,

Dicari! Dana Jaminan Reklamasi Pasca-tambang di Kalimantan Barat

Seperti mencari jarum di dasar lautan, begitulah perumpamaan yang cocok untuk mengetahui ke mana dana jaminan reklamasi pasca-tambang di Kalimantan Barat berada. Regulasi mewajibkan setiap pemegang izin usaha pertambangan membayar dana jaminan reklamasi (jamrek) sebelum beroperasi. Kenyataannya, nyaris semua perusahaan tidak melakukan kewajiban itu.

Hal ini terkuak dari hasil diskusi terfokus dengan tema Menelusuri Dana Jaminan Reklamasi Pasca-tambang di Kalimantan Barat (Kalbar). Diskusi yang berlangsung pada Senin (23/3/2015) ini dihadiri sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti Walhi Kalbar, Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan, Jari Indonesia Borneo Barat, dan Perkumpulan Kensurai.

Adalah Anton P Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar yang menggelontorkan pernyataan itu. “Sejatinya, perusahaan wajib membayar dana jamrek sebelum beroperasi. Tapi kita lihat fakta di lapangan. Hampir semua perusahaan mengabaikannya. Kalau pun ada, publik tidak pernah tahu berapa besaran dana yang dibayar perusahaan. Sepertinya, pemerintah di level daerah juga menyembunyikan,” katanya di Pontianak.

Menurut Anton, kalaupun ada data terbaru seperti besaran dana jamrek yang hanya Rp466.107 per hektarnya, itu muncul setelah adanya koordinasi dan supervisi (korsup) mineral dan batubara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kalbar.

Lebih jauh dia menjelaskan, reklamasi seharusnya menjadi parameter utama untuk memastikan berjalannya proses eksploitasi tambang. Dalam proses itu, pemerintah juga harus bekerja sama dengan masyarakat sipil dan akademisi agar proses reklamasi yang akan diimplementasikan oleh perusahaan tambang ini bisa berjalan dengan benar.

Jika tidak, kata Anton, akibatnya bisa seperti terjadi sekarang. Perusahaan hanya mereklamasi sebagian kecil, kemudian dijadikan evidence (barang bukti) untuk dilaporkan sudah melakukan reklamasi. “Kemungkinan ini hanya jadi alat manipulasi saja,” tukasnya.

Anton berharap, modus-modus seperti ini tak perlu terjadi lagi di kemudian hari. Dia mendorong pemerintah membentuk tim independen yang melibatkan masyarakat sipil dan akademisi. Baginya, tim ini penting untuk melihat, menilai, dan mengukur, seperti apa harusnya memulai sebuah reklamasi. Termasuk mendorong spesies-spesies lokal dalam proses reklamasi. Bukan sekadar ditanam dan selesai.

Sumber: Diolah dari 24 Surat Keputusan Pencabutan IUP oleh Gubernur Kalbar hingga 2 Februari 2015

Lemah pengawasan

Direktur Eksekutif Perkumpulan Sampan Kalimantan, Fajri Nailus Subchi mengatakan, carut-marut di sektor pertambangan di Kalbar dipicu oleh lemahnya pengawasan pemerintah. Salah satu contoh di tahun 2013, masih banyak perusahaan beroperasi sebelum ada kebijakan smelterisasi. “Inspektorat yang ada di Kalbar saja cuma satu orang. Dia harus melakukan pengawasan tambang di seluruh wilayah Kalbar,” katanya.

Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah, saat mengeluarkan izin usaha pertambangan tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur pendukung. Akibatnya, banyak temuan di lapangan saat perusahaan sudah meninggalkan wilayah operasi pertambangannya. Di antaranya, perusahaan membiarkan kawasan tambangnya begitu saja dalam bentuk yang sudah dieksploitasi tanpa reklamasi sama sekali.

Kemudian, lanjut Fajri, ketidakmauan melakukan reklamasi juga jadi bukti nyata perusahaan tidak memiliki niat untuk membangun, melainkan hanya ingin mengeksploitasi. “Kalau perusahaan punya niat membangun, secara otomatis dia memiliki tanggung jawab reklamasi. Kenapa saya katakan mereka tidak berniat membangun Kalimantan Barat, itu bisa dicek hasil korsup KPK berapa miliar uang yang ditunggak perusahaan di Kalbar,” jelasnya.

Lebih jauh Fajri menyoroti soal penentuan nilai jamrek yang belum dimiliki Pemerintah Provinsi Kalbar. Baginya, baseline soal itu sangat penting untuk mengetahui besaran dana yang harus dibayar perusahaan sebelum mengeksploitasi. “Misalnya, untuk bauksit itu rentangnya dari berapa sampai berapa. Begitu pula batubara, bahan galian golongan C, dan emas. Nah, saya kira itu yang harus dimiliki pemerintah provinsi.”

Dalam hal penentuan nilai jamrek ini, ucap Fajri, harus ditemukan angka yang wajar. Perusahaan tidak tergencet, tapi dana yang disimpan di bank bisa jadi jaminan reklamasi. Dengan demikian, ketika perusahaan meninggalkan kawasan tambangnya, dana tersebut bisa digunakan untuk mereklamasi.

Di mata Fajri, langkah itu jauh lebih menjanjikan daripada pola seperti sekarang. Perusahaan pergi tapi dananya tidak cukup untuk mereklamasi. “Pemerintah provinsi musti menyusun standarisasi nilai jaminan reklamasi,” pungkasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,