,

Laskar Belati, Menjaga Kakao Luwu Tetap Lestari

Petani kakao di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki cara unik melestarikan tanaman. Mereka membentuk kelompok dengan senjata andalan belati. Merekapun berupaya menerapkan pertanian ramah lingkungan.

Laskar Belati. Begitulah nama kelompok informal petani di Desa Kalotok, Kecamatan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara. Kelompok yang berdiri dua tahun lalu ini memang memiliki senjata utama belati. Dengan pisau kecil itu, para anggota menyambung atau okulasi bibit kakao.

“Ini hanya kelompok berkumpul sesama petani sekaligus bergotong royong,” kata Jusman Triatmojo, anggota Laskar Belati di Masamba, ibukota Luwu Utara.

Pagi itu, mata Jusman masih merah karena bangun tidur meskipun sudah pukul 10-an pagi. “Tadi malam kami bekerja sampai pukul 2.00. Baru bangun jam segini,” katanya.

Luwu Utara, salah satu pusat produksi kakao di Sulsel. Tiap tahun, kabupaten ini menghasilkan 40.600 ton kakao dari luas kebun 39.000 hektar. Jumlah produksi rata-rata per tahun masih berkisar 0,9 ton per hektar.

Secara statistik, produksi itu lebih tinggi dibandingkan petani kakao di Indonesia umumnya. Rata-rata produksi di Indonesia berkisar 0,5 ton-0,6 ton per hektar per tahun.

Menurut Jusman, petani masih ingin terus meningkatkan produksi maupun kualitas kakao mereka. Salah satu, melalui usaha peremajaan. Petanipun mendirikan Laskar Belati agar bisa saling membantu ketika membuat bibit. Dari situ, mereka makin sering gotong royong. “Laskar Belati terbentuk secara tidak sengaja,” katanya.

Pola pertanian merekapun ramah lingkungan. Untuk pupuk dan pestisida, membuat dari bahan-bahan kebun sendiri. Penggunaan bahan kimia sebisa mungkin dihindari.

“Dulu kami salah paham dengan penggunaan bahan kimia. Kami pikir makin banyak pakai pupuk kimia makin banyak hasil. Ternyata tidak,” kata Ismail Laenre, anggota Laskar Belati. Di depan rumah, Ismail membuat pembibitan. Selain keperluan sendiri, juga dijual.

Kini, mereka menggunakan pupuk organik. Sejak dua tahun silam, setelah beralih ke pertanian ramah lingkungan–meskipun sesekali masih menggunakan pestisida kimia dalam jumlah terbatas–hasil panenpun meningkat. Jumlah panen rata-rata delapan ton per hektar meskipun kini hanya enam ton karena bukan panen raya.

Menurut Jusman, setelah hasil lebih berlimpah, petani mendapatkan penghasilan lebih tinggi. Sampai Rp16 juta per bulan terutama musim puncak panen antara Juli-Desember. Padahal, gaji dia sebagai kepala desa hanya Rp2 juta per bulan.

Gotong royong

Setelah Laskar Belati berdiri, hampir tiap malam mereka bergotong royong membuat bibit kakao di rumah warga yang membutuhkan bantuan. Biasa, mereka bekerja selama dua hingga lima jam. “Dalam semalam kami bisa membuat 500 bibit.”

Ismail mengatakan, tidak ada formalitas dalam kelompok ini. Namapun muncul karena iseng. Karena itu, tidak ada struktur organisasi jelas. Tidak ada ketua. Siapa saja boleh keluar masuk. Namun, rata-rata yang ikut gotong royong sekitar 30 petani.

“Kalau diformalkan, kami khawatir malah memberatkan karena jadi kayak paksaan,” kata Ismail.

Layaknya gotong royong di pedesaan, mereka tidak dibayar sama sekali. “Paling hanya dapat rokok dan kopi,” kata Jusman. Petani yang juga Kepala Desa Kalotok ini menambahkan, uang tidak terlalu penting bagi anggota. “Yang mau dibangun itu ilmu dan kebersamaan.”

Masih kuatnya kebersamaan petani di Luwu Utara ini menjadi antitesis terhadap kian marak petani perorangan maupun industrialisasi pertanian. Melalui kerja kelompok, mereka tidak hanya saling membantu juga membangun kebudayaan.

“Karena bertani itu memang budaya, bukan pekerjaan. Maka produksi pertanian disebut budidaya,” kata Jusman. Menurut dia, sebagai proses budaya, bertani memerlukan waktu, misal, dari bibit menjadi buah.

Bertani juga perlu teknik tertentu untuk merawat agar tanaman tumbuh dan berhasil bagus. “Berbeda dengan pekerjaan yang semata memburu hasil tanpa peduli proses.”

Melalui kerja kelompok ini, petani Luwu Utara bisa mendapatkan hasil lebih baik. “Dulu kami tidak merawat sama sekali kakao kami. Sekarang mereka jadi sumber pendapatan utama,” kata Ismail. Kini, Laskar Belati terbukti membawa perbaikan rezeki bagi petani di Sulawesi.

Laskar Belati, begitulah nama kelompok tani ini. Mereka saling membantu dalam penyediaan bibit. Foto: Anton Muhajir
Laskar Belati, begitulah nama kelompok tani ini. Mereka saling membantu dalam penyediaan bibit. Foto: Anton Muhajir
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,