,

Kincir Menghilang, Kepedulian Masyarakat Terhadap Air Berkurang

Jemi Delvian, Vokalis Hutan Tropis Band, dengan nada suara yang terbatah-batah menceritakan hilangnya kincir air di wilayah Gunung Dempo – Kabupaten Lahat, Kota Pagaralam, dan Kabupaten Empat Lawang –  Sumatera Selatan. Hilangnya kincir air yang disebut Antan Delapan yang digunakan untuk menggiling padi dan kopi tersebut, membuat kepedulian warga terhadap air tidak lagi tumbuh sebagaimana sebelumnya.

“Air kini hanya dipahami sebagai sumber air minum dan mencuci. Bukan seperti sebelumnya sebagai sarana transportasi dan sumber tenaga untuk kincir,” kata Jemi Delvian, dalam diskusi peringatan Hari Air Sedunia di Palembang, Jumat (20/03/2015) lalu.

Karena kepedulian terhadap air kian melemah, maka kondisi hutan maupun perusahaan yang menyebabkan kerusakan hutan dan sungai, tidak begitu menarik perhatian masyarakat di sekitar Gunung Dempo.

“Dulunya mereka sangat menjaga hutan dan sungai, sebab air dipahami sebagai sumber tenaga kincir, sarana transportasi dan sumber air bersih,” ujar Jemi.

Kerusakan hutan di wilayah sekitar Gunung Dempo, selain karena adanya perkebunan, penebangan liar, juga pembangunan pusat tenaga listrik dari panas bumi.

“Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin masyarakat di sana akan mengalami krisis air bersih, bukan hanya yang dialami masyarakat di Palembang seperti sekarang ini,” kata Jemi yang dilahirkan di Pagaralam ini.

Untuk melahirkan kembali kesadaran masyarakat di sekitar Gunung Dempo terhadap sumber air, khususnya terhadap keberadaan hutan, Jemi Delvian bersama Hutan Tropis menulis lagu berjudul “Kincir”.

…Kincir menyapa rambutmu yang hitam dengan air sungai, menyambutku dari sawah kita di lembah. Kincir pun bersenandung untuk dusun kita yang hijau…

Keprihatinan Jemi dibenarkan Hadi Jatmiko dari Walhi Sumsel. “Apa yang disampaikan Jemi merupakan tanda-tanda bencana ekologis yang terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel), seperti kekeringan dan banjir. Ini semua karena lemahnya tata kelola air. Kebakaran hutan yang melanda Sumsel setiap tahun juga disebabkan lemahnya tata kelola air, terutama di wilayah gambut,” ujarnya.

Dijelaskan Hadi, dari 8 juta hektar wilayah daerah aliran sungai (DAS) di Sumsel, akibat aktivitas perkebunan dan pertambangan, wilayah DAS yang masih baik tersisa hanya 800 ribu hektar. “Moratorium terhadap perkebunan dan pertambangan merupakan langkah yang harus dilakukan pemerintah, selain melakukan upaya perbaikan hutan,” ujarnya.

Anwar Sadat dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS), menjelaskan akibat tata kelola air yang buruk, hasil pertanian terganggu, bahkan gagal. “Misalnya yang terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Akibat aktivitas perkebunan, puluhan ribu hektar sawah tidak dapat digarap petani karena kekeringan dan banjir,” ujarnya.

“Karena itu dalam menata air, kita harus bekerja ekstra keras. Bukan hanya memperbaiki kinerja pemerintah dan menata masyarakat, tetapi juga memantau perilaku para pelaku usaha yang terkait hutan,” ujarnya.

Dari seluruh total air di bumi, hanya 3 persen yang merupakan air tawar, dimana dua pertiganya dalam bentuk es dan gletser. Foto: Rhett A. Butler

Menata lingkungan

Hutan Tropis Band bukan hanya berkampanye melalui musik atau lagu. “Kami juga melakukan sejumlah agenda kerja nyata dalam menata lingkungan hidup, khususnya terkait dengan hutan,” kata Armaizal, selaku Direktur Hutan Tropis.

Armaizal, yang dikenal sebagai pegiat sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan, Hutan Tropis selain melakukan pertunjukkan musik di sejumlah titik di Sumsel, seperti di sekolah, perguruan tinggi, dan desa, juga melakukan penghijauan dan mendorong gerakan plasma nutfah.

Dalam gerakan penghijauan, kata Armaizal, Hutan Tropis akan melibatkan para pelajar dan mahasiswa. “Targetnya kita akan melahirkan 3.000 duta lingkungan. Dari 3.000 duta lingkungan tersebut, kita akan melakukan penghijauan dengan penanaman tiga juta pohon di wilayah DAS di Sumsel,” ujarnya.

Pohon-pohon yang ditanam tersebut, selain langka, juga dapat dijadikan sumber ekonomi masyarakat, “Misalnya pohon gaharu, manggis, jelutung, dan meranti,” katanya.

Sebelum diskusi, Hutan Tropis juga menampilkan delapan lagu. Pertunjukkan tersebut dimulai dengan lagu “Kepak Semesta” dan diakhiri dengan “Bumi Bukan Hanya Hari Ini”.

“Lagunya mengena dengan persoalan lingkungan. Inilah yang dibutuhkan masyarakat Indonesia, seniman bukan hanya menghibur, tapi juga turut berjuang untuk kepentingan banyak orang,” papar Jaid Saidi, penyair Palembang, yang hadir dalam kegiatan tersebut.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,