Beberapa petani terlihat sibuk membersihkan gulma di sela-sela tanaman. “Gulma itu biasa ditenggelamkan, bagus untuk tanah. Bisa dicacah bahan campur kompos.”

Dia menceritakan, dulu lahan itu pembibitan padi, ketika usaha komoditas ini masih unggulan. Kala booming udang awal 1980-an, lahan itu tak lagi berfungsi.

Sawah-sawah banyak menjadi tambak udang hingga sedikit sawah tersisa.”Tak ada sawah, maka pembibitan,” ujar dia.

Lahan delapan hektar dulu tidur, menjadi sawah organik dengan hasil sekitar 5-6 ton per hektar. Foto: Wahyu Chandra
Lahan delapan hektar dulu tidur, menjadi sawah organik dengan hasil sekitar 5-6 ton per hektar. Foto: Wahyu Chandra

Bertahun-tahun tak ada warga memanfaatkan lahan itu. Ketika RCL Oxfam masuk menawarkan metode bertani organik memanfaatkan lahan terbatas, termasuk pekarangan rumah dan lahan tidur. Tak banyak warga yakin. “Banyak bilang mustahil menanam padi di situ. Kami lanjut hingga ada hasil.”

Pesimisme warga beralasan, karena daerah pesisir dianggap susah tumbuh padi dengan baik. Usaha tambak dinilai lebih prospektif.

Ini juga diakui Soni Kusnito, fasilitator RCL yang mendampingi warga. Program ini awalnya sulit diterima karena tak ada hasil langsung. Sedang mereka  harus menghidupi keluarga.

Kondisi berubah setelah hasil terlihat. Kesuksesan Siti dan Pita Aksi bertani organik membuka mata petani lain. Tak cukup setahun, pekarangan rumah merekapun menghijau ditumbuhi beragam sayuran, seperti kangkung, sawi, cabai, kacang, dan tanaman lain. Sawah organik, belakangan menunjukkan hasil melebihi harapan.

Sayuran mereka, pada awal untuk konsumsi sendiri perlahan diperjualbelikan. “Pembeli bukan hanya tetangga juga datang dari desa lain. Mereka mulai tahu kalau ada sayuran organik di sini.”

Pasar sayuran organik Pita Aksi bahkan sempat diperjualbelikan ke swalayan di Makassar, meski berhenti karena berbagai sebab. “Mereka hanya bisa beli skala kecil. Kita ada biaya pengemasan dan pengantaran. Rugi jika beli sedikit.”

Faktor lain, belum ada label sertifikasi organik, padahal sejumlah swalayan mempersyaratkan.

Untuk mendapatkan sertifikasi organik sendiri proses tak mudah dan memerlukan biaya mahal. “Saya dengar minimal Rp30 juta, kami tak punya biaya, kecuali jika pemerintah atau Oxfam membantu,” kata Siti.

Padahal jika dipasarkan di swalayan harga sayuran bisa lebih mahal, misal, dua ikat sawi bisa Rp7.000, sedang pasar tradisional Rp1.000.

Untuk padi dengan lahan anggota delapan hektar ini bisa menghasilkan sampai 40 ton lebih atau 5-6 ton per hektar. Bahkan ada kecenderungan meningkat pada panen terakhir. Hasil ini lebih tinggi dari panen sawah non organik. Dari pendapatanpun bisa meningkat karena harga padi organik bisa Rp15.000–Rp25.000 per kg, padi biasa Rp10.000 per kg.

 Kelompok Pita Aksi kini beranggotakan 30 petani sukses mengembangkan pertanian organik di pekarangan dan pemanfaatan lahan tidur. Beragam macam sayuran di tanam di lahan warga yang menjadi anggota kelompok. Hasilnya pun sudah bisa dijual. Foto: Wahyu Chandra
Kelompok Pita Aksi kini beranggotakan 30 petani sukses mengembangkan pertanian organik di pekarangan dan pemanfaatan lahan tidur. Beragam macam sayuran di tanam di lahan warga yang menjadi anggota kelompok. Hasilnya pun sudah bisa dijual. Foto: Wahyu Chandra

Pengelolaan sawah organik tidak lagi menggunakan urea dan pestisida. Mereka pakai kompos dan penyemprotan pupuk cair microrganisme local. Seluruh pupuk dibuat petani menggunakan limbah ternak, tanaman dan buah-buah busuk.

Untuk satu hektar sawah perlu dua ton kompos Rp2 juta. Sedang pupuk cair MOL 50 liter Rp500.000. “Kalau mau dihitung-hitung tak ada biaya keluar membuat bahan pupuk itu. Semua bahan ada, tak usah membeli.”

Kesuksesan sawah organik kelompok Pita Aksi ternyata membawa pangaruh besar bagi warga Pitusunggu. Lahan-lahan tidur mulai dilirik.

“Ada bahkan secara paksa menuntut kembali kepemilikan lahan yang dulu diserahkan ke saudara. Kini mereka ambil karena dianggap menghasilkan. Jadi ada rebutan lahan,” kata Arief.

Hamlani, warga Desa Pitusunggu mengaku termotivasi dengan capaian Pita Aksi dan kiprah Siti yang kini banyak diundang berbicara di berbagai forum.

Sekolah lapang

Sebenarnya bagaimana Siti dan anggota Pita Aksi memperoleh pengetahuan bertani organik? Kelompok ini berdiri 2009 sebagai kelompok perempuan tani. Bertani organik belum menjadi prioritas. Pemahaman organik belum ada.

Ketika program RCL masuk menawarkan dukungan pelatihan melalui sekolah lapang, mereka pun menerima dengan senang hati. Jika awal ada 15 orang dan semua perempuan. Kini, menjadi 30 orang sebagian laki-laki.

Menurut Fatmasari, awal RCL di Pitusunggu ditawarkan sejumah program kepada warga. Salah satu membentuk sekolah lapang organik.

SL Organik selama tiga bulan, pertemuan sekali seminggu. Para peserta, warga yang berminat dan sebagian besar perempuan. Melalui SL mereka belajar tata cara bertanam organik, pembuatan kompos dan pupuk MOL.

“Sekolahnya ya di pekarangan rumah masing-masing. Belajar sedikit teori dan langsung praktik.”

Harun Bambang, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Pangkep, mengatakan, pertanian organik akan menjadi kebutuhan mendasar masa datang. Hal terpenting, mencoba mengubah perilaku petani dari ketergantungan bahan kimiawi ke organik.

Kelompok Pita Aksi membuat pupuk kompos sendiri digunakan bersama anggota. Satu hektar sawah memerlukan dua ton kompos. Kini tak ada lagi penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Foto: Wahyu Chandra
Kelompok Pita Aksi membuat pupuk kompos sendiri digunakan bersama anggota. Satu hektar sawah memerlukan dua ton kompos. Kini tak ada lagi penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,