Dicabutnya Undang-undang No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, menjadi angin segar dikembalikannya hak rakyat akan air yang selama ini banyak dikuasai oleh swasta maupun investor asing.
Hal itu diungkapkan Lembaga Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) lewat seruannya pada Peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret di Surabaya.
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengungkapkan, peringatan Hari Air Sedunia harus dapat menjadi momentum bagi negara dan pemerintah, untuk dapat menyediakan air bersih yang layak konsumsi untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
“Negara harus siap mengembalikan mandat rakyat, bila negara mutlak berwenang atas pengelolaan sumber daya air. Artinya kita sebagai masyarakat mendorong pemerintah agar jangan sampai pengelolaan itu kembali ke sepuluh tahun lalu, dimana asing dan swasta menguasai hajat hidup kita,” terangnya.
Selama 10 tahun terakhir sumber daya air dikuasai oleh swasta, yang memproduksi air minum dalam kemasan. Kondisi air yang kurang bersih atau tidak layak konsumsi menjadikan masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain membeli air minum dalam kemasan.
“Selama ini kita kuatir minum air dari PDAM, karena air sungai kita sudah banyak tercemar sehingga kita mau tidak mau membeli air minum kemasan. Ini bukti kegagalan negara dalam menyediakan air bersih,” tambah Prigi.
Melalui pencabutan UU No.7/2004, diharapkan pemerintah dapat mengembalikan hak dasar setiap masyarakat untuk memperoleh air bersih yang layak konsumsi. Negara harus memberikan hak pengelolaan air kepada BUMN dan BUMD, dengan membatasi peran swasta.
“Negara harus menggunakan prinsip-prinsip keseimbangan dan keberkelanjutan. Dalam eksploitasi air harus ada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup. Selama ini kita melihat air dianggap sebagai barang komoditas, air dijual dan negara membiarkan itu. Dengan kembalinya kita ke UU 11/ 1974, kita juga kembali ke UUD 1945 dimana air dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” papar Prigi.
Selain harus menyediakan air bersih bagi rakyatnya, negara juga diminta untuk membuka ruang partisipasi, untuk mengajak masyarakat terlibat dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan air.
“Terpenting water for life, kita mengembalikan fungsi air untuk kehidupan, karena memang kita melihat fungsi air untuk kehidupan, sedangkan sungai adalah peradaban,” ujar alumni Jurusan Biologi Universitas Airlangga Surabaya ini.
Prigi juga mengajak seluruh komponen masyarakat untuk lebih bijaksana terhadap pemanfaatan air, agar ketersediaaan air tetap terjaga dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia.
“Karena semua agama sangat menghargai air dan semua ibadah kita butuh air untuk pensucian kita, maka negara harus mengarusutamakan manajemen pengelolaan sumber daya air diatas segalanya,” tandasnya.
Terkait pengelolaan sungai di Jawa Timur, Ecoton menyatakan kekecewaannya atas pembiaran yang dilakukan pemerintah terkait penataan kawasan sempadan sungai. Ketegasan pemerintah dalam menata sempadan sungai akan menjadi indikasi yang kuat dalam mengembalikan fungsi dan kualitas sungai di Jawa Timur.
“Selama ini Menteri PU, Gubernur Jawa Timur, menurut kami abai dalam menyelenggarakan penyelamatan dan pelestarian di sumber-sumber air,” tukas penerima Goldman Environmental Prize dari Presiden Barrack Obama.
Prigi juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah pusat maupun di daerah, yang dianggap kurang serius dalam menjaga serta memelihara kelestarian sumber air. Selain persoalan privatisasi air oleh swasta dan tingginya pencemaran sungai, pemerintah juga dianggap terlalu lembek terhadap pemanfaatan sempadan sungai untuk bangunan yang dapat mengurangi area resapan air.
“Pemerintah masih kurang tegas menjalankan aturan, sehingga air bersih tidak dapat dinikmati meski itu merupakan hak dasar. Jadi sebenarnya dosa besar bagi negara ini kalau tidak bisa menyediakan air bersih untuk rakyatnya, karena air bersih adalah hak asasi manusia,” cetus Prigi Arisandi.
Sementara itu Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Ony Mahardika mengungkapkan, dicabutnya UU No.7/2004 harus ditindaklanjuti pemerintah dengan menutup perusahaan air minum dalam kemasan.
“Pertama, pemerintah harus segera menutup perusahan air kemasan dan mencabut ijinnya. Pemerintah harus segera menyusun RUU SDA baru yang prinsipnya untuk kepentingan, keselamatan rakyat dan fungsi-fungsi keberlanjutan alam,” kata Ony.
Banyaknya perusahaan air minum dalam kemasan justru menjadikan sumber mata air di sejumlah daerah menjadi hilang atau mati. Dampak terburuk kehidupan masyarakat yang bergantung dari sumber mata air juga banyak yang terganggu.
“Rakyat tidak lagi bisa menikmati sumber mata air karena banyak yang mati, akibatnya terjadi krisis mata air setiap tahunnya, padahal air bukanlah komoditi melainkan untuk kehidupan,” tandas Ony.
Sampah Plastik Di Ekosistem Air
Kondisi air sungai di Surabaya yang masih banyak tercemar oleh limbah industri maupun limbah rumah tangga, juga menjadi keprihatinan ditengah sulitnya masyarakat memperoleh air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sampah plastik menjadi salah satu ancaman serius bagi lingkungan dan ekosistem air, yang paling mendesak adanya pembatasan pemakaian plastik di masyarakat.
Hermawan Some dari Komunitas Nol Sampah mengatakan, keberadaan sampah plastik di Surabaya terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari total volume sampah yang ada, diprediksi lebih dari 12 persen adalah sampah plastik. Sampah plastik termasuk hidrokarbon, yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk bisa terurai di alam. Selain itu plastik mengandung bahan kimia dan bahan berbahaya lainnya seperti BPA, yang dapat mempengaruhi jenis kelamin ikan dan satwa yang ada di sungai.
“Pengurangan sampah plastik di sungai sangat penting, karena sebagian besar sampah plastik pasti masuk ke laut dan sungai. Sampah plastik di Indonesia bisa mencapai 4,5 juta ton yang masuk ke laut, dan Indonesia merupakan peringkat kedua penyumbang sampah palstik di dunia setelah China,” ujar Hermawan.
Hermawan mengatakan bahwa upaya menjaga sungai dari limbah maupun sampah plastik harus menjadi gerakan bersama antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini dilakukan agar bahaya sampah plastik tidak semakin mengancam kehidupan makhluk lain, khususnya yang ada di dalam sungai maupun laut.
“Dampak terburuk misalnya bisa membunuh satwa-satwa atau biota yang ada di situ, kemudian dia bisa menyumbat saluran kalau itu masuk saluran. Kita lihat pantai timur Surabaya, banyak mangrove yang mati karena sampah plastik menutupi akar dan menutupi anak-anak mangrove yang ada disana,” pungkas Hermawan.