,

Banjir Genangan Pasang Surut Mengancam Ketahanan Pangan Nasional. Kok Bisa?

Lahan sawah sebagai penghasil padi bernilai strategis menunjang ketahanan pangan nasional, karena beras masih menjadi bahan makanan pokok.  Akan tetapi, terdapat lahan sawah berada pada wilayah rawan banjir, seperti di lahan-lahan sawah pesisir utara Jawa Tengah.

Sri Hartini dari Badan Informasi Geospasial mengatakan banjir genangan karena pasang air laut merupakan ancaman yang lebih dominan terhadap keberlangsungan lahan sawah dibandingkan banjir genangan karena hujan lebat. Banjir genangan yang disebabkan oleh pasut telah mengakibatkan lahan sawah tergenang secara periodik.

“Sawah yang tergenang secara pasut secara permanen tidak dapat digunakan untuk bercocok tanam lagi, sehingga luas lahan sawah menjadi berkurang,” katanya di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi UGM, pada Sabtu, (14/03/2015).

Sri Hartini menyatakan hal itu saat ujian terbuka Program Doktor Ilmu Geografi dengan mempertahankan disertasi “Pemodelan Risiko Banjir Genangan pada Lahan Sawah di Sebagian Wilayah Pesisir Utara Jawa Tengah”.

Dikatakannya selama kurun waktu sekitar 15 tahun (1994-2009), lahan sawah pada wilayah genangan pasut mencapai seluas 31. 267,54 hektar. Perubahan lahan sawah menjadi tambak dan lahan terbangun masing-masing mencapai 2. 254,71 hektar (7%) dan 1. 610,49 hektar (5%).

“Genangan rob pada lahan sawah sejauh ini belum mendapat perhatian, seperti halnya genangan rob di wilayah permukiman ataupun industri,” katanya.

Meski pendataan potensi desa (Podes) sudah memasukan rob sebagai salah satu jenis bencana alam, namun UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana belum memasukannya.

“Meski ancaman itu sudah sangat nyata terhadap pengurangan produksi pertanian terutama beras. Oleh karena itu, genangan rob perlu dimasukkan sebagai bagian dari jenis bencana dalam peraturan perundangan terkait kebencanaan,” kata Sri.

Meski tidak meningkatkan ketahanan lahan sawah dari banjir genangan, masyarakat perlu melakukan adaptasi pengaturan pola tanam. Selain itu, perlu adaptasi untuk pengaturan waktu tanam dan pemilihan komoditas agar dapat meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi resiko banjir genangan.

Banjir Rob di Semarang

Dari penelitian Emi Suryanti dari Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM melakukan penelitian terkait banjir rob di Semarang pada 2008, menyebutkan banjir rob menimbulkan pengaruh yang besar terhadap masyarakat Semarang, terutama yang bertempat tinggal di kawan pesisir. Bahkan banjir rob di kawasan pesisir akan semakin parah dengan adanya genangan air hujan atau banjir kiriman, dan banjir lokal akibat saluran drainase yang kurang terawat.

“Pada kondisi ini masyarakat tetap melakukan adaptasi untuk bertahan dalam lingkungan yang ada, tidak heran masyarakat pesisir utara kota Semarang tetap memilih tinggal di daerah tersebut meski daerahnya tidak nyaman untuk hunian,” kata Emi.

Berbagai hal yang memotivasi masyarakat tetap tinggal di daerah tersebut, disebabkan sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai buruh industri dan nelayan, sehingga enggan untuk berpindah karena merasa aksesnya lebih dekat dan mudah jika tinggal di daerah tersebut.

Masyarakat pesisir di daerah Semarang ini dinilai Emi juga telah melakukan beberapa adaptasi terhadap bankjir rob dengan membuat talud dan tanggul permanen, menambah ketinggian jalan seputar rumah dan beberapa warga telah berinisiatif membuat rumah panggung.

“Untuk mengurangi dampak dari banjir rob, komunitas kawasan pesisir perlu dilakukan program penanggulangan secara komprehensif yang melibatkan pemerintah dan masyarakat,” kata Emi.

Sementara itu Dosen Geografi UGM, Aris Marfai, mengatakan fenomena banjir rob di kawasan pesisir semarang merupakan akibat dari berbagai proses perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai dengan dibangunnya lahan tambak, rawa dan sawah yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut dan kini telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya.

“Perubahan penggunanan lahan ini dilakukan dengan cara menimbun dan meninggikan daerah tambak, rawa dan sawah untuk berbagai penggunaan lain, sehingga ketika air pasang laut tidak tertampung lagi dan kemudian menggenangi kawasan yang lebih rendah,” kata Aris.

Ditambahkan Aris, dari sekitar 790,5 lahan di Kecamatan Semarang Utara tidak ada lahan tambak lagi, dan dari sekitar 585 hektar total lahan di Kecamatan Semarang Barat hanya terdapat sekitar 126,5 hektar lahan tambak.

Sedangkan proses terjadinya penurunana muka tanah di kawasan pantai, menurut Aris, sangat bervariasi berkisar antara 2 hingga 25 cm per tahun. Bahkan di wilayah Kelurahan Bandarharjo, Tanjung Mas dan sebagian kelurahan Terboyo Kulon mencapai 20 cm per tahun.

Adapun kenaikan muka air laut sebagai efek pemanasan global, antara tahun 1990 hingga tahun 2010 diprediksi Aris akan terjadi kenaikan suhu rerata permukaan bumi sebesar 5,8 derajat celcius. “Pemanasan global ini akan menyebabkan perubahan iklim bumi, dan kenaikan muka air laut mencapai satu meter,” kata Aris.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,