,

Polutan Kimia Menjadi Ancaman Keberadaan Beruang Kutub dan Satwa Liar

Sebuah artikel yang diterbitkan dalam Environmental Research, menyebutkan bahwa saat ini beruang kutub (Ursus maritimus) berpotensi mendapatkan ancaman karena perubahan dan akumulasi polusi di kawasan Artik. Ketidakseimbangan hormon yang ada di otak pada akhirnya akan mempengaruhi perubahan perilaku dan kemampuan bertahan hidup.

Polutan yang dikenal sebagai senyawa perfluoroalkyl compounds (PFA), menumpuk di daerah tertentu dalam otak beruang kutub selama bertahun-tahun, diketahui berasal dari konsumsi bahan makanan yang terkontaminasi. Bioakumulasi zat kimia dalam proses rantai makanan akan banyak terkonsentrasi pada hewan top predator, yang berada di rantai teratas dalam proses rantai makanan.

Katherine Eggers Pedersen, ahli toksikologi dari University of Copenhagen yang memimpin penelitian ini, menyebutkan bahwa meskipun perfluoroalkyl telah meningkat di kawasan Kutub Utara, secara khusus di Greenland selama tiga dekade terakhir, beberapa unsur perfluoroalkyl mulai menurun sejak 2007. Namun beberapa temuan terbaru menunjukkan kandungan tersebut kembali relatif tinggi baru-baru ini, seperti yang ditemukan dalam otak beruang kutub.

“Hasil penelitian kami mendukung hipotesis bahwa konsentrasi PFA beruang kutub dari Greenland timur telah melampaui ambang batas untuk perubahan neurokimia,” jelas Pedersen “Mengingat pentingnya sistem ini dalam proses kognitif dan fungsi motorik, hasil ini menunjukkan perlunya kebutuhan mendesak untuk lebih memahami efek neurokimia paparan PFA untuk satwa liar.” Bahan kimia seperti PFA diantaranya berasal dari limbah industri untuk proses pencegah noda dan campuran bahan anti kebocoran.

Para peneliti menyebutkan bahwa tingginya PFA telah menyebabkan gangguan tingkat aktivitas enzim. Lebih lanjut para peneliti terus melakukan riset untuk mengetahui efek yang tepat dari tingkat polusi terhadap perilaku beruang. Para peneliti menggunakan metode perbandingan antara kadar PFA di berbagai daerah otak dan tingkat aktivitas enzim.

Tingkat tertinggi PFA adalah tertinggi di batang otak, yang mengontrol fungsi-fungsi kehidupan yang vital, dan otak kecil, yang bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan gerakan dan keseimbangan. Saat ini, para peneliti sedang mencari hubungan transmiter dalam syaraf otak (neurotransmitter) yang menjadi kunci otak dalam hubungannya dengan perilaku, pembelajaran dan memori.

“Kami tengah mencari gangguan enzim dan zat sinyal yang berefek pada indera dan tingkah laku pada beruang kutub. Otak memiliki kemampuan adaptasi, hingga taraf tertentu mampu menyesuaikan diri mengimbangi kerusakan, tapi kami tidak tahu pasti tingkat tersebut. Sulit untuk menentukan apakah batas tersebut masih jauh atau sudah sangat dekat,” jelas Bjarne Styrishave, peneliti University of Copenhagen yang juga terlibat dalam penelitian ini.

Pengaruh bioakumulasi terhadap satwa liar, dan secara khusus satwa top predator, telah menarik banyak minat para pakar dalam bidang ekologi dan biologi lingkungan.

Dalam tahun 2013 akumulasi kimiawi polutan yang disebut dengan polychlorinated biphenyls (PCB), salah satu senyawa dioksin beracun, diindikasikan menjadi sumber yang dapat menyebabkan kemampuan penis beruang kutub jantan menjadi lemah. Selain berbagai efek polutan, maka ancaman keberadaan beruang kutub berasal dari perubahan iklim yang dapat menghancurkan habitat es mereka.

Pada tahun 2011 para peneliti Amerika melaporkan bahwa satwa top predator di Teluk San Fransisco seperti burung kormoran (Phalacrocorax auritus) dan anjing laut pasifik (Phoca vitulina richardii). Kandungan kimiawi perfluorooctane sulfonate (PFOS) ditemukan dalam telur burung kormoran dan ikan-ikan kecil yang menjadi mangsa mereka. Kandungan PFOS yang tinggi dalam tubuh anjing laut dan burung kormoran berasal dari lingkungan daerah urban yang berada di selatan Teluk.

Senyawa seperti perfluorooctane sulfonate (PFOS) dan perfluorooctanoic acid (PFOA) sendiri digunakan dalam berbagai bahan kebutuhan manusia sehari-hari diantaranya bahan pembuat wajan anti lengket, cat furniture, karpet dan kertas minyak pembungkus makanan cepat saji.

Referensi

  • Pedersen, et al. 2015. Brain region-specific perfluoroalkylated sulfonate (PFSA) and carboxylic acid (PFCA) accumulation and neurochemical biomarker Responses in east Greenland Polar Bears (Ursus maritimus). Environmental Research.
  • Sedlak, Margareth and Denise J. Greigb. 2011. Perfluoroalkyl compounds (PFCs) in wildlife from an urban estuary. Journal of Environmental Monitoring
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,