Pelemahan Rupiah Ancam Pasokan Energi Nasional

Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah. Situasi ini dikhawatirkanakan mengganggu keamanan pasokan energi nasional. Sebab, Indonesia masih bergantung pada energi fosil yang sebagian besar harus diimpor menggunaka mata uang dollar. Begitu juga dengan kontrak penyediaan energi primer dan pembelian listrik swasta oleh PLN. Sehingga, ketika rupiah melemah, artinya biaya untuk impor bahan bakar juga akan membengkak.

Menyikapi hal tersebut, Pemerhati Isu Energi Thamrin School Fabby Tumiwa mengatakan, persoalannya bukan dollar naik dan turun. Tapi ada persoalan yang sangat fundamental dan struktural namun tidak bisa diatasi dalam 15 tahun terakhir. Bahkan memburuk 10 tahun terakhir.

“Ketergantungan bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 1,5 juta barel per hari. Di tahun 2018 akan meningkat menjadi 1,8 juta barel. Peningkatan tersebut berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus menanjak. Ini yang harus dibenahi,” kata Faby dalam acara diskusi bersama media di Jakarta, Kamis (19/3/15).

Lebih lanjut ia mengatakan, hal yang harus dibenahi adalah mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mulai menggunakan energi terbarukan yang lebih bersih dan rendah emisi. “Sekarang target pertumbuhan ekonomi kita tinggi. Kebutuhan bbm  juga akan semakin besar,” katanya.

Dua BUMN yeng terimbas dengan melemahnya nilai tukar rupiah yakni Pertamina dan PLN. Sebab keduanya mempunyai kebutuhan valas dalam bentuk dollar sangat besar.

“Hitungan saya diperkirakan Pertamina menghabiskan sekitar 60 persen pendapatannya atau setara dengan 60 juta dollar untuk biaya pengadaan minyak mentah, BBM dan LPG setiap harinya,” katanya.

Lebih lanjut Fabby mengatakan kombinasi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar dan fluktiasi harga minyak dunia menyebabkan Pertamina mengalami kerugian. Jika Pertamina tak mampu membiayai impor minyak, maka bisa bangkrut.

“Pada Januari tahun ini saja kerugian Pertamina mencapai 35 juta dollar atau setara dengan Rp. 420 miliar,” ujarnya.

Selain itu, biaya yang dikeluarkan oleh PLN 70 persennya untuk biaya pengadaan bahan bakar, pembelian listrik swasta, operasi dan perawatan pembangkit, serta pembayaran imbal obligasi global yang juga dalam bentuk dollar.

Karena itu  menurut Fabby perlu upaya untuk mengendalikan konsumsi dan pertumbuhan konsumsi bahan bakar minyak dan listrik. Pemerintah harusnya menekan permintaan BBM, bukan terus menambah suplai. Serta diversifikasi energi untuk menghindari jebakan ketergantungan terhadap BBM dan nilai tukar rupiah di masa yang akan datang. Jika tidak dibenahi maka Indonesia akan terus mengalami hal yang serupa berulang kali.

“Kebijakan harga energi yang coba dikoreksi saat ini tidak mendorong pengembangan energi alternatif lain. Kebijakan energi sekarang tak ada konsep yang jelas,” katanya.

Fabby mengatakan, perlu ada kampanye publik untuk membuat gerakan hemat BBM dan listrik. Cara tersebut bisa ditempuh sebagai solusi jangka pendek. Jika konsumsi BBM dan listrik turun, maka kebutuhan valas asing untuk impor juga turun. Hal tersebut juga bisa berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca.

“Kami juga mendesak agar pemerintah segera punya roadmap strategi kebijakan harga BBM yang lebih konfrehensif. Tidak hanya sekedar naik dan turun harga. Menjaga tingkat harga jual BBM yang berlaku saat ini pada bulan-bulan mendatang walaupun harga minyak dunia mengalami penurunan kembali,” paparnya.

Dengan hal tersebut, diharapkan dapat mengurangi tingkat konsumsi BBM dan membantu memperbaiki neraca keuangan Pertamina.

“Selain itu juga harus mempercepat substitusi BBM ke bahan bakar gas. Ini sudah diwacanakan sejak sepuluh tahun yang lalu tapi realisasinya nol besar. Pemerintah harus serius melakukan hal itu,” ujarnya.

Namun hal itu sangat berbanding terbalik dengan aggaran di APBNP tahun ini untuk program substitisi BBM ke bahan bakar gas yang sangat kecil.

Solusi Jangka Panjang

Sebagai solusi jangka panjang, Fabby mendesak agar pemerintah membangun sistem transportasi publik yang layak dan handal. Sehingga masyarakag tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi. Cara tersebut akan menekan konsumsi BBM juga menurunkan emisi gas rumah kaca.

“Pemerintah juga harus menetapkan kebijakan fuel economy standard yang dapat berlaku lima tahun mendatang. Kebijakan ini harus segera didorong agar diterapkan untuk kendaraan bermotor di Indonesia,” katanya.

Fabby juga menyarankan untuk mulai memperkenalkan pajak karbon untuk BBM. Selain itu, pengembangan energi terbarukan yang murah juga harus didorong. Ini bisa dilakukan dengan cara akusisi teknologi dan fasilitasi pendanaan untuk membiayai proyek energi terbarukan.

“Ini sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menargetkan penggunaan energi terbarukan di tahun 2025 sebesar 23 persen,” katanya.

Sedangkan Pemerhati Isu Ekonomi Poltik dan Tata Kelola Pemerintahan Thamrin School Jalal mengatakan, pemerintah juga haris membuat regulasi yang jelas terkait dengan penggunaan BBM oleh industri. Sebab industri menggunakan BBM dalam jumlah yang sangat besar. “Harus ada standar efisiensi energi untuk keseluruhan industri. Harus melibatkan Kadin untuk mengatur hal ini,” katanya.

Sementara Kepala Sekolah Thamrin school Farhan Helmy mengatakan, ia mendukung kebikakan pemerintah untuk meningkatkan blending biofuel bahan bakar nabati (BBN) dengan BBM sebanyak 15 persen. Ini dilakukan untuk mengurangi impor BBM dan kebutuhan valas.

“Tapi ini harus konsisten. Setelah 15 persen maka harus naik jadi 20, atau 25 persen. Ini bisa memanfaatkan 1,5 juta hektare lahan terdegradasi yang sesuai untuk memasok konsumsi bio etanol,” katanya.

Namun Farhan mengatakan, penyediaan biofuel (BBN) harus mempertimbangkan dan menjunjung aspek keberlanjutan, net emisi GRK yang dihasilkan dan kelestarian fungsi ekologis. Peningkatan produktifitas perkebunan dan efisiensi produksi BBN dari minyak sawit harus tetap menjadi prioritas pemerintah.

“Pemerintah juga harus melakukan audit biaya produksi BBN secara berkala sebagai acuan untuk menetapkan harga yang efisien. Sehingga berpihak pada kepentingan publik. Tidak hanya pada produsen,” ujarnya.

Farhan menegaskan, pengembangan BBN harus dilakukan secara terpadu dan terintegras dengan strategi pengembangan energi terbarukan dan substitusi bahan bakar minyak. Tapi tetap dengan memperhatikan sensitifitas keseimbangan ekologis dan kelestarian lingkungan. “Hal ini perlu ditunjukan dengan adanya kebijakan tata ruang dan keberpihakan pada pengembangan industri secara adil dan konsisten,” tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,