,

Lagi, 52 IUP Bermasalah di Aceh akan Dicabut

Instruksi Gubernur Aceh Nomor 11/INSTR/2014 mengenai Moratorium Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral Logam dan Batubara yang dikeluarkan Oktober 2014, mulai menampakkan geliatnya. Sejumlah IUP tidak aktif dan tidak memberikan kontribusi kepada daerah mulai dicabut izinnya.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh Said Ikhsan menyatakan, saat ini ada 52 IUP bermasalah di Aceh yang kembali akan dicabut izinnya. ”Pencabutan ini merupakan bentuk keseriusan Pemerintah Aceh dalam menjalankan moratorium yang berlangsung hingga Oktober 2016,” jelasnya dalam perbincangan sore Jalan Setapak, program radio hasil kerja sama Green Radio, KBR, dan Mongabay, Selasa (17/3/2015).

Menurut Ikhsan, 52 IUP yang akan dicabut itu merupakan IUP yang berdasarkan evaluasi tidak memberikan kontribusi. “Sesuai instruksi gubernur, seluruh perizinan tambang harus dievaluasi dan tidak ada izin baru selama moratorium. Tentu saja, upaya ini kelanjutan dari pencabutan 22 IUP bermasalah sebelumnya yang telah dilakukan melalui koordinasi dengan bupati atau walikota tempat izin itu berada,” jelasnya.

Komitmen ini dilakukan karena Pemerintah Aceh melihat pentingnya perlindungan kawasan hutan yang merupakan aset penting yang harus dijaga kelestariannya. “Aceh juga daerah yang berada dibawah pengawasan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Bidang Mineral dan Batubara Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, penataan tambang harus dilakukan kembali agar tidak merusak lingkungan Aceh,” ujarnya.

Ikhsan juga tidak menampik adanya 77 perusahaan yang berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Aceh berada di kawasan konservasi dan hutan lindung. Menurutnya, secara bertahap akan dilakukan evaluasi. “Ini memang tidak mudah, karena perusahaan tersebut merupakan perusahaan besar dan kuat secara finansial. Harus ada upaya maksimal dan koordinasi semua pihak. Yang pasti, keseriusan pemerintah Aceh terhadap lingkungan dan menjaga hutan tidak perlu diragukan.”

Askhalani, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, menganggap bahwa upaya pencabutan IUP tersebut merupakan langkah awal. Karena, bila dilihat dari 22 IUP yang dicabut itu, merupakan IUP yang memang kadaluarsa dan ditengarai tidak memiliki wilayah izin usaha pertambangan. “Jadi, memang izinnya yang tidak diperpanjang.”

Terkait akan ada pencabutan 52 IUP lagi, Ashkhalani menilai, jika yang dicabut itu masih perusahaan yang memang izinnya habis, tentunya belum menyentuh permasalahan. “Karena, seharusnya, 77 perusahaan yang berada di kawasan konservasi itulah yang harus dievaluasi. Meski begitu, kita harus memberikan apresiasi terhadap keseriusan Pemerintah Aceh guna memperbaiki kebijakan pertambangan yang keliru,” ujarnya.

Kedepan, Pemerintah Aceh harus lebih selektif dalam pemberian izin. Hasil investigasi GeRAK di Aceh Selatan terkait perizinan tahun 2007, dalam satu harinya ada tiga izin yang dikeluarkan. Bisa jadi, ini sarat akan kepentingan. “Untuk itu, Pemerintah Aceh harus mengoreksi ulang seluruh IUP, yang saat ini masih menyisakan 116 perizinan.”

Direktur Walhi Aceh, M. Nur, menjelaskan bahwa penataan IUP memang sepatutnya dilakukan. Berdasarkan data yang dimiliki Walhi, perusahaan tambang yang masuk kawasan lindung dan konservasi di Aceh sebagian besar tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan dari Kementerian Kehutanan saat itu.

Menurut M. Nur, hal yang harus diperhatikan di masa moratorium ini adalah tinjau kembali seluruh dokumen analisisi mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan, apakah sudah benar atau belum. Berikutnya, cabut IUP bermasalah, yang bukan hanya karena izinnya tidak diperpanjang, tetapi juga yang berada di kawasan konservasi dan hutan lindung sebagaimana Surat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Nomor S.702/VII-PKH/2014 tertanggal 10 Juli 2014 yang jumlahnya mencapai 69 perusahaan.

Sebagaimana yang diberitakan Mongabay sebelumnya, Pemerintah Aceh telah mencabut 22 IUP bermasalah. Perusahaan tersebut berada di Kabupaten Nagan Raya (9), Aceh Jaya (7), Aceh Barat (4), Pidie (1), dan Kota Subussalam (1). Pemerintah Aceh juga membentuk tim khusus dalam memantau pertambangan yang terdiri dari unsur pemerintah, pemerhati lingkungan, dan lembaga swadaya masyarakat.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,